Menu

Romo Gus Mendem Romo Gus Mendem Author
Title: Bantahan Logis Usia Aisyah Saat Menikah Dengan Nabi Muhammad Saw
Author: Romo Gus Mendem
Rating 5 of 5 Des:
Masalah ini selalu menjadi topik yang ‘hangat’ dalam perdebatan lintas agama, bahkan di kalangan internal umat Islam sendiri. Bedanya, dalam...

Masalah ini selalu menjadi topik yang ‘hangat’ dalam perdebatan lintas agama, bahkan di kalangan internal umat Islam sendiri. Bedanya, dalam konteks debat lintas agama, tujuannya si pencetus topik tidak lain hanya untuk menghina dan menghujat pribadi Rasulullah saw, meskipun hal ini sebetulnya sudah ratusan kali dijawab oleh umat Islam, namun tetap diulang-ulang lagi oleh penanya yang lain.

Jawaban yang paling sering kita temukan adalah dengan mengkaji dan menganalisa sanad dari hadits yang menginformasikan bahwa ketika menikah, Aisyah berusia 6 tahun dan hidup serumah (diartikan telah melakukan hubungan suami istri) pada umur 9 tahun. 

Secara keseluruhan terdapat beberapa hadits yang mencatat jelas soal umur Aisyah ini, termasuk dalam shahih Bukhari dan Muslim, artinya kedua ahli hadits ini ketika mengumpulkan hadits, menemukan cerita yang sama dari beberapa orang, lalu ketika ditelusuri jalur periwayatannya, mereka berkesimpulan bahwa orang-orang yang terlibat dalam ‘menurunkan’ kisah tersebut layak dipercaya. Makanya Bukhari dan Muslim mencatat hadits ini dengan kategori shahih.

Masalahnya, sekalipun ketika imam Bukhari dan imam Muslim memperoleh banyak sumber yang menceritakan umur Aisyah tersebut, jalur periwayatannya ternyata mengerucut kepada 1 orang, yaitu Hisyam, yang lahir tahun 61H (jadi tidak pernah bertemu dengan Aisyah yang wafat tahun 57H). Hisyam sendiri mendapatkan cerita tersebut dari bapaknya Urwah bin Zubair, salah seorang sahabat yang hidup di jaman Nabi Muhammad SAW, dia memperoleh kisah tersebut sebagaimana yang diceritakan Aisyah kepadanya.

Jadi sekalipun imam Bukhari dan Muslim menemukan banyaknya orang yang menceritakan hadits ini, sumbernya adalah 1 orang, melalui Hisyam, sebagai satu-satunya orang yang memperoleh informasi dari bapaknya Urwah. Redaksi hadits tersebut menunjukkan Aisyah bercerita kepada Urwah ‘face to face’, tidak ada orang lain, lalu beberapa tahun kemudian Urwah juga menceritakan ‘face to face’ kepada anaknya, Hisyam, setelah itu barulah Hisyam menyampaikan informasi kepada banyak orang.

Di sini saja sudah muncul pertanyaan logis. Peristiwa perkawinan Rasulullah dengan Aisyah merupakan kejadian yang terbuka dan diketahui oleh masyarakat, sebagaimana layaknya semua pernikahan yang ada pada waktu itu. Artinya semua orang tentu mengetahui berapa umur Aisyah ketika menikah, namun tidak satupun orang-orang di Madinah menginformasikan soal Aisyah yang menikah dengan Nabi pada usia belia tersebut.

Pertanyaan logis berikutnya, Hisyam selama 71 tahun tercatat tinggal lama di Madinah dan mempunyai banyak murid, termasuk ulama terkenal yang banyak menceritakan hadits, imam Malik dan imam Hanafi. Imam Malik misalnya menulis kitab ‘al-Muwaththa’ yang berisi kumpulan hadits yang beliau terima dan sudah diteliti keshahihannya, cerita tentang umur Aisyah tersebut tidak ada di sana.

Ketika ditelurusi lagi sanad matan dan perawinya, ternyata semuanya merupakan orang-orang yang tinggal di Irak, artinya Hisyam baru menceritakan kisah ini setelah berusia 71 tahun dan sudah pindah ke Irak, tempat Hisyam menghabiskan hari tuanya. Imam Malik sendiri berkomentar: “Hisyam layak dipercaya dalam semua perkara, kecuali setelah dia tinggal di Iraq“. Bagi anda yang tetap ngotot untuk membenarkan hadits tentang umur Aisyah ini tentu saja boleh mengatakan: ”Bisa saja Hisyam ketika di Madinah tidak menceritakan kisah ini dengan berbagai alasan, lalu baru disampaikannya ketika sudah pindah ke Irak..”.  Jadi, sekalipun pernyataan tersebut sudah lemah, namun kita terima saja dulu sebagai salah satu kemungkinan.

Persoalan logis berikutnya muncul ketika kita mensinkronkan antara hadist ini dengan hadist-hadits lain terkait dengan umur Aisyah, juga tercatat dalam kitab yang sama, Bukhari dan Muslim. Pada kesempatan lain dikisahkan tentang umur Aisyah ketika turunnya surat al-Qamar (maksudnya pada peristiwa mukjizat Rasulullah membelah bulan), ketika terjadinya perang Badar dan Uhud, perbandingan umur Aisyah dengan putri-putri nabi, Fatimah dan Asma’, dll, maka di sini juga terjadi ketidak-sesuaian.

Misalkan seseorang menginformasikan: ”Saya lahir pada bulan September 1964”, lalu memberikan informasi lain lagi: ”Ketika pemberontakan G30S PKI terjadi, saya lagi belajar di kelas 4 SD”. Kita tahu bahwa pemberontakan tersebut terjadi tahun 1965, apakah mungkin anak berumur 1 tahun duduk di kelas 4 SD? Maka pararelisme kedua informasi tersebut tentu menjadi lemah, atau paling tidak, salah-satunya pasti tidak akurat. Namun mungkin anda masih ngotot dan berargumen: ”Bisa saja informasi lain yang salah, karena tidak menyebut umur Aisyah dengan jelas, seperti hadits yang terang-terangan mencatat usia 6 dan 9 tahun, bukan?”  Sekali lagi, anggap saja pernyataan tersebut masih memiliki probabilitas.

Sekarang mari kita lihat ini. Peristiwa pernikahan antara nabi Muhammad SAW dengan Aisyah terjadi pada masa awal hijrah, ketika umat Islam yang masih berjumlah sedikit dan lemah, mengungsi dari Makkah ke Madinah, bahkan tercatat akad nikahnya dilakukan di Makkah sebelum mengungsi, namun baru berkumpul dengan Rasulullah ketika sudah tinggal di Madinah. 

Pertanyaan logisnya adalah: ”Apakah dalam masyarakat Arab waktu itu lumrah menikahkan anak perempuan mereka pada usia 6 atau 9 tahun?” Tidak ada catatan empiris yang menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan adat-istiadat mereka, dipastikan kalau itu yang terjadi maka ini menjadi suatu peristiwa yang luar-biasa yang akan banyak diperbincangkan orang. Para musuh-musuh Islam di Makkah pasti akan menjadikan pernikahan ini sebagai ’sasaran tembak’ untuk menyerang Islam yang masih lemah. Tindakan Rasulullah bisa dinilai sebagai sesuatu yang kontra-produktif terhadap syi’ar Islam, pada keadaan beliau bisa memilih wanita lain yang berumur layak untuk dinikahi dan tidak akan menimbulkan masalah.

Sebagai perbandingan, ketika Aa Gym melakukan poligami beberapa tahun lalu, popularitasnya langsung menurun, jamaah pengajian langsung sepi, padahal beliau menjalankan sesuatu yang dibolehkan dalam syari’at, namun karena dalam masyarakat tertanam nilai-nilai yang menganggap poligami merupakan tindakan yang tidak tepat dan didasari nafsu, maka para ibu-ibu pengikut acara pengajiannya pada bubar. Bayangkan jika Aa Gym melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma-norma agama.

Tidak tercatat adanya serangan dari musuh-musuh Islam di Makkah terhadap pernikahan ini, juga tidak tercatat adanya ’eksodus’ para pengikut Rasulullah untuk kembali murtad, termasuk juga pada orang-orang di Madinah yang merupakan masyarakat yang baru menerima Islam, menunjukkan bahwa pernikahan RAsulullah SAW tsb tidak pernah dipermasalhkan.

Anda mungkin bisa saja tetap ngotot dengan mengatakan: ”Nabi Muhammad SAW telah menyihir para pengikutnya dengan mengatakan pernikahan tersebut merupakan perintah Tuhan, lalu membuat mereka takut untuk membantah. Tujuannya jelas karena ingin menyalurkan hasratnya yang pedofilia”.

Pertanyaan logisnya adalah: ”Kalau memang beliau memiliki kecenderungan pedofilia, lalu mengapa pada awalnya Rasulullah malah menikahi Siti Khadijah yang berumur lebih tua?” Anda mungkin berkelit: ”Kecenderungan tersebut muncul setelah beliau menjadi nabi, ketika Khadijah sudah meninggal dunia..” 

Kembali lagi muncul pertanyaan logis: ”Setelah Khadijah wafat, Rasulullah melakukan poligami dengan 10 orang istri. Faktanya yang 'tercatat' berumur 6 tahun hanyalah Aisyah. Jika memang mau mengikuti kecenderungan tersebut maka pastinya bukan hanya Aisyah yang dinikahi ketika berusia di bawah umur. Rasulullah bisa menikahi Aisyah, lalu apa sulitnya beliau menikahi wanita muda lain dengan alasan yang sama?”  Alasan pedofilia menjadi tidak akurat dalam menghadapi fakta pernikahan Rasulullah tersebut.

Lalu ada keberatan lain: ”Tidak layak seorang tua berumur 60 tahun menikahi gadis belia belasan tahun. Orang tua yang sudah uzur dan loyo seharusnya memikirkan yang lain ...”

Anehnya soal nikah beda usia ini terjadi sampai sekarang dan tidak pernah jadi masalah. Anda tahu Rod Stewart, si penyanyi idola asal Britania Raya? Pada tahun 2007 dia menikah untuk ketiga kalinya  dalam usia 62 tahun dengan seorang model yang lahir tahun 1971. Mick jagger masih loncat-loncatan di panggung musik pada usianya yang sudah mendekati 70 tahun. 

Tidak usah jauh-jauh, Ahmad Albar rocker gaek indonesia, masih pakai kaos buntung dan masih wara-wiri berteriak: ”Rock di udara!” Bahkan dalam khazanah Kristen, Bunda Maria belum berusia 12 tahun ketika menikah dengan Jusuf si tukang kayu yang sudah berumur 90 tahun lebih! Di antara mereka terbentang jarak usia yang sangat jauh. Sekali lagi, aneh kalau mempermasalahkan soal beda usia antara nabi Muhammad dengan Aisyah.

Soal berapa sebenarnya usia wanita yang layak untuk menikah juga menjadi pertanyaan. Secara biologis, wanita dikatakan layak untuk menikah ketika sudah mengalami menstruasi karena fisiknya sudah bisa melakukan pembuahan. Dunia kesehatan mengatakan wanita mengalami haid/menstruasi pertama kali secara normal  pada usia 8 tahun. Secara sosial terjadi perbedaan tergantung waktu/jaman dan tempat. 

Jaman kakek-nenek kita dulu, wanita tamat SD sudah layak menikah, bahkan ketika umur 20 tahun masih belum juga punya suami, maka dikatakan orang-orang sudah tidak lazim. Jaman sekarang usia yang pantas menikah menjelang 30 tahun.

Pada abad-19 di Amerika, masyarakat menerima pernikahan wanita pada umur 10 tahun, pada tahun 1930 terdapat 12 negara bagian di AS yang membolehkan wanita berumur 12 tahun untuk menikah atas ijin orang-tua.

Secara psikologis juga tidak bisa ditetapkan standardnya, wanita bisa saja secara matang menghadapi pernikahan dalam umur belasan, sementara di lain pihak ada yang sudah tua bangka tetap saja tidak mampu menghadapi perkawinan secara dewasa.

Dalam dunia Islam, pernikahan Rasulullah dengan Aisyah ini sebenarnya sesuatu hal yang ’tidak penting’, ini hanya soal pribadi beliau yang memiliki istri lagi di antara istri-istri beliau yang lain. Pernikahan seperti ini bukan merupakan suatu syari’at yang harus diikuti, makanya umat Islam tidak menyatakan menikahi wanita dalam usia muda dan memiliki perbedaan umur yang jauh sebagai suatu keutamaan.

Silahkan saja anda lirik kaum Muslim di sekeliling anda, apakah mereka mempraktekkan pernikahan model seperti ini sebagai suatu keutamaan. Paling banter cuma Syekh Puji saja yang bakalan mengatakan ini sebagai ’sunnah rasul’. Kalau kemudian umat Islam memperoleh hikmah di balik pernikahan ini, memang demikianlah faktanya.

Aisyah adalah wanita yang cerdas dan karena punya perbedaan usia yang jauh dengan Rasululah, beliau hidup lama setelah kepergian nabi Muhammad SAW. Dari beliaulah umat Islam banyak menerima hadist-hadits tentang kehidupan rumah-tangga, soal hubungan suami-istri, soal wanita dalam menghadapi masa haid/menstruasi, termasuk juga soal adab Rasulullah untuk membersihkan diri, mandi wajib, shalat tahajud, dlsb.

Ngototnya anda mempermasalahkan pernikahan ini tidak lain hanya didasari niat ingin menghina dan menghujat, dan itu ditujukan bukan kepada ajaran Islam tapi semata-mata diarahkan kepada pribadi Rasulullah saw, orang yang sama sekali tidak berhubungan dengan anda, tidak pernah bertemu, hidup di gurun pasir Arab lebih dari seribu tahun lalu.

Sikap ini menunjukkan ketika mempersoalkan perkawinan Rasulullah saw dengan Aisyah ini, anda sekalian sama sekali tidak mempunyai niat untuk mencari kebenaran atau meluruskan yang salah, bila memang ada yang terbukti salah, tapi sejak awal sudah dibutakan oleh nafsu untuk secara sefihak mendiskreditkan Nabi Muhammad saw sekalipun data yang anda punyai tidak sepenuhnya akurat.


Bagaimana? Sudah jelas sekarang?
Jika masih belum jelas juga, silahkan telusuri lebih detail di sini.

[Sumber: Islam Menjawab Fitnah]

Dari Author

Post a Comment

 
Top