Hadits ini menjadi salah satu perbincangan yang sangat serius di kalangan ahli hadits, ahli makna, dan ahli tafsir. Banyak ahli hadits yang menilainya shahih dengan memberikan ta’wil mulai dari yang sewajarnya sampai pada tingkat yang melebihinya. Ada pula kalangan ahli hadits yang menilainya dhaif, walaupun hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak sahabat dan terdapat dalam kitab-kitab Shahih s/d Mu’jam. Hadits tersebut sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi Saw:
فَإِنَّ اللهَ خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ
“Maka sesungguhnya Allah menciptakan Adam seperti bentuk-Nya“. [Shahih Muslim 4/2017, 4/21/83 - derajat hadits shahih]
Yang menjadi perdebatan adalah “ha-dhamir“ yang terdapat dalam kata عَلَى صُورَتِهِ apakah artinya “seperti bentuk-Nya" (Allah), ataukah “seperti bentuknya" (Adam). Bila “ha-dhamir“ tersebut dikhitabkan kepada Allah, maka sesuatu yang mustahil bentuk Allah berwujud seperti bentuk Adam sebagai makhluk.
Bila bentuk Adam sebagaimana bentuk Allah dalam wujud-Nya, maka ini pun bisa berarti bahwa setiap bentuk keturunan Adam adalah manifestasi dari bentuk Allah. Sedangkan bentuk Allah tidak dapat disifati dengan apa pun. Dan apa pun bayangan kita tentang bentuk Allah dapat dipastikan bukanlah bentuk Allah.
Karena sesuatu yang berbentuk adalah sesuatu yang dapat dikenali oleh indera pengihatan. Sedangkan indera penglihatan kita belum pernah bertemu dengan-Nya, jadi bagaimana mungkin sesuatu yang belum pernah dilihat dapat dikenali bentuknya ?
Kesalahan ini terjadi karena hadits yang disampaikan terlalu pendek. Seandainya hadits tersebut disampaikan sedikit lebih lengkap, maka tidak akan ada perdebatan di kalangan para ahli. Mari kita cermati redaksi tersebut lebih lengkap dari sebelumnya.
خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ، طُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا
“Allah menciptakan Adam seperti bentuknya, tingginya 60 hasta.“
Dengan penambahan kata 60 hasta, sudah pasti itu adalah tingginya Adam a.s bukan tingginya Allah. Karena kata tinggi di sini di sifatkan untuk ukuran tinggi badan Adam a.s.
Ada satu lagi hadits yang diperdebatkan sebagaimana hadits di atas. Hadits tersebut sebagaimana sabda Nabi Saw:
إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ، فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ، فَإِنَّ اللهَ خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ
“Di mana (kalian) memukul seseorang, maka jangan dipukul diwajahnya, karena sesungguhnya Allah menciptakan Adam seperti wajahnya.“ [Shahih Ibnu Hibban 12/420, 13/19, Musnad Ahmad 12/275, 12/382, 16/427, Mushanaf Aburrazzaq 9/444, as-Sunnah, Abdullah bin Ahmad 1/267, as-Sunnah, Ibnu Abi Ashim 1/229, Musnad al-Bazzar 15/161, as-Sunan al-Kabir, an-Nasai 6/479, Musnad Abu Ya’la 11/157, at-Tauhid, Ibnu Khuzaimah 1/82 - derajat hadits hasan shahih]
Wajah di sini pun, adalah wajah Adam a.s bukan wajah Allah. Tentang wajah Allah Quran suci telah menerangkannya:
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُوالْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.“ (QS. 55 – ar-Rahman: 27)
Sedangkan setiap wajah manusia tidak ada yang memiliki kebesaran, kemuliaan dan kekal sebagaimana Wajah Allah. Jadi mustahil apabila hadits tersebut harus diartikan bahwa wajah Adam sebagaimana wajah Allah.
Tentang ta’wil hadits tersebut, Imam Ibnu Qutaibah berkata: “Saya membaca di dalam kitab Taurat: “Sesungguhnya ketika Allah Swt menciptakan langit dan bumi, Dia berfirman: “Kami menciptakan manusia dengan bentuk Kami. Lalu Dia menciptakan Adam dari intisari bumi. Kemudian ditiupkan pada wajahnya kehidupan.“ [Ensiklopedia Hadits hal. 213-214]
Dalam kalimat: “Allah menciptakan Adam dari intisari bumi“ dapat dikatakan sebagai penutup perdebatan ini. Karena tidak mungkin kita akan beranggapan bahwa bentuk dan wajah Allah pun berasal dari inti sari bumi. Bila bentuk dan wajah Allah berasal dari inti sari bumi berarti penciptaan bumi lebih dahulu daripada keberadaaan Allah. Dan bila Allah memiliki bentuk dan wajah, maka harus ada pula al-mushawwir (pembentuk)-nya, dan bila al-mushawwir-nya ada, maka ia pun berwujud terlebih dahulu daripada Allah. Apabila begitu jadinya, maka konsekwensinya ada tuhan lain selain Allah, karena Allah ada dari hasil penciptaan bukan yang menciptakan. Dan ini mustahil.
Sebenarnya penjelasan tentang kedua hadits di atas telah dijelaskan di dalam al-Quran. Hanya mungkin saja ayat ini terlewat oleh para ahli dari penelitiannya. Adapun ayat itu berbunyi:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلآئِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَراً مِّنْ صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَإٍ مَّسْنُوْنٍ . فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِيْنَ
“Dan ketika Rabb Pemelihara kamu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)-nya, dan telah Kutiupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya dalam keadaan bersujud.” (QS. 15 – al-Hijr: 28-29)
Tahulah kita sekarang tentang maksud dari kitab Taurat yang mengatakan “Allah menciptakan Adam dari intisari bumi” adalah “dari tanah liat kering dari lumpur hitam” dan setelah itu “yang diberi bentuk.” Dengan keterangan ini semakin jelaslah, bahwa yang dibentuk itu adalah Adam a.s. bukan Allah.
Perlu pula diketahui, bahwa yang dikatakan dengan “intisari bumi“ adalah bahan-bahan penciptaan manusia. Al-Quran suci telah menerangkan hal tersebut kepada kita. Adapun bahan-bahan tersebut adalah:
Di dalam QS. 3 - Ali-Imran : 99, firman-Nya
آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Adam diciptakan oleh-Nya dari tanah (thuraab) kemudian Dia berfirman kepada Adam Jadilah, maka Jadi ”
Maksud dari kata تُرَابٍ (thuraab) adalah: unsur-unsur dzat asli yang terdapat dalam tanah yang dinamakan dzat anorganis.
Sedangkan maksud dari kata كُنْ فَيَكُونُ (jadilah maka jadi) mengisyaratkan kepada unsur kegaiban atau kekuatan mistis yang Allah lekatkan kepada Adam dan sebagian anak keturunannya. Sehingga Adam dan sebagian anak keturunannya diberikan kemampuan untuk mempelajari, mendalami dan menjalankan ilmu-ilmu gaib.
Di dalam QS.15 - al-Hijr: 28, firman-Nya
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَّسْنُونٍ
“dan sesungguhnya aku menciptakan manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang dibentuk.”
Yang dimaksud dengan kata حَمَإٍ (hamaain) berarti zat lemas (Nitrogen)
Di dalam QS.55 – ar-Rahman: 14, firman-Nya
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ
“Dia (Allah) menciptakan manusia dari tanah kering (tembikar)”
Yang dimaksud dengan kata صَلْصَالٍ (shal-shalin) adalah: tanah setengah kering yakni, dzat pembakar (Oksigen) dan yang dimaksud dengan اَلْفَخَّارِ (al-fakhor) adalah dzat arang (Carbonium).
Di dalam QS. 32 – as-Sajadah : 7-8, firman-Nya
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ . ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ
“yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan memulai penciptaan manusia dari tanah (at-thiin). Kemudian Dia menjadikan keturunannya (Adam) dari saripati air yang hina (air mani).”
Yang dimaksud dengan طِينٍ (thiin) adalah: atom dzat cair (Hidrogenium). Sedangkan yang dimakud dengan مَاءٍ مَهِينٍ (main mahiin) adalah: protein, vitamin dan calcium.
Di dalam QS. 37 - ash-Shafat: 11, di dalam firman-Nya
إِنَّا خَلَقْناهُمْ مِنْ طِينٍ لاَّزِبٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka dari tanah liat (laazib).”
Yang dimaksud dengan لاَّزِبٍ (Laazib) adalah: dzat besi (Ferrum, Yodium, Kalium, Silicum dan Mangan). Dengan adanya unsur-unsur besi ini, maka tidaklah aneh apabila ada sebagian keturunan Adam yang mampu memiliki ketahanan tubuh yang kuat. Bahkan, adapula di antara mereka yang memiliki kekebalan tubuh seperti tak mempan oleh pukulan besi dan yang sejenisnya.Hal ini dikarenakan mereka mampu memaksimalkan potensi dzat-dzat besi yang berada di dalam tubuh mereka, baik melalui jalan latihan atau pun melalui doa-doa khusus.
Di dalam QS. 99 - al-Alaq: 2, firman-Nya
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
"(Dia telah) menciptakan manusia dari segumpal darah.”
Yang dimaksud dengan عَلَقٍ (alaq) adalah proses akhir dari penciptaan bentuk manusia, yang mana Allah memberikan daging, kulit, darah, urat syaraf, tulang, organ-organ dalam tubuh seperti : paru-paru, jantung, hati, lambung dan yang lainnya, sebelum Allah meniupkan ruh kehidupan kepada janin tersebut.
Adalah proses peniupan ruh kehidapan kepada janin, sebagaimana firman-Nya:
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُوحِي
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)-nya, dan telah Ku-tiupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku,”
Dengan penjelasan ini maka selesai pula perjalanan intelektual kita dalam pembahasan topik ini.
Alhamdulillah
[Dari: Al-Bantani Jabar]
Post a Comment
Post a Comment