Menu

Gus Mendem Gus Mendem Author
Title: Iman Kepada Allah Subhanahu Wata'ala
Author: Gus Mendem
Rating 5 of 5 Des:
Iman kepada Allah ta’ala meliputi empat perkara: I. Beriman kepada wujud Allah ta’ala: Wujud Allah ta’ala telah dijelaskan dan ditetapkan ol...

Iman kepada Allah ta’ala meliputi empat perkara:

I. Beriman kepada wujud Allah ta’ala:
Wujud Allah ta’ala telah dijelaskan dan ditetapkan oleh fitrah, aqal, syar’i dan panca indera.

1. Adapun penetapan fitrah terhadap wujud Allah: maka sesungguhnya setiap makhluq telah diciptakan dalam keadaan (fitrahnya) beriman kepada Penciptanya tanpa didahului dengan berfikir atau belajar terlebih dahulu. Dan tidak ada satupun yang bergeser dari ketentuan fitrah ini kecuali orang yang diterpa hatinya sesuatu yang dapat menggeser hatinya dari fitrah tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

“Tidak ada satu (bayi) yang lahir melainkan ia dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai yahudi atau menjadikannya nashrani atau menjadikannya majusi.” [HR. Bukhari]

2. Adapun penunjukan akal terhadap wujud Allah Ta’ala: maka sesungguhnya makhluq-makhluq ini baik yang telah lalu dan yang akan datang- haruslah memiliki pencipta yang menciptakannya, karena tidak mungkin sebuah jiwa/seseorang menciptakan dirinya sendiri dan tidak mungkin ia muncul/ada dengan tiba-tiba. Seseorang itu tidak mungkin menciptakan dirinya sendiri karena segala sesuatu  tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, “ (hal ini disebabkan) karena sebelum ia tercipta ia sama sekali tidak ada/tidak memiliki wujud, maka bagaimana mungkin ia menjadi pencipta?

Ia tidak mungkin ada dengan tiba-tiba, karena setiap yang terjadi itu mesti ada yang menjadikannya, dan dikarenakan keberadaannya dalam keteraturan yang ajaib ini, dan keterkaitan yang amat erat ini serta hubungan yang amat kuat antara sebab dan akibat, antara sesama makhluq merupakan hal-hal yang menunjukkan bahwa makhluq-makhluq itu tidak tercipta dengan tiba-tiba. Karena sesuatu yagn ada secara tiba-tiba pada dasarnya tidak lahir dari dasar keteraturan, lalu bagaimana mungkin ia bisa tetap dan berkembang dalam keteraturan?

Jika semua makhluq ini tidak mungkin menciptakan dirinya sendiri dan tidak mungkin tercipta dengan tiba-tiba maka menjadi pastilah adanya Dzat Yang Menciptakannya yaitu Allah Rabb semua alam.

Allah Ta’ala telah memberikan dalil akal dan argumentasi yang pasti di dalam Surah Ath Thur, dimana Allah berfirman,

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka menciptakan diri mereka sendiri?” (QS. Ath Thur 30)

Maksudnya bahwa mereka tidaklah diciptakan tanpa Pencipta dan tidaklah pula mereka menciptakan diri mereka sendiri, maka semakin pastilah keberadaan Allah sebagai pencipta mereka. Itulah sebabnya, ketika Jubair bin Muth’im ra. mendengarkan Rasulullah saw membaca surat Ath Thur hingga sampai pada ayat ini:

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka itu tidak meyakini (apa yang mereka katakan) Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu atau mereka kah yang berkuasa?” (QS. Ath Thur 35-37)

Beliau (Jubair”) berkata – dan beliau pada saat ini masih dalam keadaan musyrik – “Hatiku seperti mau terbang (mendengarkannya) dan itulah awal mulanya iman menempati hatiku.” [HR. Bukhari]

Contoh lain untuk memperjelas hal tersebut: yaitu apabila ada seseorang bercerita kepada anda tentang sebuah istana yang terbentang dikelilingi dengan taman-taman, disela-selanya mengalir beberapa sungai, dipenuhi dengan permadani, dihiasai dengan berbagai jenis perhiasan lalu ia berkata kepada anda: bahwa istana ini dengan segala isinya yang sempurna menciptakan dirinya sendiri atau ia ada/tercipta dengan begitu saja tanpa ada yang menciptakannya; maka anda pasti segera mengingkarinya dan menganggapnya sebagai kebohongan, (anda juga akan) menganggap pembicaraan tersebut sebagai pembicaraan orang yang amat bodoh. Lalu bagaimana mungkin setelah itu (anda mengatakan) bahwa jagad raya yang luas ini, dengan buminya, dengan langitnya, dengan bintang-bintangnya, dengan orbit-orbitnya, dan dengan keteraturannya yang begitu mengagumkan; telah menciptakan dirinya sendiri atau tercipta begitu saja tanpa adanya pencipta?

3. Adapun dalil syar’i yang menunjukkan wujud Allah Ta’ala: Bahwa semua kitab-kitab samawi telah berbicara tentang hal ini. Dan segala peraturan hidup (yang terkandung dalam kitab-kitab tersebut) yang mengandung kemaslahatan dan kebaikan bagi semua makhluk adalah merupakan dalil dan tanda bahwa (peraturan hidup tersebut) berasal dari Tuhan Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang paling baik bagi makhluq-makhluq-Nya. Demikian pula berita-berita yang menjelaskan tentang alam semesta (dalam kitab-kitab tersebut) yang kemudian terbukti kebenarannya secara nyata: juga merupakan dalil yang akan menunjukkan bahwa berita itu berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menciptakan sesuatu yang Ia khabarkan.

4. Adapun dalil indrawi/penunjukan panca indra terhadap keberadaan Allah maka dapat dilihat dari dua sisi:Pertama: Bahwa kita sering mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa atau bantuan atas orang-orang yang mendapat musibah, yang semua itu menunjukkan dengan pasti akan keberadaan Allah ta’ala. 

Allah berfirman:

“Dan ingatlah kisah Nuh sebelum itu ketika dia berdoa dan kami memperkenakan doanya? (QS Al Anbiya 76)

“(Ingatlah) ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu lalu diperkenankannya bagimu” (QS. Al Anfal 9)

Dan di dalam Shahih Bukhari dari Anas bin Malik ra. ia berkata:

“Sesungguhnya ada seorang badui masuk (ke mesjid) pada hari Jumat sementara Rasulullah saw sedang berkhotbah. Lalu ia (badui tersebut) berkata: “Wahai Rasulullah! Harta (kami) telah habis dan keluarga-keluarga kami telah kelaparan. Berdoalah kepada Allah untuk kami” Maka Rasulullah mengangkat kedua tangannya dan berdoa. Lalu tiba-tiba bergumpallah awan seperti gunung dan tidaklah Rasulullah saw turun dari mimbar beliau melainkan aku melihat air hujan mengalir di sela-sela jenggot beliau. Kemudian pada Jumat yang kedua, orang badui itu (atau badui yang lain) berdiri lalu berkata: “Wahai Rasulullah bangunan (rumah kami) telah hancur, harta kami habis tenggelam, berdoalah kepada Allah untuk kami.” Maka (Rasulullah saw) mengangkat kedua tangannya dan berdoa, “Ya Allah, Lindungilah kami dan jangan (menurunkan musibah) atas kami.” Maka tidaklah beliau mengisyaratkan pada satu sisi melainkan ia terbebas (dari musibah) itu.”

Dan sampai hari ini, terkabulnya doa orang-orang yang berdoa adalah merupakan perkara yang dapat disaksikan, (tentu saja) bagi orang-orang yang benar-benar bertaubat kepada Allah dan memenuhi syarat-syarat terkabulnya doa.

II. Mu'jizat Allah
Mu’jizat para nabi yang disaksikan atau didengarkan oleh manusia adalah merupakan bukti yang jelas pasti menunjukkan adanya Dzat Yang mengutus mereka (para nabi tersebut) yaitu Allah Ta’ala, karena mu’jizat-mu’jizat tersebut adalah merupakan perkara yang diluar batas kemampuan manusia, yang diciptakan oleh Allah untuk membuatkan dan menguatkan dan membantu para rasul tersebut.

Misalnya adalah mu’jizat Nabi Musa as. ketika Allah Ta’ala memerintahkan beliau untuk memukul laut dengan tangan beliau, lalu laut tersebut menjadi dua belas jalan yang kering sementara air laut tegak berdiri diantara jalan-jalan tersebut seperti gunung. 

Allah berfirman,

“Lalu kami wahyukan kepada Musa” Pukullah lautan itu dengan tongkatmu !” maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” (QS. Asy Syu’ara : 63)

Contoh yang kedua adalah: mu’jizat Nabi Isa as. ketika ia menghidupkan orang-orang yang mati dan mengeluarkan mereka dari kuburan mereka. 

Allah berfirman:

”Dan ia menghidupkan orang-orang mati dengan izin Allah” (QS. Ali Imran 49)

Dan ingatlah ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan dzikir-KU” (QS. Al-Maidah 110)

Contoh yang ketiga mu’jizat Nabi Muhammad SAW ketika orang-orang Quraisy meminta beliau (untuk menunjukkan) sebuah mu’jizat maka beliau menunjuk kearah bulan lalu orang-orang melihat bulan itu terbelah dua. Allah berfirman tentang itu:

”Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mu’jizat), mereka berpaling dan berkata: ” (ini adalah) sihir yang terus-menerus” (QS. Al-Qamar 1-2)

Seluruh tanda-tanda yang dirasakan oleh panca indera yang diciptakan oleh Allah sebagai penguat dan pendukung para Rasul; menunjukkan dengan pasti akan wujud Allah Ta’ala.

Kedua: Beriman terhadap rububiyah Allah (bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta dan Pemelihara, tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak ada yang menolong-Nya).

Arti Ar Rabb adalah: Dzat yang memiliki (dan menguasai) penciptaan, kekuasaan dan segala perintah. Maka tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada penguasa selain Alah, tidak ada yang memberi perintah selain Allah. 

Allah berfirman,

“Ingatlah! (Hanya) bagi-Nya lah penciptaan dan perintah” (QS. Al-Ar’af : 54)

“Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (QS. Fathir : 3)

Dan belum diketahui bahwa ada diantara makhluq-makhluq ada yang mengingkari kerububiyahan Allah Ta’ala kecuali orang yang takabbur dan tidak yakin dengan apa yang ia katakan, sebagaimana terjadi pada Fir’aun ketika ia berkata kepada kaumnya:

“Akulah tuhan kalian yang maha tinggi” (QS. An-Nazi’ah : 24)

Allah berfirman,

“Wahai sekalian orang-orang! Aku tidak mengetahui adanya tuhan bagi kalian selain aku.” (QS. Al Qashash : 38).

Namun semua itu (perkataan Fir’aun tersebut) bukanlah berdasarkan landasan aqidah. 

Allah berfirman:

“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (Kebenaran)nya.” (QS. An Nahl :14)

Musa as. berkata kepada Fir’aun sebagaimana dikisahkan oleh Allah ta’ala:

“Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mu’jizat-mu’jizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun seorang yang akan binasa.” (QS. Al Isra’ 102).

Oleh karena itu orang-orang musyrik terdahulu tetap mengakui kerububiyahan Allah Ta’ala meskipun mereka menyekutukan-Nya dalam keuluhiyahan-Nya.

Allah berfirman,

“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini dan semuanya yang ada padanya jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan yang Empunya arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertaqwa?” Katakanlah: “Siapakah yang ditangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah”: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (QS. Al Mu’minun 84-69)

“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Niscaya mereka akan menjawab: “Sesungguhnya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui” (QS. Az Zukhruf : 9)

“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Niscaya mereka akan menjawab: “Sesungguhnya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az Zukhruf : 9)

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: Siapakah yang menciptakan mereka? Niscaya mereka menjawab “Allah”. Maka bagimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az Zukhruf : 87)

Dan perintah Allah Ta’ala mencakup perintah kauniyah dan syar’iyah. (Artinya) sebagaimana Ia adalah Yang mengatur dan menyelaraskan seluruh alam sesuai yang dikehendaki hikmah-Nya, Ia juga lah yang menetapkan hukum di dalamnya dalam bentuk perintah ibadah dan hukum-hukum mu’amalah sesuai yang dikehendaki oleh hikmah-Nya. Maka barangsiapa yang menganggap adanya dzat lain (memiliki kekuasaan) sebagai pembuat syari’at (undang-undang dan aturan) dalam beribadah atau pembuat hukum dalam mu’amalah, maka ia telah menyekutukan Allah (musyrik) dan belum mewujudkan keimanan.

III. Beriman kepada uluhiyah Allah 
Hanya Dialah satu-satunya Tuhan Yang benar dan patut disembah tanpa ada sekutu bagi-Nya

Berarti yang disembah dengan rasa cinta dan mengagungkan. 

Allah berfirman,

“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang satu, tiada tuhan melainkan Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah : 163)

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran 18)

Maka sesuatu apapun yang dijadikan sebagai tuhan yang disembah selain Alah Ta’ala maka ketuhannnya adalah bathil adanya.

“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang bathil, dan sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)

Dan penamaan (sesuatu yang disembah selain Allah) sebagai tuhan tidaklah serta merta memberinya hak ketuhanan.

Allah ta’ala berfirman tentang Al Lata, Al Uzza dan Manat:

“(Semua itu) tidak lain kecuali merupakan nama-nama yang kalian berikan dan bapak-bapak kalian, Allah tidak menurunkan suatu keterangan apapun untuk (menyembah)nya.” (QS.An Najm : 13)

Allah juga berfirman tentang kisah nabi Hud as. ketika ia berkata kepada kaumnya:

“Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama berhala yang kamu dan nenek moyangmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu?” (QS. Al ‘raf : 21)

Allah juga berfirman tentang kisah Nabi Yusuf a.s ketika beliau berkata kepada dua orang temannya di dalam penjara:

“Manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu.” (QS. Yusuf: 39-40)

Oleh karena itu, para Rasul Allah as. selalu berkata kepada kaum mereka:

“Sembahlah oleh kalian akan Allah, karena kalian tidak mempunyai selain ia.” (Al A’raf : 59) 

Akan tetapi, orang-orang musyrik enggan untuk melakukannya lalu mereka mengambil dan menjadikan tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah, mereka meminta tolong dan bantuan dari tuhan-tuhan tersebut.

Namun Allah Ta’ala membatalkan perbuatan kaum musyrikin tersebut dengan dua argumentasi logika:1) Bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah itu sama sekali tidak memiliki ciri-ciri ketuhanan; karena mereka (tuhan-tuhan tersebut) adalah makhluq belaka yang tidak bisa menciptakan, tidak bisa mendatangkan manfaat/kebaikan bagi orang-orang yang menyembahnya, tidak bisa menolak kejelekan dari mereka dan tidak bisa menentukan hidup dan matinya orang-orang yang menyembahnya dan tidak pula menguasai suatu apapun yang di kerajaan langit.

Allah berfirman,

“Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk menolak sesuatu kemudhorotan dari dirinya dan tidak pula untuk mengambil suatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak pula membangkitkan.” (QS Al Furqan: 3)

“Katakanlah: Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai Tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi dan mereka tidak mepunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada diantara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya Dan tidaklah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang-orang yang telah diizinkannya.” (QS. Saba’ 22-23)


“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tidak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (QS. Al A’raf : 191-192)

Jika Keadaan/kondisi tuhan-tuhan tersebut demikian adanya, maka menjadikan mereka sebagai tuhan yang patut disembah adalah merupakan perbuatan yang benar-benar bodoh dan benar-benar bathil.

2) Bahwa orang-orang musyrik tersebut telah mengetahui bahwa Allah satu-satunya Dzat yang menciptakan dan mengatur, Yang menguasai seluruh kerajaan/kekuasaan apapun. Hal ini seharusnya menyebabkan mereka mengesakan Allah dalam beribadah kepada-Nya sebagaimana firman Allah:

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hambaran bagimu dan langit sebagai atap; dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 21-22)

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Maka bagimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az Zukhruf : 87)

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” maka mereka akan menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya. Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainka kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dapat dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Yunus : 31-32)


IV. Beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah
Maksudnya menetapkan dan mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala untuk Diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasululah saw dalam as Sunnah, sesuai dengan Kebesaran Allah Ta’ala tanpa tahrif, atau ta’thil, atau takyif atau Tamtsil.

Allah berfirman.

"Hanya milik Allah asmaul husna maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al A’raf: 180).


“Dan bagi-Nya lah sifat Yang Maha Tinggi di langit dan di bumi dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ar Rum: 27)

“Tidak ada sesuatu pun serupa dengan Dia dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Sura: 11)

Dan ada dua golongan yang tersesat dalam masalah ini:Pertama: Golongan Mu’aththilah, yaitu golongan orang-orang yang mengingkari seluruh nama dan sifat Allah. Hal ini dikarenakan mereka menyangka bahwa penetapan nama dan sifat tersebut kepada Allah. Hal ini dikarenakan mereka menyangka bahwa penetapan nama dan sifat tersebut kepada Allah akan mengakibatkan terjadinya penyerupaan antara Allah dan makhluq-Nya. Namun sangkaan ini adalah salah ditinjau dari beberapa segi diantaranya:

1) Bahwa hal ini akan menyebabkan terjadinya hal-hal yang bersifat bathil dan mustahil seperti pertentangan di dalam Kalam (ucapan) Allah Ta’ala. Karena Allah sendiri telah menetapkan (baik dalam Al Qur’an maupun As Sunnah -pent.) nama-nama dan sifat-sifat untuk Diri-Nya, dan disamping itu Ia juga menafikan adanya sesuatu yang dapat menyerupai-Nya (dalam nama dan sifat-sifat-Nya). Seandainya penetapan (nama-nama dan sifat-sifat tersebut atas Allah) mengakibatkan terjadinya penyerupaan antara Allah dan makhluq-Nya maka berarti di dalam Kalam (ucapan) Allah terdapat pertentangan dan pendustaan antara satu dengan yang lain.

2) Bahwa adanya persamaan antara dua hal baik nama atau sifatnya; tidak berarti bahwa keduanya benar-benar sama (tanpa perbedaan apapun). Anda misalnya mendengar, melihat dan berbicara. Namun itu tidak berarti bahwa keduanya benar-benar sama dalam makna kemanusiaan, pendengaran, penglihatan dan pembicaraan. Anda juga dapat melihat bahwa hewan-hewan memiliki tangan, kaki dan mata. Namun ini tidak berarti bahwa (bentuk dan kualitas) tangan, kaki dan mata mereka sama persis. (Dengan demikian) apabila antara sesama makhluq saja terdapat perbedaan yang amat jelas dan nyata (padahal nama dan sifatnya sama), maka perbedaan yang terdapat antara Sang Pencipta dan makhluq tentulah lebih jelas dan besar.

Kedua: Golongan Musyabbihah yang menetapkan dan mempercayai nama-nama dan sifat-sifat Allah namun mereka juga menyerupakan Allah Ta’ala dengan makhluq-makhluq-Nya karena mereka menyangka bahwa hal tersebut (penyerupaan -pent.) merupakan ketentuan yang dimaksudkan oleh dalil-dalil (yang menunjukkan nama dan sifat Allah) sebab Allah Ta’ala selalu berbicara kepada hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat mereka pahami. Namun sangkaan ini salah dan bathil ditinjau dari beberapa segi, diantaranya:

1) Bahwa penyerupaan antara Allah Ta’ala dan makhluq-makhluq-Nya adalah merupakan perkara yang bathil dipandang dari sudut akal dan syar’i (agama). Dan adalah merupakan suatu hal yang tidak mungkin terjadi apabila Al Qur’an dan As Sunnah menunjukkan/menginginkan suatu perkara yang bathil.

2) Bahwa (memang benar) Allah Ta’ala berbicara kepada hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami oleh mereka dari segi asal makna suatu peristiwa. Adapun dari segi hakikat dan pembahasan secara terperinci dari maknanya tersebut maka itu merupakan suatu hal yang hanya Allah lah mengetahuinya (yaitu segala ayng berkaitan dengan Sifat-sifat Allah).

Maka apabila Allah menetapkan untuk diri-Nya bahwa Ia Maha mendengar, maka makna “mendengar” ditinjau dari segi makna asalnya adalah merupakan perkara yang dketahui bersama yaitu (kemampuan mengetahui suara-suara). Namun hakekat “mendengar/pendengaran” yang dimiliki Allah Ta’ala tidaklah dapat diketahui, karena hakekat pendengaran itu berbeda-beda bahkan pada tingkat makhluq. Maka perbedaan antara Sang Pencipta dan makhluq tentulah lebih jelas dan besar.

(Demikian pula) Allah Ta’ala memberitahukan tentang dirinya bahwa Ia bersemayam di atas arsy-Nya. Dan makna bersemayam ditinjau dari segi makna asalnya telah diketahui dan difahami namun hakekat bersemayam yang dilakukan oleh para makhluq saja pun ternyata berbeda-beda, maka bersemayam di atas sebuah kursi yang kokoh tidaklah sama dengan bersemayam di atas seekor hewan yang selalu berlari. Maka apabila diantara sesama makhluq saja terdapat perbedaan (dalam melakukan “persemayaman”) maka perbedaan antara Sang Pencipta dan makhluq tentulah lebih jelas dan besar.

Iman kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang telah kami jelaskan, akan membuahkan beberapa faidah yang mulia diantaranya:

1. Perwujudan tauhid kepada Allah Ta’ala secara benar, dimana (seorang hamba) tidak lagi menggantungkan harapan kecuali kepada Allah, tidak lagi takut kecuali kepada-Nya dan tidak lagi menyembah kepada selain Allah.

2. Sempurna rasa cinta dan pengagungan terhadap Allah sebagaimana yang ditunjukkan oleh nama-nama Allah yang bagus dan sifat-sifat-Nya yang mulia.

3. Mewujudkan ibadah yang sebenarnya kepada Allah, dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya.


[Sumber: Wahdah]
Allah Subhanahu Wata'ala


Dari Author

Post a Comment

 
Top