Teologi Perjanjian Lama merupakan bagian dari Teologi Kristen, secara khusus Teologi Biblika yang membahas tema-tema atau isu-isu teologis yang ada di dalam Alkitab Perjanjian Lama.[1] Sebagai bagian dari Teologi Biblika, Teologi Perjanjian Lama mempunyai suatu fungsi kritis yang dijalankan dalam dialog dengan gereja, tradisinya serta persoalan yang dihadapinya.[1]
Sejarah dan Perkembangan
Era Reformasi Gereja
Teologi Perjanjian Lama tidak dapat dilepaskan dari Teologi Biblika.[2] Perkembangan Teologi Biblika ini mulai terlihat pasca zaman reformasi gereja di mana golongan Protestan sangat menekankan pada prinsip sola scriptura atau Alkitab sebagai satu-satunya sumber dalam berteologi.[2] Dalam periode ini, teologi Biblika dipahami sebagai sebuah teologi yang ajaran-ajarannya bersumber pada Alkitab dan dasarnya adalah Alkitab dan juga dipahami sebagai teologi yang dikandung oleh Alkitab itu sendiri.[2] Namun yang terjadi pada saat itu, Teologi Biblika masih digunakan untuk mendukung sistem doktrin Kristen yang tradisional.[2] Peranan tambahan Teologi Biblika sejajar dengan hal-hal dogmatis ditetapkan secara kuat oleh Abraham Calovius yang berpendapat bahwa Teologi Biblika merupakan nama baru dari Teologi Eksegetika yang berfungsi untuk mendukung dogmatika gereja.[2] Dengan demikian, Teologi Biblika menjadi suatu disiplin tambahan yang mendukung dogmatika gereja.[2]
Pada perkembangan selanjutnya, golongan pietisme dari Jerman mengubah arah perkembangan Teologi Biblika.[2] Di dalam gerakan pietisme ini, Teologi Biblika menjadi alat reaksi terhadap sifat ortodoks Protestan yang kering.[2] Dengan demikian, Teologi Biblika malah digunakan untuk menyerang dogmatika gereja.[2] Akhirnya sejak tahun 1745, Teologi Biblika terpisah dari dogmatika gereja dan menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.[2]
Abad Pencerahan
Abad Pencerahan menjadi salah satu zaman yang mengubah perkembangan Teologi Biblika, di antaranya adanya reaksi rasionalisme terhadap supernaturalisme sehingga perkembangan tersebut menghasilkan bentuk penafsiran dengan menggunakan metode penelitian sejarah.[2] Karya-karya dari Anton Friedrich Busching yang didorong oleh gerakan pietisme dan rasionalisme ini menimbulkan adanya persaingan antara Teologi Biblika dengan Teologi Dogmatika.[2] Tokoh lainnya yang memengaruhi perkembangan Teologi Biblika pada abad ini adalah Johann Philipp Gabler (1753-1826) yang membedakan antara antara Teologi Biblika Teologi dan Teologi Dogmatika.[2] Menurut Gabler, Teologi Biblika memiliki sifat historis dan meneruskan pemahaman para penulis Alkitab sedangkan Teologi Dogmatika memiliki sifat mendidik, mengajarkan penalaran filosofis seorang teolog tertentu sesuai dengan kemampuan, waktu, usia, tempat, aliran atau mazhab yang dianut oleh teolog tersebut.[2] Pendapat ini kemudian dikembangkan lagi oleh Georg Lorenz Bauer (1755-1806) yang memisahkan Teologi Biblika menjadi Teologi Perjanjian Lama dan Teologi Perjanjian Baru atas dasar penelitian sejarah yang memperlihatkan perbedaan tema teologis yang ada di dalam Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru.[2]
Pasca Abad Pencerahan, terbit beberapa jilid buku Teologi Perjanjian Lama yang isinya membahas disiplin ilmu tersebut dari pendekatan masing-masing sesuai dengan zamannya, tidak lagi menggunakan pendekatan historis seperti yang berkembang pada periode sebelumnya.[2] Pendekatan yang pertama-tama berkembang adalah pendekatan filsafat yang menjauhkan Teologi Perjanjian Lama dari rasionalisme.[2] Pendekatan kedua adalah pendekatan dengan menggunakan ilmu pengetahuan Alkitab yang konservatif yang muncul bersamaan dengan mazhab sejarah keselamatan.[2] Pendekatan ini menempatkan kembali Perjanjian Lama sebagai awal atau pembuka sejarah keselamatan manusia yang kemudian dilanjutkan di dalam Perjanjian Baru.[2] Pendekatan berikutnya yang berkembang adalah sejarah agama-agama (religionsgeschicte) yang menghancurkan kesatuan Perjanjian Lama dan dianggap sebagai sebuah koleksi bahan-bahan dari periode yang berdiri sendiri-sendiri dan isinya hanya berupa refleksi beragam dari bangsa Israel.[2]
Abad Modern
Perang Dunia I telah mengubah banyak tatanan masyarakat di dunia, termasuk bagi Teologi Perjanjian Lama yang memasuki masa kebangunan kembali.[2] Era ini ditandai dengan terbitnya buku E. Konig yang berjudul Theologie des Alten Testaments yang mengkaji Perjanjian Lama berdasarkan sejarah tata bahasa dan mengkombinasikan sejarah perkembangan agama Israel dengan sejarah faktor-faktor teologis tertentu dari iman Perjanjian Lama.[2] Pada dekade 1930, Teologi Perjanjian Lama memasuki periode keemasan ketika E. Sellin dan L. Kohler menggunakan susunan Allah-manusia-keselamatan sebagai kerangka untuk menyusun ulang tema-tema teologis yang dapat diambil dari Perjanjian Lama.[2] Periode ini juga menempatkan Teologi Perjanjian Lama dalam Teologi Dialektik.[2] Teologi Dialektik yang juga dikenal sebagai Teologi Neo-Ortodoks menempatkan penafsiran Alkitab bukan sekadar masalah kritik historis tetapi juga menghubungkannya dengan para saksi yang melihat pewahyuan Alkitab secara nyata di dalam dunia.[3] Tokoh yang berperan besar dala Teologi Dialektika ini adalah Karl Barth.[3]
Metode Teologi Perjanjian Lama
Memerhatikan metode yang para teolog gunakan dalam membangun sebuah Teologi Perjanjian Lama menjadi hal yang cukup penting karena dengan metode tertentu, kita dapat mengeluarkan pesan yang beragam dari sejarah Perjanjian Lama melalui penafsiran eksegetis sehingga memberikan dampak pada sejarah dogmatika dan filsafat agama-agama.[4] Sebelum menentukan metode apa yang akan digunakan, para teolog perlu mengetahui tugas dari Teologi Perjanjian Lama yakni tugas deskriptif dan tugas normatif.[2] Tugas deskriptif mengarahkan para teolog untuk memusatkan perhatiannya pada soal menguraikan arti asli dari ayat, bukan makna ayat itu pada masa kini berbeda dengan tugas normatif dari Teologi Perjanjian Lama yang menuntut para teolog untuk memusatkan perhatiannya dalam menguraikan arti dan makna ayat itu bagi masa kini sehingga bersifat normatif bagi iman dan kehidupan saat ini.[2] Dalam perkembangan selanjutnya, para teolog tidak dapat memilih kedua tugas tersebut karena tugas deskriptif maupun normatif dapat saling melengkapi sebuah bangunan Teologi Perjanjian Lama.[2] Berdasarkan pergumulan tersebut, muncul beberapa pendekatan penting yang menjadi metode seorang teolog dalam membangun sebuah Teologi Perjanjian Lama.[2]
Sebelum memahami metode yang akan digunakan, para teolog juga perlu memerhatian beberapa watak yang dimiliki oleh Teologi Perjanjian Lama.[4] Pertama, Teologi Perjanjian Lama perlu dilepaskan dari sifat pengajaran/kerygmatic sehingga fokus dari Perjanjian Lama bukanlah terhadap disiplin ilmu teologi melainkan pada Firman Allah.[4] Kedua, setiap bagian dalam Perjanjian Lama memiliki sifat dan karakter yang kaya dan beragam.[4] Ketiga, Teologi Perjanjian Lama merupakan disiplin ilmu yang menggunakan pendekatan sejarah.[4] Dari ketiga watak tersebut, kemudian muncul empat pendekatan utama yang sering digunakan pada periode saat ini.[4] Empat pendekatan itu adalah:
- Pendekatan tipe struktural. Pendekatan ini membangun Teologi Perjanjian Lama dengan cara mendeskripsikan kerangka berpikir Perjanjian Lama dengan menggunakan disiplin-disiplin ilmu lain seperti Teologi Sistematika, Sosiologi atau disiplin ilmu lainnya yang saling berhubungan dan memengaruhi.
- Pendekatan tipe diakronik. Pendekatan ini membangun Teologi Perjanjian Lama dengan cara menyusun setiap kesaksian dan kisah-kisah sejarah Israel yang terekam dalam berbagai sumber yang beragam.
- Pendekatan tipe leksikografis. Pendekatan ini membangun Teologi Perjanjian Lama dengan cara menginvestigasi setiap perkataan dan keadaan kelompok tertentu yang disebutkan di dalam Perjanjian Lama.
- Pendekatan tipe tema biblika. Pendekatan ini membangun Teologi Perjanjian Lama dengan meneliti teks bukan sekadar redaksionalnya saja melainkan mencari tahu tema yang membangun teks tersebut.[4]
Teologi Perjanjian Lama di Indonesia
Sampai tahun 1969 sebenarnya Indonesia belum memiliki Teologi Perjanjian Lama yang dibuat berdasarkan konteks Indonesia hingga pada akhirnya anak dari teolog terkenal Karl Barth yakni Christoph Barth menyusun sebuah buku Teologi Perjanjian Lama untuk Indonesia yang sebenarnya merupakan kompilasi dari bahan-bahan kuliah yang ia berikan di STT GKE di Banjarmasin dan STT Jakarta.[1] Teologi yang dihasilkan oleh Christoph Barth sangat terpengaruh dari Teologi Perjanjian Lama yang disusun oleh Gerhard von Rad.[1] Salah satu pernyataan yang terkenal dari von Rad adalah pernyataan bahwa Teologi Perjanjian Lama tidak memiliki pusat.[5] Selain itu, von Rad juga menempatkan Teologi Perjanjian Lama sebagai sebuah konsep teologi yang dibangun berdasarkan pekerjaan-pekerjaan Allah sehingga Teologi Perjanjian Lama yang dihasilkan tidak memberi ruang sama sekali terhadap isu-isu yang dianggap tidak termasuk dalam pekerjaan Allah seperti hikmat lokal, keberadaan agama suku, keberadaan agama-agama lain dan sebagainya.[5]
Metode yang diperkenalkan oleh von Rad ternyata tidak dapat dikembangkan dengan baik di Indonesia karena Indonesia adalah negara yang beragam.[1] Oleh karena itu pada tahun 2003, istri dari Christoph Barth yakni Marie-Claire Barth-Frommel merevisi Teologi Perjanjian Lama yang dihasilkan oleh suaminya.[1] Pada edisi revisi ini, Marie-Claire Barth-Frommel menempatkan keberadaan pihak lain (yang awalnya dianggap sebagai pihak-pihak yang tidak termasuk dalam karya Allah) sebagai rekan untuk berdialog dengan tujuan memberikan motivasi kepada para pembaca untuk mewujudkan keadaan masyarakat yang adil dan manusiawi.[1]
[Sumber:wikipedia]
Post a Comment
Post a Comment