Pada bagian ini, kami ingin mengajak Anda menukil isi pidato seorang misionaris bernama W.H.T. Gairdner yang kami ambil dari buku Konferensi Misionaris Dunia, Misi dan Pemerintah, terbitan tahun 1910 yang berisi kumpulan pidato, laporan, diskusi, dan program-program misionaris.
Gairdner dalam Konferensi Misionaris Dunia menyatakan secara terang-terangan bahwa infiltrasi terhadap negara-negara Islam sangat diperlukan guna mempercepat kristenisasi di sana. Kepada para misionaris yang hadir dalam konferensi itu, Gairdner menyatakan:
“Masalah Islam tidak bisa kita abaikan begitu saja. Pertama, karena Islam telah mendekati pintu gerbang kita. Islam telah hadir dari Afrika Utara hingga Eropa. Pada dasarnya, boleh dikatakan bahwa Islam bergerak dari dua arah laut Mediterania. Kedua, karena Islam adalah masalah besar bagi kita. Islam bagaikan gunung yang kukuh yang berdiri di tengah-tengah kaum Kristen di Barat dan penyembah berhala di Timur. Saya ingin mengingatkan bahwa meskipun jika masalah kita di Jepang, Manchuria, China, dan India dapat kita selesaikan dan krisis yang terjadi dengan mereka dewasa ini secara baik dapat pula kita atasi, tembok penghalang yang tinggi itu, yakni Islam, masih tetap berdiri dan memisahkan kaum Kristiani di Barat dan Timur. Oleh karena itu, usaha untuk menyingkirkan penghalang ini tidak boleh kita tunda sampai esok!"
Gairdner berkali-kali secara implisit, dengan menyebutkan bahwa Islam adalah musuh, menyatakan bahwa para misionaris harus menggunakan berbagai cara untuk menghadapi Islam. Dalam pidatonya itu, dia juga menyebutkan berbagai negara dan masyarakat muslim, salah satunya adalah Afrika. Menurut Gairdner:
“Islam di bagian timur Afrika hingga Kamerun dan bagian barat Afrika hingga Nigeria, telah melakukan kemajuan. Saya berharap semua misionaris di Afrika Barat melakukan usaha maksimal demi mengkristenkan kaum muslimim. Dengan adanya musuh kita, yaitu Islam, kita harus mempersatukan diri. Kita harus membuat satu program bersama yang ..... dst."
Dalam upaya pengkristenan dunia, delegasi misionaris Afrika hingga kini melakukan berbagai tipuan agar mampu meraih posisi di antara rakyat pribumi Afrika. Salah satu di antara tipuan para misionaris adalah dengan memperkenalkan orang-orang yang mengaku semula muslim lalu berpindah ke agama Kristen. Beberapa tahun yang lalu, seorang pemuda bernama Buttuwil Mina muncul di televisi Zimbabwe. Dia menyatakan diri sebagai seorang muslim yang berpindah ke agama Kristen. Setelah beberapa lama, terungkap kenyataan bahwa dia tidak pernah menganut Islam, melainkan seorang pendeta yang selama lima tahun belajar agama di Kenya.
Dengan menelaah metode-metode penyebaran ajaran Kristen, terlihat juga bahwa para misionaris menggunakan gadis-gadis untuk menarik pemuda-pemuda muslim. Dalam buku Mission and Imperialism tertulis sebagai berikut:
“Kaum perempuan dalam pandangan para misionaris memiliki peranan yang sangat besar untuk mencapai tujuan mereka. Sebagian misionaris berkeyakinan bahwa delegasi misionaris harus berusaha menyampaikan ajaran mereka di tengah kaum perempuan muslim karena perempuan adalah alat yang paling penting untuk mengkristenkan sebuah negara muslim dengan segera. Perempuan adalah poros kehidupan sosial. Dengan memanfaatkan mereka, para misionaris bisa melakukan infiltrasi ke berbagai lapisan sosial masyarakat. Oleh karena itu, didirikanlah pusat-pusat pendidikan misionaris khusus untuk mendidik perempuan sesuai dengan ajaran Kristen.”
Sebagian pusat-pusat pendidikan ini secara langsung mendidik kaum perempuan, termasuk gadis-gadis remaja, untuk menjadi misionaris. Beberapa di antara pusat pendidikan itu berkedok yayasan pendidikan seni dan kerajinan tangan kaum perempuan. Kepada kaum perempuan yang bergabung dengan yayasan tersebut secara tidak langsung diajarkan nilai-nilai Kristiani.
Adanya penanaman modal organisasi-organisai misionaris dalam kegiatan misionaris perempuan juga bisa kita tangkap dari pidato Henry Jesups, seorang misionaris Amerika yang selama ini berupaya mengkristenkan Timur Tengah. Mengenai sebuah lembaga pendidikan kaum perempuan di Beirut, Jesup berkata:
“Lembaga pendidikan ini adalah prioritas saya. Lembaga ini kami buka untuk mendidik para perempuan dan dengan ini kami memberikan perhatian kepada dunia misionaris.”
Salah satu di antara negara Afrika yang dijadikan ladang aktivitas para misionaris adalah Guinea. Delegasi misionaris datang ke negara ini pada akhir abad ke-19 dan mendirikan puluhan gereja serta pusat penyebaran ajaran Kristen. Namun, mereka tetap tidak berhasil menarik perhatian rakyat Guinea. Hingga kini, penduduk muslim di Guinea tetap mayoritas, yaitu lebih dari 95 %. Padahal, para misionaris telah melakukan usaha infiltrasi dan memiliki kekuatan yang besar. Mereka juga melakukan aktivitas politik yang luas. Ketika Ahmad Sekou Toure naik sebagai presiden setelah kemerdekaan negara ini pada tanggal 2 Oktober 1958, dia mengusir semua pendeta kulit putih Katolik dan Protestan dari Guinea dan menyatakan, “Mereka dengan berkedok pendeta melakukan operasi mata-mata dan melakukan kerusakan.”
Setelah kematian Sekou Toure pada tahun 1984 yang diikuti oleh kebangkitan militer Guinea, para misionaris kembali melakukan aktivitasnya di negara itu. Dengan melakukan infiltrasi terhadap pemerintah, mereka mengubah sistem pendidikan Guinea dan mengubah Kementerian Urusan Islam yang dibentuk semasa pemerintahan Sekou Toure menjadi Kementrian Urusan Religius. Dengan disahkannya hukum revisi UUD Guinea pada tahun 1991, para misionaris melalui politikus-politikus Kristen berusaha menngambil posisi penting dalam kabinet kementrian. Meskipun 95 persen rakyat Guinea adalah muslim, namun para misionaris bebas melakukan penyebaran ajaran Kristen melalu radio dan televisi. Mereka umumnya melakukan aktivitas dengan berkedok sebagai organisasi non-pemerintah Amerika. Desa-desa merupakan daerah yang terpenting bagi mereka untuk melaksanakan misi penyebaran Kristen di Guinea (Bersambung).
Gairdner dalam Konferensi Misionaris Dunia menyatakan secara terang-terangan bahwa infiltrasi terhadap negara-negara Islam sangat diperlukan guna mempercepat kristenisasi di sana. Kepada para misionaris yang hadir dalam konferensi itu, Gairdner menyatakan:
“Masalah Islam tidak bisa kita abaikan begitu saja. Pertama, karena Islam telah mendekati pintu gerbang kita. Islam telah hadir dari Afrika Utara hingga Eropa. Pada dasarnya, boleh dikatakan bahwa Islam bergerak dari dua arah laut Mediterania. Kedua, karena Islam adalah masalah besar bagi kita. Islam bagaikan gunung yang kukuh yang berdiri di tengah-tengah kaum Kristen di Barat dan penyembah berhala di Timur. Saya ingin mengingatkan bahwa meskipun jika masalah kita di Jepang, Manchuria, China, dan India dapat kita selesaikan dan krisis yang terjadi dengan mereka dewasa ini secara baik dapat pula kita atasi, tembok penghalang yang tinggi itu, yakni Islam, masih tetap berdiri dan memisahkan kaum Kristiani di Barat dan Timur. Oleh karena itu, usaha untuk menyingkirkan penghalang ini tidak boleh kita tunda sampai esok!"
Gairdner berkali-kali secara implisit, dengan menyebutkan bahwa Islam adalah musuh, menyatakan bahwa para misionaris harus menggunakan berbagai cara untuk menghadapi Islam. Dalam pidatonya itu, dia juga menyebutkan berbagai negara dan masyarakat muslim, salah satunya adalah Afrika. Menurut Gairdner:
“Islam di bagian timur Afrika hingga Kamerun dan bagian barat Afrika hingga Nigeria, telah melakukan kemajuan. Saya berharap semua misionaris di Afrika Barat melakukan usaha maksimal demi mengkristenkan kaum muslimim. Dengan adanya musuh kita, yaitu Islam, kita harus mempersatukan diri. Kita harus membuat satu program bersama yang ..... dst."
Dalam upaya pengkristenan dunia, delegasi misionaris Afrika hingga kini melakukan berbagai tipuan agar mampu meraih posisi di antara rakyat pribumi Afrika. Salah satu di antara tipuan para misionaris adalah dengan memperkenalkan orang-orang yang mengaku semula muslim lalu berpindah ke agama Kristen. Beberapa tahun yang lalu, seorang pemuda bernama Buttuwil Mina muncul di televisi Zimbabwe. Dia menyatakan diri sebagai seorang muslim yang berpindah ke agama Kristen. Setelah beberapa lama, terungkap kenyataan bahwa dia tidak pernah menganut Islam, melainkan seorang pendeta yang selama lima tahun belajar agama di Kenya.
Dengan menelaah metode-metode penyebaran ajaran Kristen, terlihat juga bahwa para misionaris menggunakan gadis-gadis untuk menarik pemuda-pemuda muslim. Dalam buku Mission and Imperialism tertulis sebagai berikut:
“Kaum perempuan dalam pandangan para misionaris memiliki peranan yang sangat besar untuk mencapai tujuan mereka. Sebagian misionaris berkeyakinan bahwa delegasi misionaris harus berusaha menyampaikan ajaran mereka di tengah kaum perempuan muslim karena perempuan adalah alat yang paling penting untuk mengkristenkan sebuah negara muslim dengan segera. Perempuan adalah poros kehidupan sosial. Dengan memanfaatkan mereka, para misionaris bisa melakukan infiltrasi ke berbagai lapisan sosial masyarakat. Oleh karena itu, didirikanlah pusat-pusat pendidikan misionaris khusus untuk mendidik perempuan sesuai dengan ajaran Kristen.”
Sebagian pusat-pusat pendidikan ini secara langsung mendidik kaum perempuan, termasuk gadis-gadis remaja, untuk menjadi misionaris. Beberapa di antara pusat pendidikan itu berkedok yayasan pendidikan seni dan kerajinan tangan kaum perempuan. Kepada kaum perempuan yang bergabung dengan yayasan tersebut secara tidak langsung diajarkan nilai-nilai Kristiani.
Adanya penanaman modal organisasi-organisai misionaris dalam kegiatan misionaris perempuan juga bisa kita tangkap dari pidato Henry Jesups, seorang misionaris Amerika yang selama ini berupaya mengkristenkan Timur Tengah. Mengenai sebuah lembaga pendidikan kaum perempuan di Beirut, Jesup berkata:
“Lembaga pendidikan ini adalah prioritas saya. Lembaga ini kami buka untuk mendidik para perempuan dan dengan ini kami memberikan perhatian kepada dunia misionaris.”
Salah satu di antara negara Afrika yang dijadikan ladang aktivitas para misionaris adalah Guinea. Delegasi misionaris datang ke negara ini pada akhir abad ke-19 dan mendirikan puluhan gereja serta pusat penyebaran ajaran Kristen. Namun, mereka tetap tidak berhasil menarik perhatian rakyat Guinea. Hingga kini, penduduk muslim di Guinea tetap mayoritas, yaitu lebih dari 95 %. Padahal, para misionaris telah melakukan usaha infiltrasi dan memiliki kekuatan yang besar. Mereka juga melakukan aktivitas politik yang luas. Ketika Ahmad Sekou Toure naik sebagai presiden setelah kemerdekaan negara ini pada tanggal 2 Oktober 1958, dia mengusir semua pendeta kulit putih Katolik dan Protestan dari Guinea dan menyatakan, “Mereka dengan berkedok pendeta melakukan operasi mata-mata dan melakukan kerusakan.”
Setelah kematian Sekou Toure pada tahun 1984 yang diikuti oleh kebangkitan militer Guinea, para misionaris kembali melakukan aktivitasnya di negara itu. Dengan melakukan infiltrasi terhadap pemerintah, mereka mengubah sistem pendidikan Guinea dan mengubah Kementerian Urusan Islam yang dibentuk semasa pemerintahan Sekou Toure menjadi Kementrian Urusan Religius. Dengan disahkannya hukum revisi UUD Guinea pada tahun 1991, para misionaris melalui politikus-politikus Kristen berusaha menngambil posisi penting dalam kabinet kementrian. Meskipun 95 persen rakyat Guinea adalah muslim, namun para misionaris bebas melakukan penyebaran ajaran Kristen melalu radio dan televisi. Mereka umumnya melakukan aktivitas dengan berkedok sebagai organisasi non-pemerintah Amerika. Desa-desa merupakan daerah yang terpenting bagi mereka untuk melaksanakan misi penyebaran Kristen di Guinea (Bersambung).
Post a Comment