Dari Abdullah ibn ‘Amrin, ia berkata Ibn Numair dan Abu Bakar menyampaikan dari Nabi Shallallahu Alayhi Wasalam di dalam hadits Zubair, di mana beliau bersabda,
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ، عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ، وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ، الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
“Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah berada di atas mimbar-mimbar cahaya, dari tangan kanan ar-Rahman dan kedua tangan-Nya adalah kanan. Mereka adalah orang-orang yang adil dalam kekuasaannya, adil kepada keluarga mereka dan apa yang berada dalam tanggungannya.” [Shahih Muslim 3/1457, Sunan Turmudzi 5/250 riwayat Abu Hurairah, Sunan Nasai 7/221 riwayat Abdullah bin Amr bin al-Ash - derajat hadits shahih]
Sebagian kalangan menganggap bahwa hadits tersebut termasuk dalam kategori tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), padahal mustahil Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasalam beranggapan demikian, sebab sebagaimana kita ketahui, beliau sendirilah yang menyampaikan firman Allah yang sangat jelas ini kepada kita,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar Maha Melihat ” (QS. Asy-Syuura: 11)
Dengan demikian tentu saja sangat mustahil bila Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasalam berkeyakinan sama dengan sebagian kaum jahiliyah tentang arti “kedua tangan-Nya adalah kanan” dengan cara membandingkannya dengan anggota tubuh manusia. Andaikata beliau keliru memahami arti kalimat itu sekalipun, mustahil Allah akan membiarkan kekasih-Nya dalam keadaan tersesat.
Jadi, apa yang biasa disebut dengan "gagal mikir" sebagaimana ditunjukkan oleh kaum Jahiliah dalam memaknai hadits tersebut sebenarnya karena keterbatasan atau ketidaktahuan mereka tentang paramasastra yang dipahami secara berjenjang dalam komunitas masyarakat pengguna bahasa Arab saja. Artinya, sama halnya dengan masyarakat kita yang tidak seluruhnya mengerti pramasastra bahasa Indonesia, demikian pula dengan masyarakat penutur bahasa Arab.
Imam Ibnu Qutaibah, salahseorang pakar studi-studi hadits masyhur menjelaskan tentang makna hadits tersebut sbb:
“Kalimat 'kedua tangan-Nya adalah kanan' sesungguhnya merupakan simbol untuk menjelaskan kelengkapan dan kesempurnaan (karena kiri dipahami sebagai simbol dari kebalikannya). Dengan kata lain, makna kanan di sini adalah untuk menunjukkan kesempurnaan yang utuh. Orang Arab sangat menyukai segala sesuatu yang berbau kanan daripada kiri. Karena kanan dimaknai sebagai simbol kesempurnaan dan kiri dianggap sebagai simbol kekurangan. Oleh karena itulah ada pepatah di kalangan masyarakat Arab yang menyebutkan "Keberuntungan (al-yamn) datang dari tangan kanan, dan keburukan (asy-syu’m) datang dari tangan kiri" [Ensiklopedia Hadits hal. 197]
Jika benar-benar dicermati, penjelasan Imam Ibnu Qutaibah ini sebetulnya sudah menjawab ketidak tahuan orang-orang yang membaca hadits namun cenderung memahaminya secara literal.
Dalam syariat Islam sendiri sebenarnya sejak masa kanak-kanak sudah diajarkan hal-hal yang berhubungan dengan derajat kanan dan kiri ini. Adab Islam mengajarkan agar segala aktifitas kita hendaknya didahului oleh tangan atau kaki kanan. Misalnya saja dalam berwudhu, bersalaman, makan, memasuki mesjid, memegang Al-Quran, bersedekah, menulis, memberi, menerima dan masih banyak hal lainnya yang dilakukan dengan mendahulukan tangan, atau kaki kanan. Sedangkan tangan kiri, sebagai contoh saja, kita kerap melihat sendiri bagaimana panik dan malu biasanya seorang ibu apabila menyaksikan anaknya memberikan sesuatu kepada orang lain bahkan kepada anak yang lebih kecil sekalipun, dengan menggunakan tangan kiri. Secara naluriah biasanya si Ibu akan buru-buru berseru pada anaknya untuk menggunakan tangan kanannya sebagai ganti tangan kiri.
Kenapa?
Karena pada hakekatnya tangan kanan merupakan simbol dari kemuliaan, kesempurnaan dan kedermawanan, apalagii jika itu dinisbatkan kepada Allah sebagaimana dijelaskan dalam salahsatu hadits,
يَمِينُ اللَّهِ مَلْأَى، لَا يَغِيضُهَا شَيْءٌ سَخَّاءُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ، وَبِيَدِهِ الْأُخْرَى الْمِيزَانُ، يَرْفَعُ الْقِسْطَ وَيَخْفِظُ
“Tangan kanan Allah adalah dermawan (memberikan kebaikan tanpa henti), tidak ada sesuatu apa pun yang bisa menahannya baik siang dan malam, dan kedua tangan-Nya merupakan timbangan (keadilan), diangkatnya keadilan dan dijaganya.”
[Sunan Ibnu Majah 1/81, Musnad Ahmad 12/247, 13/487, as-Sunnah Ibnu Abi Ashim 2/362, as-Sunan al-Kabir, an-Nasai 7/154, 10/126, Musnad Abu Ya’la 11/229, at-Tauhid, Ibnu Khuzaimah 1/162, 1/191, 2/503, Ibanah al-Kabir, Ibnu Bathah 7/295, 7/196, at-Tauhid, Ibnu Mandah 2/128, 2/191, Ushul I‘tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah 3/461, 3/462, al-Asma wa ash-Shifat, al-Baihaqi 2/152, 2/153 - derajat hadits shahih]
Jadi, maksud kalimat “kedua tangan-Nya adalah kanan” dalam hadits di atas tidak dapat diartikan secara harfiah bahwa Allah memiliki dua tangan dan keduanya adalah tangan kanan, melainkan harus dimengerti sebagai simbol atau indikasi bahwa nilai kebaikan tiada henti yang kelak akan diberikan-Nya kepada orang-orang adil di akhirat adalah sebanyak dan sebaik dua tangan kanan Allah.
Adapun tentang tangan kanan atau tangan kiri Allah sendiri, juga tidak dapat kita samakan dengan anggota tubuh kita atau anggota tubuh segala makhluk ciptaan Allah lainnya, karena sudah dijelaskan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, sehingga wujud seperti apa pun yang dapat kita bayangkan dengan memberdayakan seluruh kemampuan puncak panca indera kita tentang Allah, sudah pasti bukan Allah!
Jadi, jelaslah bahwa untuk mengetahui maksud dari sebuah hadits dibutuhkan pengetahuan ekstra, meliputi berbagai aspek terkait hadits itu sendiri, termasuk di dalamnya mempelajari kebiasaan-kebiasaan masyarakat Arab dalam memaknai sebuah kata atau kalimat yang sama, tapi dalam konteks yang berbeda.
[Sumber: Kajian Al-Bantani Jabar]
Post a Comment