Pada hakekatnya, segala sesuatu tentang kehidupan manusia sejak awal peradaban manusia itu sendiri dimulai hingga akhir jaman nanti telah dijelaskan oleh Allah melalui para nabi dan Rasul utusan-Nya, dan segala penjelasan itu kemudian "ditutup" dengan disempurnakannya Islam sebagai agama yang diridhai Allah SWT melalui Nabi dan Rasul terakhir, yaitu Muhammad saw.
Di antara penjelasan-penjelasan tsb adalah mengenai musibah, cara menyikapinya, dan penyebab terjadinya sebagaimana dijelaskan berikut:
Bala’
Secara literal, al-bala’ bermakna al-ikhtibar (ujian). Istilah bala’ sendiri digunakan untuk menggambarkan ujian yang baik maupun yang buruk (Imam ar-Razi, Mukhtâr al-Shihâh, hal. 65). Dalam kitab al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an dinyatakan, bahwa bala’ itu memiliki tiga bentuk; ni’mat (kenikmatan), ikhtibaar (cobaan atau ujian), dan makruuh (sesuatu yang dibenci) (Syihâb al-Dîn Ahmad, al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an, juz 1, hal. 85). Di dalam al-Quran, kata bala’ disebutkan di enam tempat, dengan makna yang berbeda-beda; (Qs. al-Baqarah [2]: 49; Qs. al-A’râf [7]: 141; Qs. al-Anfâl [8]: 17; Qs. Ibrahim [14]: 6; Qs. ash-Shafât [37]: 106; Qs. ad-Dukhân [44]: 33). Ada yang bermakna cobaan dan ujian yang dibenci manusia. Ada pula yang berarti kemenangan atau kenikmatan (bala’ hasanan).
Bala’ dalam konteks ujian yang buruk, misalnya terdapat di dalam firman Allah SWT berikut ini:
“Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 49).
Ayat ini bercerita tentang diselamatkannya Bani Israil dari penyembelihan dan kekejaman Fir’aun.
Menurut Ali ash-Shabuni, Bala’ dalam ayat ini adalah al-mihnah wa al-ikhtibâr (ujian dan cobaan) yang ditimpakan oleh Fir’aun kepada Bani Israil; yakni penyembelihan anak laki-laki [Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 1, hal. 57].
Adapun Bala’ dalam konteks ujian yang baik terdapat dalam firman Allah SWT berikut ini:
“Maka sebenarnya, bukan kamu yang membunuh mereka. Akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik (bala’an hasanan). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-Anfâl [8]: 17).
Menurut Imam al-Baidhawi dalam Tafsir al-Baidhawi, kata Bala’ pada ayat di atas adalah kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang-orang beriman, yang berujud pertolongan Allah (al-nashr), al-ghanimah (harta rampasan perang), dan al-musyahadah (mati syahid) [Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 3, hal. 97].
Musibah.
Musibah adalah al-baliyyah (ujian) dan semua perkara yang dibenci oleh manusia. Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisân al-‘Arab menyatakan, bahwa musibah adalah al-dahr (kemalangan, musibah, dan bencana) [Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 535].
Menurut Imam al-Baidhawi, musibah adalah semua kemalangan yang dibenci dan menimpa umat manusia. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, “Setiap perkara yang menyakiti manusia adalah musibah.” [Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 1, hal. 431].
Kata musibah dalam Al-Qur'an disebutkan dalam sepuluh ayat, dan semuanya bermakna kemalangan, musibah, dan bencana yang dibenci manusia. Namun demikian, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk menyakini, bahwa semua musibah itu datang dari Allah SWT, dan atas ijinNya.
Allah SWT berfirman:
“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepadanya hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. al-Taghâbun [64]: 11).
‘Adzab
Secara literal, ‘adzab adalah al-nakâl wa al-‘uqûbah (peringatan bagi yang lain, dan siksaan (hukuman) [Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 585]. Al-nakâl adalah peringatan yang berupa siksaan atau hukuman kepada yang lain. Kata al-‘adzab biasanya digunakan pada konteks hukuman atau siksaan kelak di hari akhir.
Allah SWT berfirman:
“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Qs. al-Baqarah [2]: 7).
“Sesungguhnya, orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akherat, Kami sediakan bagi mereka adzab yang pedih.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 10), dan lain sebagainya.
Namun demikian, kata ‘adzab juga digunakan dalam konteks hukuman di kehidupan dunia.
Allah SWT berfirman:
“Tak ada suatu negeripun yang durhaka penduduknya, melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat, atau Kami adzab (penduduknya) dengan adzab yang keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab Lauh al-Mahfuudz.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 58).
Menurut Ali ash-Shabuni, jika penduduk suatu kota ingkar atau bermaksiyat kepada perintah Allah SWT, mendustakan Rasul-rasulNya, niscaya Allah akan menghancurkan mereka, baik dengan kehancuran secara total (pemusnahan), maupun ditimpa dengan hukuman yang amat keras [Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 2, hal. 165].
Di ayat yang lain, Allah SWT berfirman:
“Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengadzab orang-orang kafir di antara mereka dengan adzab yang pedih.” (Qs. al-Fath [48]: 25).
Tatkala menafsirkan ayat ini, Ali ash-Shabuni mengatakan, “Seandainya orang-orang kafir itu dipisahkan satu dengan yang lain, kemudian dipisahkan antara yang mukmin dengan yang kafir, tentulah Allah akan mengadzab orang-orang kafir dengan adzab yang sangat keras, berupa pembunuhan, penawanan, maupun pengusiran dari negeri-negeri mereka.” [Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 3, hal. 48].
Keterangan ini diperkuat dengan firman Allah SWT yang lain, yakni:
“Dan jikalau tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar Allah mengadzab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akherat adzab neraka.” (Qs. al-Hasyr [59]: 3).
Ayat ini bercerita tentang pengusiran Bani Nadzir, sekaligus mengisahkan, bahwa jikalau Allah SWT tidak menetapkan hukuman pengusiran terhadap Bani Nadzir, niscaya mereka akan diadzab dengan pembunuhan (al-qatl). Hukuman bagi mereka cukup dengan pengusiran, bukan pembunuhan seperti halnya hukuman bagi Yahudi Bani Quraidzah.
Ayat di atas juga menunjukkan, bahwa ‘adzab tidak hanya berasal dari Allah SWT saja, akan tetapi juga bersumber dari manusia sendiri, yakni berupa hukuman atau sanksi di kehidupan dunia.
Penyebab Datangnya ‘Adzab Allah
Pada dasarnya, penyebab datangnya ‘adzab Allah SWT adalah kedzaliman, kemaksiatan, dan kefasikan. Allah SWT telah menyatakan hal ini dalam beberapa ayat Al-Qur'an; di antaranya adalah firmanNya:
“Dan tidak pernah Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedzaliman.” (Qs. al-Qashash [28]: 59).
“ ... maka tidak dibinasakan kecuali kaum yang fasik.” (Qs. al-Ahqâf [46]: 35).
“Kami telah membinasakan mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berbuat dosa (al-mujrim).” (Qs. ad-Dukhân [44]: 37).
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa ‘adzab Allah hanya akan dijatuhkan kepada penduduk negeri yang melakukan kedzaliman, kemaksiatan, dan kefasikan. Dengan kata lain, ‘adzab Allah hanya akan dijatuhkan, tatkala peringatan-peringatan Allah SWT melalui lisan RasulNya telah diabaikan dan didustakan.
Akan tetapi, ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa ‘adzab Allah bisa saja mengenai orang-orang mukmin tatkala mereka enggan mencegah kemungkaran padahal mereka mampu melakukannya.
Dari Adi bin Umairah dituturkan, bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengadzab orang-orang secara keseluruhan akibat perbuatan mungkar yang dilakukan oleh seseorang, kecuali mereka melihat kemungkaran itu di depannya, dan mereka sanggup menolaknya, akan tetapi mereka tidak menolaknya. Apabila mereka melakukannya, niscaya Allah akan mengadzab orang yang melakukan kemungkaran tadi dan semua orang secara menyeluruh.” [HR. Imam Ahmad].
Sedangkan ‘adzab manusia, baik berupa pembunuhan, teror, pengusiran, dan lain sebagainya semata-mata tergantung dari kehendak manusia itu sendiri. Contohnya, Fir’aun pernah mengumumkan hukuman bunuh bagi bayi yang lahir laki-laki. Rasulullah Saw menghukum Bani Quraidzah dengan pembunuhan atas pengkhianatan mereka. Nabi Saw juga pernah mengusir Bani Nadzir dari kota Madinah, sebagai hukuman atas makar yang mereka lakukan.
Jenis-Jenis ‘Adzab Allah
‘Adzab Allah SWT ada dua jenis.
Pertama, ‘adzab yang ditimpakan kepada penduduk suatu negeri yang berakibat musnahnya penduduk kota tersebut (isti’shâl).
Kedua, ‘adzab yang sangat keras, akan tetapi tidak sampai memusnahkan penduduk negeri tersebut.
‘Adzab jenis pertama dijatuhkan Allah SWT kepada umat terdahulu, seperti kaum Nabi Nuh, kaum Tsamud, dan lain sebagainya. Kaum-kaum tersebut telah dimusnahkan Allah SWT akibat pengingkaran mereka terhadap tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
Jika tanda-tanda kebesaran Allah SWT telah ditunjukkan kepada suatu kaum, namun kaum tersebut tetap saja ingkar dan mendustakan Allah dan RasulNya, maka cepat atau lambat Allah SWT pasti akan memusnahkan kaum tersebut.
Allah SWT berfirman:
“Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari Kiamat atau kami adzab (penduduknya) dengan adzab yang sangat keras. Yang demikian itu tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfudz). Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan tanda-tanda kekuasaan Kami) , melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 58-59).
Allah SWT telah menetapkan, bahwa orang-orang yang mendustakan tanda-tanda kekuasaanNya akan dimusnahkan. Tanda kebesaran Allah ini pernah diberikan kepada Rasul-Rasul terdahulu; misalnya, unta betina Nabi Shaleh bagi kaum Tsamud. Sayangnya, kaum Tsamud mengingkari tanda kebesaran Allah ini. Akhirnya kaum Tsamud dimusnahkan dari muka bumi.
Mayoritas ahli tafsir menyatakan bahwa ayat ini berhubungan dengan permintaan orang-orang Quraisy kepada Nabi Saw agar beliau menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah sebagai bukti kebenaran kenabian dan risalahnya. Akan tetapi, Allah SWT memberitahu Nabi Saw, bahwa jika Allah mengabulkan permintaan mereka, namun mereka tetap saja ingkar dan mendustakan tanda-tanda kebesaran Allah tersebut, niscaya mereka akan dimusnahkan sebagaimana kaum-kaum terdahulu [Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 2, hal. 165].
Oleh karena itu, Allah SWT tidak mengiyakan permintaan kaum Quraisy tersebut, dikarenakan Ia tidak ingin memusnahkan kaum Quraisy.
Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa ‘adzab isti’shâl (pemusnahan) tidak akan menimpa umat Muhammad Saw. Tetapi, umat Muhammad Saw tidak luput dari ‘adzab yang keras, jika mereka melakukan kedzaliman, kefasikan, dan kekufuran.
‘Adzab Akibat Pembesar-Pembesar Fasiq Dan Dzalim
Jika pembesar-pembesar suatu negeri atau kota melakukan kemaksiatan, kedurhakaan, dan kedzaliman, niscaya Allah akan mengirimkan ‘adzab kepada penduduk negeri tersebut.
Al-Qur’an telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas:
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah SWT), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 16).
Ibnu ‘Abbas tatkala menafsirkan ayat ini menyatakan:
“Maksud ayat ini adalah, jika Kami (Allah) telah memberikan kekuasaan kepada pembesar-pembesar di sebuah kota, kemudian mereka berbuat maksiyat di dalamnya, maka Allah SWT akan menghancurkan penduduk di negeri tersebut dengan ‘adzab.” [Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, juz 2, hal. 371].
Dalam ayat lain, Allah SWT mendiskripsikan pula kerusakan di darat dan laut akibat perbuatan manusia.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Qs. ar-Rûm [30]: 41).
Imam Baidhawi berkata, “Yang dimaksud dengan kerusakan (pada ayat tersebut) adalah paceklik (al-jadb), kebakaran yang merajalela, ketenggelaman, hilangnya keberkahan, dan banyaknya kelaparan sebagai akibat kemaksiatan dan ulah perbuatan manusia.” [Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 2, hal. 106].
Menurut Imam Ibnu Katsir, yang dimaksud kerusakan adalah berkurangnya hasil-hasil pertanian dan buah-buahan karena kemaksiatan manusia. Sebab, baiknya bumi dan langit tergantung pada ketaatan [Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir, hal. 57].
Kedzaliman penguasa, keengganan rakyat melakukan koreksi dan muhasabah terhadap penguasa merupakan pemicu datangnya ‘adzab dari Allah SWT. Sebaliknya, ketaatan kepada Allah SWT merupakan kunci bagi perbaikan bumi dan seisinya.
Khatimah
Seorang mukmin harus menyakini bahwa seluruh musibah yang menimpa dirinya berasal dari Allah SWT. Sebab, tidak ada satupun musibah yang terjadi di muka bumi ini, kecuali atas Kehendak dan Ijin Allah SWT. Akan tetapi, seorang mukmin juga wajib mengimani adanya musibah-musibah yang disebabkan karena kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia sendiri
Sesungguhnya, musibah maupun ‘adzab yang ditimpakan Allah SWT kepada manusia ditujukan agar mereka kembali mentauhidkan Allah SWT, dan menjalankan seluruh syariatNya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sayangnya, banyak orang memandang musibah sebagai peristiwa dan fenomena alam biasa, bukan sebagai peringatan dan pelajaran dari Allah SWT. Akibatnya, mereka tetap tidak mau berbenah dan memperbaiki diri. Mereka tetap melakukan kemaksiatan dan menyia-nyiakan syariat Allah SWT. Mereka lebih percaya kepada kekuatan ilmu dan teknologi buatan manusia untuk menangkal bencana dan musibah dari pada Kekuatan dan Kekuasaan Allah SWT. Adanya musibah tidak justru menjadikan mereka rendah diri dan bersandar kepada Allah, namun justru menyeret mereka untuk semakin ingkar kepada Allah SWT.
Salahsatu bentuk pembenahan diri adalah berusaha semaksimal mungkin untuk menangkal bencana dan musibah dengan berbagai sarana dan prasarana; misalnya; merancang master planning yang komprehensif, membangun sistem drainase yang baik, mendirikan tembok dan bendungan beton yang kokoh, dan lain sebagainya. Namun, pembenahan harusnya tidak hanya berhenti pada aspek-aspek fisik seperti ini saja, akan tetapi harus mencakup pula pembenahan spritual yang mampu mengantarkan kepada ketaqwaan yang hakiki; yakni mentauhidkan Allah SWT dan menjalankan seluruh syariatNya. Sebab, penyebab utama datangnya ‘adzab adalah kemaksiatan, bukan semata-mata karena lemah maupun kurangnya sarana dan prasarana fisik -- Wallahu a’lam bi ash-Shawab.
Tidak ada di kalangan manusia yang suka pada bencana. Bencana adalah hal yang sangat menyusahkan manusia. Kerana itulah manusia bersedih hati dengan datangnya bencana.Kendati demikian, tidak ada di kalangan manusia, baik itu secara perseorangan maupun secara kelompok, dapat mengelak atau dapat terlepas daripada bencana, sekalipun dia seorang yang berkuasa atau seorang yang kaya. Cuma ada orang yang ditimpa bencana sekali-sekali saja, ada yang selalu, ada yang ringan, ada yang berat, ada yang terjadi pada dirinya, keluarga dan harta bendanya atau kedudukannya dan lain-lain lagi. Di antara bencana-bencana itu mana yang lebih berbahaya?
Sebenarnya bencana terbagi menjadi dua:
Pertama: Yang bersifat hissi atau bersifat lahir
Bencana ini berbagai macam bentuknya, di antaranya seperti sakit, harta hilang, kematian keluarga yang tercinta, difitnah, dipermalukan, dipukul orang, jatuh miskin, turun pangkat, perniagaan rugi, diPHK, harta musnah oleh bencana alam, dipenjara dan lain sebagainya.
Kedua: Yang bersifat maknawi atau rohani
Bencana ini berbagai macam pula bentuknya, seperti di antaranya adalah melupakan ilmu yang telah dipelajari, tercabut iman, atau iman berkurang, ilmu tidak diamalkan, iman tercabut yang ada hubungan dengan akidah. Iman merosot karena beberapa sebab, seperti di antaranya ada amalan yang biasa dikerjakan tidak lagi dikerjakan, atau melakukan dosa, baik itu kecil maupun besar.
Dosa itu, ada dosa lahir dan ada dosa batin. Di antara dosa-dosa itu ialah seperti berzina, riba, korupsi, mencuri, menipu, minum arak, judi, mengumpat, memfitnah, menghina, menghasut, hasad, tamak, bakhil, pemarah, mengadu domba dan lain-lain.
Dosa itu, ada dosa lahir dan ada dosa batin. Di antara dosa-dosa itu ialah seperti berzina, riba, korupsi, mencuri, menipu, minum arak, judi, mengumpat, memfitnah, menghina, menghasut, hasad, tamak, bakhil, pemarah, mengadu domba dan lain-lain.
Di antara dua bentuk bencana ini, bencana yang paling berbahaya ialah bencana yang bersifat rohani dan maknawi, karena bencana ini akan membawa ke Neraka. Sebaliknya bencana yang bersifat hissi tidak membawa ke Neraka. Bahkan menguntungkan karena boleh jadi dapat menjadi sebab dihapuskannya dosa atau mendapat derajat yang baik di dalam Sorga, asalkan pandai menerimanya.
Oleh karena itu bencana yang bersifat rohani dan maknawi ini sangat dibenci dan wajib dijauhi. Maksudnya, setiap dosa adalah bencana, maka wajib dijauhi. Tapi bencana yang bersifat hissi tidak perlu dibenci. Ia hanya menyusahkan, dan tidak menjadi alasan untuk dihindari. Juga tidak salah jika setelah ditimpa suatu bencana, kita berusaha mengatasinya dengan tawakal karena bagi orang-orang yang lemah iman dan tidak tahan dengan ujian dapat jatuh pada dosa lain atau tercabut iman karena ujian yang berat itu.
Tapi bagi orang yang mampu berhadapan dengan ujian atau orang yang imannya kuat, tidak salah pula untuk tidak berusaha menghilangkannya. Karena sifat 'ridha' menerima ketentuan Allah itu adalah salah satu sifat terpuji. Ia merupakan sifat-sifat Rasul, dan pahalanya amat besar di sisi Allah yang Maha Pemurah.
Di akhir zaman ini oleh karena kebanyakan umat Islam cenderung menjadi jahil pada ilmu agama, kemudian cinta dunianya juga begitu mendalam, maka mereka lebih banyak terikat dan dipengaruhi oleh kehidupan yang terdekat, yaitu dunia ini. Sedangkan kehidupan Akhirat hanya sekedar tahu adanya saja, namun hatinya tidak pernah berfikir ke sana. Timbullah sikap acuh tak acuh pada kehidupan Akhirat. Maka timbul pulalah "salah fikir". Kita memandang perkara yang terdekat ini amat penting. Nikmatnya menjadi tujuan, sedangkan bencananya diabaikan. Akibatnya nikmat dan bencana di Akhirat pun dipandang kecil saja!
Oleh karena itulah kita yang menjadi "lupa daratan" akibat nikmatnya dunia ini merasa sangat menderita bila mengalami bencana dunia. Tidak sedikit kalangan umat muslim yang apabila ditimpa bencana bersifat hissi di dunia ini (seperti sakit, miskin, dipecat, tidak naik pangkat, turun pangkat, difitnah, hilang harta, rugi di dalam perniagaan, dipukul, dipenjara dan lain sebagainya), MasyaAllah, bukan main sedihnya!
Galau, emosi jiwa, kusut fikiran, marah-marah, bersungut-sungut, merasa tidak bahagia, gelisah, merasa kesal tak berkesudahan. Mengadu di sana, mengadu di sini, bertemu siapa saja langsung ditumpahkan perasaan susahnya. Kekusutan fikirannya demikian nyata, terlihat pada wajahnya. Melakukan apa saja serba tidak kena. Begitulah perasaan kecewa pada ujian ini. Bila iman tak seberapa atau bahkan terlalu lemah, kemudian langsung putus asa. bahkan ada yang nekad bunuh diri untuk menyelesaikan masalahnya. Dia pikir dengan cara itu dapat menyelesaikan masalah. Dia ditipu oleh syaitan terkutuk karena memandang besarnya dunia ini. Tersesat jalan di dunia ini, dan ke Neraka akibatnya. Wal’iyazubillah!
Bagi umat Islam yang kuat imannya, datangnya ujian dan bencana dunia yang bersifat hissi ini tidak membuatnya demikian ambil pusing. Bahkan bagi golongan muqarrobin dan siddiqin seperti para Nabi, para Sahabat dan para Auliya, mereka sangat terhibur dengan ujian dunia itu. Mereka merasa dosa mereka terampuni dengan datangnya ujian dunia dan bencana tsb.
Rasulullah saw pernah bersabda:
”Tidaklah seorang hamba muslim tertimpa derita dari penyakit atau perkaran lain kecuali Allah hapuskan dengannya (sakit tersebut) kejelekan-kejelakannya (dosa-dosanya) sebagaimana pohon menggugurkan daunnya “ [HR. Bukhari-Muslim].
Perhatikan kisah berikut ini.
Pada zaman Rasulullah SAW, ada seorang perempuan yang memiliki tiga orang putra. Dia sanggup, bahkan bangga melepaskan ketiga putraya turut berjuang di medan perang, dan tersenyum ketika mendapat berita bahwa putra sulung dan putra keduanya gugur menjadi syuhada.
Namun dia menangis sangat sedih tatkala diberitahu bahwa putra bungsunya pun kemudian turut mati syahid.
Ketika ditanya mengapa sebelumnya ia tersenyum, namun sekarang menangis, sang bunda menjawab, “Aku sedih karena tidak ada lagi anak yang dapat kukorbankan untuk jihad fisabilillah!”
Umat Islam di zaman gemilang dan di zaman keemasan terutama sekitar 300 tahun setelah kepergian Rasulullah SAW sangat sensitif pada bencana yang bersifat maknawi dan rohani.
Mereka memandang serius bencana ini. Mereka sangat takut pada ujian yang bersifat maknawi dan rohani. Jiwa mereka sangat tersiksa dengan adanya ujian ini. Bahkan bencana dalam bentuk ini, belum datang pun sudah membuat mereka sangat takut kalau-kalau suatu masa nanti akan menghampiri mereka, baik itu secara sedar atau tidak. Kenapa? Sebab bencana ini dimurkai oleh Allah dan jika Allah tidak mengampuni, maka akan membawa mereka ke Neraka, wal’iyazubillah!
Hayati pula kisah di bawah ini.
Pada suatu hari, Sayidina Abu Bakar pergi ke kebunnya untuk melihat hasil tanamannya. Dilihatnya pohon-pohon dan tanamannya banyak yang sudah berbuah. Karena terlalu asyik melihat buah-buahnya yang sudah masak itu, beliau terlena dan ketinggalan shalat Ashar berjemaah bersama Rasulullah SAW. Dengan rasa takut dan kesal yang tidak terkira, kebun itu langsung diwakafkan untuk umat Islam dan beliau menggandakan shalatnya sebanyak 70 kali!
Pada suatu hari, Sayidina Abu Bakar pergi ke kebunnya untuk melihat hasil tanamannya. Dilihatnya pohon-pohon dan tanamannya banyak yang sudah berbuah. Karena terlalu asyik melihat buah-buahnya yang sudah masak itu, beliau terlena dan ketinggalan shalat Ashar berjemaah bersama Rasulullah SAW. Dengan rasa takut dan kesal yang tidak terkira, kebun itu langsung diwakafkan untuk umat Islam dan beliau menggandakan shalatnya sebanyak 70 kali!
Sebaliknya kebanyakan umat Islam di akhir zaman ini tidak sensitif dengan bencana maknawi dan rohani. Kita tidak merasakan apa-apa dengan adanya bencana ini dan rileks saja. Kita tidak merasa bersalah bahkan ada yang sama sekali mengabaikannya seolah-olah bencana ini tidak terjadi dan tidak pernah terjadi.
Sebagai contoh, kita tidak merasakan itu sebagai bencana apabila meninggalkan shalat atau terlewat shalat. Kita tidak merasakan bahwa bencana telah menimpa tatkala kita mengumpat, memfitnah, menghina, mendurhakai kedua orangtua dan guru, berzina, berbohong, korupsi, membuka aurat, bergaul bebas, tidak berzakat, tidak berpuasa, sombong, riya, tamak, bakhil, marah, dendam, hasad, dengki, mengadu domba, menghasut, bertengkar, membunuh, riba, tidak belajar, tidak berbelas kasihan, tidak bertenggang rasa, tidak toleran, tidak sabar, tidak pemurah, tidak iedha, tidak membantu orang lain dan dlsb.
Oleh karena bencana maknawi dan rohani ini tidak dianggap dan tidak dipandang bencana, maka pada sementara orang kemuin dianggap kebiasaan dan diamalkan setiap hari hingga menjadi budaya.
Sebagai contoh, bila kita berkumpul-kumpul, mengumpat dan mengolok-olok orang lain sering kita dengar bersama, tertawa bersama, rasa senang bersama, sambung-menyambung antara satu sama lain mengumpat orang lain. Adakalanya yang diumpat itu kawan sendiri, ayah ibunya, gurunya, pemimpin sendiri, isteri dan suami sendiri, hingga terlewat atau tertinggal shalat. Bertambah lagi membesar bencana itu yang tidak lagi dianggap bencana. Kemudian setelah selesai ada yang menipu orang, ada yang pulang ke rumah marah-marah pada isteri, membentak-bentak tidak menentu Bertambah besar lagi bencana itu, ibarat orang sakit, sakitnya telah kronik. Namun tidak terasa itu adalah bencana yang memecah-belah rumah tangga, keluarga, satu masyarakat, satu bangsa kemudian akhirnya terjun ke Neraka.
[Sumber: Blog Kajian Islam]
Post a Comment