Ketika memasuki benua Afrika, para misionaris menemukan fakta yang mengejutkan yaitu sedemikian luasnya pengaruh Islam di benua ini. Padahal penyebaran agama Islam di Afrika tidak dilakukan secara sistematis oleh umat Muslim atau oleh para mubalighnya. Sebaliknya, politik kolonialisme dan penjajahan terhadap berbagai wilayah Afrika oleh Belgia, Portugis, Perancis, dan Inggris dalam waktu yang sangat lama memberikan kesempatan sangat luas bagi para misionaris untuk menyebarkan ajaran Kristen di benua ini.
Menyusul ucapan Paus pada akhir tahun 1960-an bahwa “dunia secara menyeluruh harus menjadi Kristen”, serangan para misionaris terhadap berbagai agama lain, terutama Islam, muncul dalam berbagai bentuk. Dengan mengadakan berbagai konferensi, yayasan, organisasi, dan lembaga keagamaan di berbagai negara, para misionaris melakukan aktivitasnya secara amat luas di setiap lapisan masyarakat. Yayasan-yayasan ini, setiap tahun membagi-bagikan ratusan ribu Injil, buku-buku, dan majalah secara gratis untuk menyebarkan pemikiran Kristen di tengah pemuda dan remaja dan berbagai lapisan masyarakat lainnya. Yayasan-yayasan ini memanfaatkan penulis, psikolog, dan spesialis terkemuka agar isi tulisan, warna, gambar dan desain grafis jilid buku, serta foto-foto bisa menarik perhatian pembaca.
Yayasan Emier merupakan salah satu contoh organisasi yang bertujuan untuk memukul Islam. Yayasan ini memilki 13 penerbitan dan salah satu aktivitasnya adalah menerbitkan buku dengan gambar-gambar yang menarik bagi anak-anak. Yayasan “Amalur-rab” adalah contoh lain dari yayasan misionaris ini yang memiliki ribuan pegawai profesional di berbagai bidang. Yayasan yang didirikan tahun 1928 dan didukung oleh Paus Johannes Paulus-II ini juga bergerak di bidang politik. Di berbagai negara, yayasan ini melakukan kegiatan mata-mata dan melakukan campur tangan dalam urusan pemerintahan.
Penerbitan Injil yang dicetak dalam bahasa lokal merupakan salah satu kegiatan yayasan-yasan misionaris. Seorang ustad muslim di negara Pantai Gading Afrika menceritakan bahwa suatu hari desanya didatangi oleh sekelompok pendeta yang memintanya untuk mengajarkan bahasa tradisional, dan tidak lagi mengajarkan bahasa Perancis atau Arab demi menjaga bahasa asli desa itu. Ustad muslim itu cukup cerdas untuk mengetahui tujuan di balik permintaan para pendeta tersebut. Ia kemudian berkata kepada para pendeta itu:
“Tujuan Anda untuk meminta saya mengajar bahasa tradisional kepada masyarakat adalah karena Anda sudah menerjemahkan Injil ke dalam bahasa asli kami dan Anda ingin agar pemikiran Kristen disebarkan kepada masyarakat kami dengan mudah. Sayang sekali, Quran sangat sedikit diterjemahkan ke dalam bahasa asli dan karena itu Anda meminta saya untuk tidak mengajarkan bahasa Arab. Sebab bila mereka mahir bahasa arab dengan sendirinya akan membuat masyarakat kami lebih memahami Quran. Dan bila mereka sudah memahami Quran, tentu saja mereka tidak akan mendengarkan perkataan Anda.”
Berkenaan dengan masalah penggunaan fasilitas canggih oleh para misionaris untuk menyebarkan pemikiran mereka, Doktor Zainab Abdul Aziz dalam penyampaian makalahnya yang berjudul Perluasan Propaganda Kristen dan Pentingnya Kewaspadaan Dunia Islam pada Konferensi Toleransi Islam di Casablanca, Maroko, berkata:
“Pada tahun 1990, di kota Brussel didirikan sebuah universitas bernama Penyebaran Kristen. Universitas ini memiliki pengajar-pengajar dari kalangan jurnalis dan pembicara terkemuka yang mahir dalam menyampaikan ilmu agama dan ajaran gereja. Mereka bertujuan mendidik para misionaris. Di antara perlengkapan canggih yang dimiliki universitas ini adalah satelit Luman 2000 yang bertujuan untuk menyebarkan terjemahan Injil dalam berbagai bahasa ke seluruh penjuru dunia sehingga bisa ditangkap oleh pesawat radio. Negara-negara seperti Sudan, Kenya, dan Uganda dengan mudah bisa menangkap siaran radio berisi terjemahan Injil ini dengan kualitas suara yang sangat bagus. Satelit ini dioperasikan melalui kerjasama dengan Vatikan dan pejabat kota Dallas Amerika."
Tanzania, sebuah negara di timur Afrika yang lebih dari 60 persen penduduknya muslim, kekuatan politiknya lebih banyak berada di tangan orang-orang Kristen yang populasinya hanya 30 persen. Kaum Kristiani di negara ini memiliki aktvitas yang sangat luas, mulai dari radio, televisi, sampai internet untuk menyebarluaskan kebudayaan kristen di tengah masyarakat Tanzania. Sejumlah 6.000 pendeta kristen di puluhan gereja melakukan aktivitasnya di negara ini. Mereka, sebagaimana juga di negara-negara Afrika lainnya, memanfaatkan tokoh-tokoh politik Tanzania untuk menyebarkan pemikirannya. Meskipun mereka menyatakan tidak campur tangan dalam urusan politik dalam negeri Tanzania, namun kenyataannya, dalam pemilu presiden, Dewan Gereja bahkan secara resmi menyampaikan pesan lewat radio dan koran mengenai keistimewaan seorang presiden. Aksi penguasaan terhadap sendi-sendi sebuah negara merupakan salah satu metode para misionaris untuk menyebarkan ajaran mereka.
Pendeta Peel, seorang pejabat gerakan misionaris di Afrika timur, pernah mengatakan:
“Tidak boleh ada negara Kristen yang memperbolehkan agama Kristen diperlakukan sama seperti agama-agama lainnya. Agama Kristen harus dikenalkan sebagai agama superior. Sebuah pemerintahan Kristen haruslah menunjukkan kinerjanya hingga masyarakat merasakan bahwa mereka yang pernah mengecap pendidikan kerohanian Kristen ini memiliki nilai yang lebih dibandingkan dengan orang lain dalam pekerjaan di pemerintahnya.”
Akan tetapi, meskipun telah dilakukan upaya yang sangat luas oleh para misionaris Kristen di Afrika serta telah digunakannya berbagai fasilitas dan keuangan yang sangat banyak dalam program misionaris itu, kenyataan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok penyebaran agama Kristen itu tidak pernah mampu mencapai tujuan-tujuan mereka. Sebuah majalah AS “Life” pernah menulis sebagai berikut:
“Di Afrika, meskipun kaum misionaris yang jumlahnya tak terhitung telah melakukan berbagai program penyebaran agama, dan untuk itu telah dikeluarkan dana yang tidak terhingga besarnya, mereka hanya mampu mengkristenkan satu berbanding 10 orang Afrika yang masuk Islam. Padahal, Islam hingga kini tidak pernah mengirimkan satupun kelompok penyebar agama secara resmi ke tempat manapun di dunia. Umat Islam juga tidak pernah mendirikan rumah sakit, masjid, dan pusat pendidikan sebagai cara untuk menyebarkan ajaran mereka.”
(Bersambung).
Anda sedang menyimak SEJARAH GERAKAN MISIONARIS DI DUNIA ISLAM Bagian [11]
Post a Comment