Lutfi Liqunian, seorang penulis Kristen, meyakini bahwa periode baru dalam metode misionaris telah dimulai. Dia menulis;
“Eropa dalam Perang Salib menggunakan pedang, sekarang menggunakan penyebaran paham sebagai cara untuk mencapai maksud-maksudnya. Dengan Perang Salib baru ini, Eropa ingin mencapai tujuannya tanpa pertumpahan darah. Dalam usahanya ini, Eropa memanfatkan gereja, sekolah-sekolah, dan rumah sakit serta menyebarkan misionaris mereka."
Benua Afrika adalah salah satu kawasan terpenting bagi penyebaran ajaran Kristen oleh kaum misionaris. Ajaran Kristen di Afrika memiliki sejarah yang panjang. Serangan Eropa ke Afrika yang terjadi sejak akhir abad ke-15, telah membuka jalan bagi infiltrasi kaum misionaris ke benua ini. Para misionaris selama berabad-abad berada di samping tentara kolonialis di berbagai tempat di Afrika. Dalam kongres Baitul Maqdis yang dibentuk tahun 1963, semua orang Afrika peserta kongres itu menyatakan bahwa menurut pandangan rakyat Afrika, kehadiran para misionaris menghidupkan kenangan kolonialisme. Kenyataannya, di mana saja misionaris menginjakkan kaki, kolonialisme di negara itu pun segera dimulai.
Sejarah kehadiran misionaris di Afrika menjelaskan adanya kesefahaman dan kerjasama mereka dengan negara-negara penjajah. Selama perang, para misionaris memberikan bantuan yang berharga kepada pasukan penjajah. Biasanya, ketika pasukan penjajah masuk ke sebuah negara, pusat-pusat misionaris akan dijadikan pangkalan militer. Para misionaris itu kemudian akan menjadi salah satu penyuplai senjata, pasukan, dan makanan bagi para kolonialis. Selain itu, karena mereka mengenal suku-suku dan daerah-daerah, mereka akan menjadi mata-mata dan sumber informasi untuk para kolonialis.
Dalam serangan tentara Belgia ke Stanleyville, kita bisa melihat bahwa para misionaris telah menjadi penunjuk jalan bagi para tentara penjajah. Kota Stanleyville yang pada tahun 1966 diubah namanya menjadi Kisangani, adalah salah satu kota berpenduduk muslim di Kongo. Rakyat kota ini berjuang gigih menentang kehadiran pasukan Belgia. Pada tanggal 24 dan 25 September 1964, penduduk kota ini diserang habis-habisan oleh tentara Belgia yang mendapat dukungan dari tentara Amerika.
Jenderal Mike, komandan kulit putih bayaran yang dipekerjakan oleh Musa Chumbe, pemimpin pemberontak Kongo, mengutarakan kenangannya atas kejadian tersebut sebagai berikut:
“Kami tidak mengasihani anak kecil atau orang dewasa karena ada kemungkinan bahwa setiap mereka adalah anggota gerakan kemerdekaan Kongo. Kami telah membunuh minimalnya lima ribu orang Kongo sehingga kami kemudian bisa membebaskan para tawanan kulit putih. Dalam kejadian ini, para pendeta kulit putih yang terkait dengan gerakan misionaris telah memberi kami petunjuk karena mereka mengenal kondisi daerah itu.”
Harian Observer terbitan London pada tahun 1964 memuat tulisan seorang penulis yang membahas masalah pembunuhan massal di Stanleyville. Tulisan itu antara lain berbunyi:
“Mungkin sebagian orang membayangkan bahwa kelompok-kelompok religius dan misionaris Kristen adalah orang-orang yang baik dan tidak melakukan kejahatan terhadap rakyat Kongo. Namun saya menyaksikan sendiri bahwa pada masa Musa Chumbe, semua misionaris di Katanga menjadi pelindung politik yang kuat bagi Rezim Chumbe, yang pada saat itu bahkan mengumumkan perang terhadap PBB.”
Patrice Lumumba, pemimpin rakyat Kongo, juga memperhatikan masalah ini. Setelah terpilih menjadi perdana menteri, dia mengumumkan bahwa sebagian misionaris merupakan anggota resmi Angkatan Bersenjata Belgia. Oleh karena itu, dia menuntut agar para misionaris meninggalkan Kongo!
Peran seperti ini juga dilakukan oleh para misionaris di negara-negara Afrika lainnya, seperti Uganda, Nigeria, Sudan, Ghana, dan Senegal. Sebagai contoh, uskup Richard Ruzdir dengan alasan campur tangan atas urusan internal Ghana telah diusir dari negara ini.
Dengan memperhatikan kenangan pahit rakyat Afrika terhadap para misionaris, komisi penyebaran agama Kristen pada tahun-tahun terakhir ini telah mengubah metode dan politik mereka untuk hadir di Afrika. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa metode dakwah yang paling membawa hasil adalah metode tidak langsung. Oleh karena itu, kehadiran misionaris secara fisik dalam bentuknya yang khas, tidak akan banyak menarik perhatian kaum pribumi.
Para misionaris mengetahui bahwa dengan wajah dan profesi yang berbeda-beda, mereka akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menyebarkan paham kebudayaan mereka. Dokter, guru, insinyur, peneliti, anggota kelompok ilmuwan, dan perawat merupakan sekian di antara profesi-profesi yang digunakan sebagai kedok oleh para misionaris. Mereka dikirim ke negara-negara tujuan untuk menyebarkan ajaran Kristen tanpa harus menyinggung sensitivitas penduduk pribumi (Bersambung).
“Eropa dalam Perang Salib menggunakan pedang, sekarang menggunakan penyebaran paham sebagai cara untuk mencapai maksud-maksudnya. Dengan Perang Salib baru ini, Eropa ingin mencapai tujuannya tanpa pertumpahan darah. Dalam usahanya ini, Eropa memanfatkan gereja, sekolah-sekolah, dan rumah sakit serta menyebarkan misionaris mereka."
Dewasa ini, penyebaran ajaran Kristen di berbagai negara merupakan salah satu strategi politik para pemimpin negara Barat. Kerjasama antara gereja dan negara-negara Barat merupakan kerjasama bersejarah yang dimulai sejak abad pertengahan sampai pada periode kolonialisme baru. Negara-negara Barat dan perusahaan-perusahaan multinasional telah menanamkan modal yang sangat besar pada yayasan-yayasan penyebar ajaran Kristen. David Waren, penanggung jawab Ensiklopedia Dunia Kristen, berkenaan dengan biaya propaganda misionaris di seluruh dunia, menyatakan bahwa data statistik tahun 1970 menunjukkan bahwa 70 milyar dolar telah dihabiskan untuk membiayai aktivitas misionaris pada tahun itu. Menurutnya, kurang dari dua dekade jumlah ini telah mencapai hampir dua kali lipatnya dan terus akan meningkat.Dalam dunia Kristen, terdapat banyak kelompok atau sekte yang berbeda-beda. Namun, dalam melakukan aktivitas propagandanya di seluruh dunia, kelompok-kelompok ini menghilangkan perbedaan di antara mereka dan bersatu-padu dalam kelompok yang sama. Kita bisa melihat bahwa di Afrika isalnya, misionaris Katolik dan Protestan saling berdampingan untuk menyebarkan ajaran yang sama. John B. Nas, seorang penulis Inggris dalam bukunya berjudul Sejarah Agama-Agama menulis bahwa persatuan yang signifikan di antara berbagai kelompok Protestan terjadi dalam aktivitas misionaris yang memiliki kepentingan dan makna yang sangat besar. Penyebaran ajaran Kristen ke berbagai negara membuktikan bahwa perbedaan antara berbagai gereja dan kelompok Kristen sama sekali tidak memiliki hasil. Para misionaris terikat pada semua kelompok dan gereja. Mereka tidak menghabiskan waktu untuk mengurusi perbedaan ini. Jika diperlukan, mereka siap untuk melupakan berbagai perbedaan yang ada di antara mereka.
Benua Afrika adalah salah satu kawasan terpenting bagi penyebaran ajaran Kristen oleh kaum misionaris. Ajaran Kristen di Afrika memiliki sejarah yang panjang. Serangan Eropa ke Afrika yang terjadi sejak akhir abad ke-15, telah membuka jalan bagi infiltrasi kaum misionaris ke benua ini. Para misionaris selama berabad-abad berada di samping tentara kolonialis di berbagai tempat di Afrika. Dalam kongres Baitul Maqdis yang dibentuk tahun 1963, semua orang Afrika peserta kongres itu menyatakan bahwa menurut pandangan rakyat Afrika, kehadiran para misionaris menghidupkan kenangan kolonialisme. Kenyataannya, di mana saja misionaris menginjakkan kaki, kolonialisme di negara itu pun segera dimulai.
Sejarah kehadiran misionaris di Afrika menjelaskan adanya kesefahaman dan kerjasama mereka dengan negara-negara penjajah. Selama perang, para misionaris memberikan bantuan yang berharga kepada pasukan penjajah. Biasanya, ketika pasukan penjajah masuk ke sebuah negara, pusat-pusat misionaris akan dijadikan pangkalan militer. Para misionaris itu kemudian akan menjadi salah satu penyuplai senjata, pasukan, dan makanan bagi para kolonialis. Selain itu, karena mereka mengenal suku-suku dan daerah-daerah, mereka akan menjadi mata-mata dan sumber informasi untuk para kolonialis.
Dalam serangan tentara Belgia ke Stanleyville, kita bisa melihat bahwa para misionaris telah menjadi penunjuk jalan bagi para tentara penjajah. Kota Stanleyville yang pada tahun 1966 diubah namanya menjadi Kisangani, adalah salah satu kota berpenduduk muslim di Kongo. Rakyat kota ini berjuang gigih menentang kehadiran pasukan Belgia. Pada tanggal 24 dan 25 September 1964, penduduk kota ini diserang habis-habisan oleh tentara Belgia yang mendapat dukungan dari tentara Amerika.
Jenderal Mike, komandan kulit putih bayaran yang dipekerjakan oleh Musa Chumbe, pemimpin pemberontak Kongo, mengutarakan kenangannya atas kejadian tersebut sebagai berikut:
“Kami tidak mengasihani anak kecil atau orang dewasa karena ada kemungkinan bahwa setiap mereka adalah anggota gerakan kemerdekaan Kongo. Kami telah membunuh minimalnya lima ribu orang Kongo sehingga kami kemudian bisa membebaskan para tawanan kulit putih. Dalam kejadian ini, para pendeta kulit putih yang terkait dengan gerakan misionaris telah memberi kami petunjuk karena mereka mengenal kondisi daerah itu.”
Harian Observer terbitan London pada tahun 1964 memuat tulisan seorang penulis yang membahas masalah pembunuhan massal di Stanleyville. Tulisan itu antara lain berbunyi:
“Mungkin sebagian orang membayangkan bahwa kelompok-kelompok religius dan misionaris Kristen adalah orang-orang yang baik dan tidak melakukan kejahatan terhadap rakyat Kongo. Namun saya menyaksikan sendiri bahwa pada masa Musa Chumbe, semua misionaris di Katanga menjadi pelindung politik yang kuat bagi Rezim Chumbe, yang pada saat itu bahkan mengumumkan perang terhadap PBB.”
Patrice Lumumba, pemimpin rakyat Kongo, juga memperhatikan masalah ini. Setelah terpilih menjadi perdana menteri, dia mengumumkan bahwa sebagian misionaris merupakan anggota resmi Angkatan Bersenjata Belgia. Oleh karena itu, dia menuntut agar para misionaris meninggalkan Kongo!
Peran seperti ini juga dilakukan oleh para misionaris di negara-negara Afrika lainnya, seperti Uganda, Nigeria, Sudan, Ghana, dan Senegal. Sebagai contoh, uskup Richard Ruzdir dengan alasan campur tangan atas urusan internal Ghana telah diusir dari negara ini.
Dengan memperhatikan kenangan pahit rakyat Afrika terhadap para misionaris, komisi penyebaran agama Kristen pada tahun-tahun terakhir ini telah mengubah metode dan politik mereka untuk hadir di Afrika. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa metode dakwah yang paling membawa hasil adalah metode tidak langsung. Oleh karena itu, kehadiran misionaris secara fisik dalam bentuknya yang khas, tidak akan banyak menarik perhatian kaum pribumi.
Para misionaris mengetahui bahwa dengan wajah dan profesi yang berbeda-beda, mereka akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menyebarkan paham kebudayaan mereka. Dokter, guru, insinyur, peneliti, anggota kelompok ilmuwan, dan perawat merupakan sekian di antara profesi-profesi yang digunakan sebagai kedok oleh para misionaris. Mereka dikirim ke negara-negara tujuan untuk menyebarkan ajaran Kristen tanpa harus menyinggung sensitivitas penduduk pribumi (Bersambung).
Post a Comment
Post a Comment