Allah telah berfirman:
“Dirikanlah shalat, sungguh ini merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman” (QS. An-Nisaa’: 103-104)“Hai orang-orang yang beriman, ruku’ dan sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu; Berbuatlah kebaikan supaya kamu mendapatkan kemenangan” (QS. Al-Hajj: 77)
Istilah shalat berasal dari kata kerja “Shalaah” yang menyatakan suatu perbuatan dan orang yang melakukan disebut Mushallin, sementara pusat tempat melakukannya disebut Mushala.
Shalat merupakan suatu perbuatan memuliakan Allah yang menjadi suatu tanda syukur kaum muslimin sebagai seorang hamba dengan gerakan dan bacaan yang telah diatur khusus oleh Nabi Muhammad SAW yang tidak boleh diubah kecuali ada ketentuan-ketentuan yang memperbolehkannya.
Dalam kitab suci Al-Qur’an tidak menjelaskan secara detail sejak kapan dan bagaimana teknis pelaksanaan shalat yang diperintahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Meski demikian Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa shalat sudah dilakukan oleh umat-umat sebelumnya, seperti perintah shalat kepada Nabi Ibrahim dan anak cucunya, kepada Nabi Syu’aib, kepada Nabi Musa dan kepada Nabi Isa al-Masih.
Pernyataan Al-Qur’an tersebut dibenarkan oleh cerita-cerita yang ada dalam Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang mengisahkan tata cara beribadah para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, yaitu ada berdiri, ruku’ dan sujud, yang jika dirangkai maka menjadi shalat seperti shalat umat Islam dewasa ini.
[Keluaran 34:8] “Segeralah Musa berlutut ke tanah, lalu sujud menyembah.“
[Mazmur 95:6] “Masuklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut di hadapan TUHAN yang menjadikan kita.”
[Yosua 5:14] “Lalu sujudlah Yosua dengan mukanya ke tanah, menyembah.”
[Lukas 22:41] “Kemudian ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu ia berlutut dan berdoa."
[Markus 14:35] “Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa.”
Dari pernyataan ini, maka jelas bagi sipa pun bahwa shalat umat Islam pda hakekatnya sudah menjadi bagian dari tradisi dan ajaran yang baku dari semua Nabi dan Rasul Allah sepanjang zaman sebagaimana firman-Nya: “Demikianlah hukum Allah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada hukum Allah itu”. (QS. Al-Fath: 23)
Kisah perjalanan Nabi Muhammad SAW mengarungi angkasa raya yang disebut dengan istilah Isra’ dan Mi’raj, menceritakan awal diperintahkannya shalat kepada Nabi Muhammad. Dan juga terdapat dalam beberapa hadist yang dinyatakan shahih atau valid oleh sejumlah ulama besar.
Menurut hadist, Isra’ dan Mi’raj terjadi sewaktu Khadijah, istri pertama Rasulullah wafat. Peristiwa ini justru menjadi salah satu hiburan bagi Nabi yang baru ditinggalkan oleh sang istri tercinta dan juga paman beliau Abu Thalib, dan tahun ini disebut dengan tahun duka cita atau aamul ilzam.
Sementara itu ada yang mengatakan bahwa jauh sebelum terjadinya Isra’ dan mi’raj, Nabi Muhammad dipercaya telah melakukan shalat berjamaah dengan Khodijah sebagaimana yang pernah dilihat dan ditanyakan oleh ali bin abu Tholib yang waktu itu masih remaja.
Artinya perintah shalat telah diterima oleh Nabi Muhammad SAW sebelum beliau Isra’ Mi’raj, bahkan jauh sebelum itu.
Secara objektif ayat Al-Qur’an yang menceritakan mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj sama sekali tidak menyinggung tentang adanya perintah shalat kepada Nabi Muhammad saw. Allah berfirman: “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat”. (QS. Al-Isra’: 1)
Dan juga dalam firman-Nya:
“Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada wakyu yang lain, yaitu Sidratulmuntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal,(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratulmuntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, penglihatan (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya. Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda kebesaran Tuhannya yang paling besar”. (QS. An-Najm: 13-18).
Kedua surah tersebut hanya menekankan kisah perjalanan Nabi dalam rangka menunjukkan kepada beliau sebagian dari kebesaran Allah di alam semesta sekaligus merupakan kedua kalinya bagi Nabi melihat wujud asli dari malaikat Jibril setelah sebelumnya, beliau pernah melihat wujud asli malaikat Jibril saat menyampaikan wahyu pertama dari Allah di gua Hira.
Selain itu, di luar hadist Isra’ dan Mi’raj yang menggambarkan Nabi memperoleh perintah shalat pada peristiwa tersebut, Imam Muslim dalam musnadnya meriwayatkan sebuah hadist lain yang sama sekali tidak berhubungan dangan cerita Mi’raj, namun disana menjelaskan bagaimana Nabi mempelajari tata-cara shalat dari malaikat Jibril.
Dari Ibnu Mas’ud r. a . Rasulullah bersabda:” Turun jibril, lalu dia menjadi imam bagiku dan aku shalat bersamanya, kemudian aku shalat bersamanya, lalu aku shalat bersamanya dan aku shalat bersamanya, Nabi menghitung dengan lima anak jarinya”. [Hadist Riwayat Muslim].
SHALAT ADALAH PERJANJIAN ANTARA ALLAH DENGAN PARA NABI
Allah telah mengadakan perjanjian dari para nabi-nabi terdahulu mengenai akan datangnya seorang Rasul yang membenarkan ajaran mereka sebelumnya, lalu terdapat perintah tersirat agar mereka menyampaikan kepada umatnya masing-masing:
“Jika datang kepadamu Kitab dan Hikmah, lalu datang kepada kamu seorang Rasul yang membenarkan apa-apa yang ada tentang diri kamu, hendaklah kamu imani ia secara sebenarnya. Dia bertanya: ‘Sudahkah kalian menyanggupi dan menerima perjanjiaan-Ku tersebut?’. Mereka menjawab: ‘Kami menyanggupinya!’. Dia berkata: ‘Saksikanlah! Dan aku bersama kamu adalah dari golongan mereka yang menyaksiakan!’ (QS. Ali-Imran: 81)
Tidak diragukan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah melakukan Isra’ Mi’raj, karena hal ini disebutkan di dalam Al-Qur’an dan dapat dibuktikan secara saintifik. Tidak perlu diragukan pula bahwa shalat merupakan salahsatu kewajiban utama seorang muslim, sebab ini semua ada di dalam Al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi. Bahkan shalat adalah tradisi yang diwariskan oleh semua Nabi dan Rasul dari masing-masing zamannya. Namun ini tidak berarti bahwa kaum muslimin harus menerima begitu saja semua riwayat hadist tentang shalat yang isinya patut dianggap menyelisihi Al-Qur’an maupun logika sehingga dapat menyebabkan kita mengesampingkan kewajiban untuk menggunakan akal dan berolah fikir. Dasarnya adalah karena Allah sendiri mewajibkan manusia untuk berfikir dan berdzikir di saat membaca ayat-ayat-Nya.
SEJARAH SHALAT 5 WAKTU
Nabi Muhammad Saw merupakan nabi terakhir yang diutus oleh Allah SWT untuk membimbing manusia menuju jalan kebenaran. Tidak seperti umat nabi-nabi terdahulu, umat nabi Muhammad terlah diperintahkan untuk mengerjakan shalat 5 waktu setiap hari. Ini merupakan kelebihan dan anugerah Allah SWT terhadap umat Nabi Muhammad SAW di mana shalat tersebut akan memberikan perlindungan pada hari pembalasan kelak.
Berikut adalah ringkasan sejarah asal-usul shalat 5 waktu:
• Subuh
Manusia pertama yang mengerjakan shalt subuah ialan Nabi adam As. Yaitu ketika beliau keluar dari surga lalu diturunkan ke bumi. Perkara pertama yang di lihatnya ialah kegelapan dan beliau merasa takut yang amat sangat. Apabial fajar subuh telah keluar , Nabi Adam sembahyang dua rakaat.
• Rakaat pertama: Tanda bersyukur karena beliau terlepas dari kegelapan malam.
• Rakaat kedua: Tanda bersyukur karena siang telah menjelma.
• Dhuhur
Manusia pertama yang mengerjakan shalt dhuhur ialah Nabi Ibrahim As. Yaitu takkala Allah SWT telah memerintahkan padanay agar menyembelih anaknya Nabi Ismail As. Seruan itu datang pada waktu tergelincirnya matahari, lalu sujudlah Nabi Ibrahim sebanyak empat kali
• Rakaat pertama: Tanda bersyukur bagi penebusan
• Rakaat kedua: Tanda bersyukur karena dibukakan duka citanya dan juga anaknya
• Rakaat ketiga: Tanda bersyukur dan memohin akan merendahan Allah SWT
• Rakaat keempat: Tanda bersyukur karena korbannya digantikan dengan tebusan kibas.
• Asar
Manusia pertama yang mengerjakan shalt asar ialah Nabi Yunus As. Takkala beliau dikeluarkan Allah SWT dari perut ikan Nun. Ikan Nun telah memuntahkan Nabi Yunus di tepi pantai, ketika telah masuk watu asar. Maka Nabi Yunus bersyukur kepada Allah lalu bersembahyamg empat rakaat karena beliau telah diselamatakn oleh Allah dari 4 kegelapan yaitu:
• Rakaat pertama: Kelam denga kesalahan
• Rakaat kedua: Kelam dengan air laut
• Rakaat ketiga: Kelam denagn malam
• Rakaat keempat: Kelam dengan perut ikan Nun.
• Maghrib
Manusi pertama yang mengerjakan shalat maghrib ialah Nabi Isa As. Yaitu ketika beliau dikeluarkan oleh Allah SWT dari kejahilan dan kebodohan kaumnya, waktu itu telah terbenamnya matahari. Bersyukurlah Nabi Isa As, lalu bersembahyang tiga rakaat karena diselamatkan dari kejahilan tersebut yaitu:
• Rakaat Pertama: Untuk menafikan ketuhanan selain daripada Allah yang Maha Esa
• Rakaat kedua: Untuk menafikan tuduhan dan juga cacian kepada ibunya Siti Maryam yang telah dituduh melakukan perbuatan sumbang.
• Rakaat ketiga: Untuk meyakinkan kaumnya bahwa Tuhan itu hanya satu yaitu Allah SWT semata-mata, tiada dua atau tiganya.
• Isya’
Manusia pertama kali mengerjakan shalat isya’ ialah Nabi Musa As. Pada saat itu, Nabi Musa tersesat mencari jalan keluar dari negeri Madya, sedang dalam dadanya penuh perasaan dukacita. Allah SWT menghilangkan semua perasaan dukacitanay itu pada waktu isya’ yang akhir. Lalu sembahyanglah Nabi Musa empat rakaat sebagai tanda bersyukur.
• Rakaat pertama: Tanda dukacita terhadap istrinya.
• Rakaat kedua: Tanda dukacita terhadap saudaranya Nabi Harun
• Rakaat ketiga: Tanda dukacita terhadap Firaun
• Rakaat keempat: Tanda dukacita terhadap anak Firaun.
SEJARAH TATA-CARA SHALAT
Sebagai kaum muslim, kita wajib melaksanakan shalat lima waktu dengan memahami kaifiyat (tata-cara) baik yang berhubungan dengan gerakan, bacaan dan jumlah rakaatnya. Kita selalu berpedoman pada hadist Rasulullah SAW, “Laksanakanlah shalat sebagaimana engkau melihat aku melaksanakannya.”
Dalam menguraikan tentang sejarah shalat, Imam Bukhari ra. dalam shahihnya menyebutkan sebuah hadist dari Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Aisyah berkata, “Shalat diwajibkan pertama kali sebanyak dua rakaat. Demikian yang dilakukan pada shalat dalam perjalanan, dan lebih dari itu jika tidak bepergian”.
Hal ini berbeda dengan hadist yang berhubungan dengan peristiwa Isra’ Mi’raj yang menyebutkan bahwa, shalat yang diwajibkan sehari semalam adalah lima waktu-sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Katsir:
“Setelah Rasulullah SAW bertemu dangan Nabi Musa yang mengatakan bahwa umatmu tidak akan sanggup melaksanakan shalat 50 waktu sehari semalam sehingga akhirnya menjadi lima waktu setelah beberapa kali Rasulullah meminta keringanan dari Allah SWT.”
Al-Bidayah berusaha menjembatani perbedaan pandangan antara ucapan Aisyah dengan hadist tentang Isra’ Mi’raj. Ibnu Katsir mengatakan, "barangkali yang disampaikan oleh Aisyah ra adalah rakaat shalat Rasulullah sebelum terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj."
Shalat yang diwajibkan kepada umat Islam berbeda dengan shalat yang diwajibkan pada kaum Ahlulkitab, Yahudi dan Nasrani.
Kaum Yahudi juga melakukan sujud kepada Allah SWT dalam shalatnya. Tetapi, sujudnya berbeda dengan sujud umat Islam. Sujud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah dengan menempelkan kening di tempat sujud. Sedangkan sujudnya kaum Yahudi dengan menempelkan pipi kirinya ke tanah, sehingga pipi kanannya menghadap ke langit dan matanya juga melirik ke langit.
Hal ini terkait dengan peristiwa yang terjadi ketika kaum Yahudi dipaksa untuk bersujud kepada Allah dengan diangkatnya Gunung Sinai di atas kepala mereka!
Hal ini untuk memaksa Bani Israil agar percaya kepada Allah SWT sebagaimana yang diserukan oleh Nabi Musa As. Namun, takkala menyaksikan gunung terangkat dan berada tepat di atas mereka, orang-orang Bani Israil gemetar ketakutan. Akibatnya mereka bersujud sambil melihat gunung Sinai yang terangkat di atas kepala mereka. Mereka bersujud sambil melirik ke arah Gunung Sinai yang terangkat. Mereka khawatir tertimpa gunung! Semua peristiwa di atas disebutkan dalam Al-Qur’an yang artinya,
“Dan ingatlah Kami memanggil janji dari kalian dan Kami angkatkan Gunung Sinai di atas kalian seraya Kami berfirman, ‘Berpegang teguhlah pada apa yang Kami berikan kepada kalian dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kalian bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqarah 63).
Dalam satu hadist, Rasulullah SAW bersabda, “Dua kali Jibril mengimami aku di Al Bait.” Dari hadist tersebut dapat difahami bahwa kata “mengimami” dalam kalinat tersebut adalah bahwa Jibril mengajarkan kepada Nabi Muhammad SAW tentang bagaimana cara mendirikan shalat dalam Islam, dan Al Bait adalah Baitullah.
Baihaqi dan Hasan al-Bashri berkata bahwa pada hari itu di Baitulharam, malaikat Jibril mengajarkan Rasulullah SAW jumlah rakaat dan tata cara shalat. Bahwa shalat dhuhur empat rakaat, shalat asyar empat rakaat, shalat magrib tiga rakaat dengan membaca surat Al Fatihah dan ayat Al-Qur’an lainnyan dengan nyaring pada rakaat pertama dan kedua, shalat isya’ empat rakaat dengan mengeraskan suara pada dua rakaat pertama.
Setelah menguasai tata-cara ini, Rasulullah SAW lalu memanggil para sahabat dan mengajarkan cara berwudlu dan shalat. Dilanjutkan kemudian dengan melaksanakan shalat berjamaah di mana Rasulullah SAW menjadi imam shalat dengan dibimbing Malaikat Jibril, sementara para sahabat mengikuti (ma’muman) beliau.
Pelaksanaan shalat yang terdiri dari takbir, rukuk, sujud dan tasahud, sebenarnya adalah perbuatan yang tidak dikenal bangsa Arab dan bangsa lainnya. Hal ini membuat Yahya bin Afif, sahabat Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah SAW, merasa kagum dan menceritakan kisah ini:
“Pada masa jahiliyah, aku pergi ke Ka’bah dan singgah di kediaman Abbas bin Abdul Mutholib. Ketika matahari terbit aku memandangi Ka’bah. Saat itulah seorang lelaki muda (Rasulullah SAW) datang. Ia juga menatap langit lalu menghadap Ka’bah. Tak lama kemudian datanglah seorang anak kecil (Ali bin Abi Thalib) yang langsung berdiri disebelah kanan yang pertama tadi. Kemudian menyusul seorang perempuan (Khadijah bin Khuwailid) datang dan berdiri di belakang keduanya. Ketika lelaki pertama itu rukuk, anak kecil dan perempuan itu pun mengikutinya. Kemudian, lelaki muda itu berdiri lagi, kedua orang yang di belakangnay juga berdiri. Lelaki muda itu merendahkan badannya dan bersujud yang segera diikuti keduanya”.
Menyaksikan itu Yahya bin Afif heran, ia pun bertanya kepada Abbas bin Abdul Muthalib yang saat itu berdiri disampingnya, “Wahai Abbas, apa itu? Apa yang dilakuakan orang-orang itu? Apakan engkau merasa bahwa itu merupakan sesuatu yang agung?” Abbas bin Abdul Muthalib yang pada saat itu belum memeluk Islam menjawab, “Benar itu pasti sesuatu yang agung.” Wallahu a’lam.
PENUTUP
Sejarah shalat itu sudah ada sebelum Nabi Muhammad. Dalam kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mengisahkan tata cara para Nabi sebelum Nabi Muhammad yaitu ada yang berdiri, ruku’ dan sujud yang jika dirangkai maka seperti shalatnya umat Islam.
Nabi Muhammad SAW merupakan nabi terakhir yang diutus oleh Allah SWT untuk membimbing manusia ke jalan kebenaran. Sejarah shalat lima waktu adalah:
• Subuh: manusia yang pertama kali mengerjakan shalat subuh adalah Nabi Adam As.
• Dhuhur: manusia yang pertama kali mengerjakan shalat dhuhur adalah Nabi Ibrahim As.
• Asyar: manusia pertama kali yang mengerjakan shalat asyar adalah Nabi Yunus As.
• Magrib: manusia pertama kali yang mengerjakan shalat magrib adalah Nabi Isa As.
• Isya’: manusia pertama kali yang mengerjakan shalat Isya’ adalah Nabi Musa As.
Sebagai seorang muslim kita wajib melaksanakan shalat lima waktu dangan memahami tata caranya, baik yang berhubungan dengan gerakan maupun bacaan dan jumlah rakaatnya.
Dalam hubungannya dengan peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi diperintah oleh Allah untuk melaksanakan shalat lima waktu yaitu Subuh, Dhuhur, Asyar, Magrib dan Isya’.
[Sumber: darulnu'man | Toha Putra, Al-Qur’an Al karim dan Terjemahannya, PT Karya Toha Putra Semarang, 2002]
Post a Comment