“Bukankah Aku ini Tuhanmu?”
“Benar, kami mengakui Engkau Tuhan kami.”
Pengakuan akan ketuhanan Allah SWT tersebut terlontar dari mata, kepala, tangan, dan anggota tubuh manusia lainnya. Kisah ini termuat dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 172 yang menceritakan tentang dialog Tuhan, sang Pencipta, dengan calon manusia sebagai makhluk ciptaannya. Peristiwa ini disebut juga sebagai perjanjian primordial.
Kala itu, meski seluruh anggota tubuh manusia mengakui ketuhanan Allah, tidak demikian dengan hawa nafsu—yang juga menjadi bagian lekat dari manusia. Ia sangat sulit mengakui Allah sebagai Tuhan, dan merupakan yang terakhir berucap syahadat.
“Wahai nafsu, Tahukah engkau siapa dirimu (dan) siapa Aku?”
“Aku adalah aku, Engkau adalah Engkau.”
Mendengar jawaban tersebut, menurut mubalig Abdul Muta’ali, Allah langsung meminta malaikat mencambuk hawa nafsu supaya lekas bertauhid—mengakui keesaan Allah SWT. Namun, hawa nafsu tetap pada pendiriannya tidak mau mengakui ketuhanan Allah SWT. Ketika kemudian ia dibakar, hawa nafsu tetap membangkang. Hingga akhirnya Allah meminta malaikat membuat hawa nafsu berpuasa. Maka, hawa nafsu dihajar dengan rasa lapar dan dahaga dalam waktu lama. Dalam Al Futuhat Al Makiyyah karya Ibnu Arabi, ahli tasawuf Andalusia (Spanyol), nafsu dimasukkan ke dalam lautan lapar selama seribu tahun.
Strategi tersebut nyatanya berhasil. Jawaban hawa nafsu pun berubah. “Engkau Tuhanku dan aku hamba-Mu yang lemah.”
Kisah perjanjian primordial tersebut, menurut Muta’ali, merupakan sejarah paling fundamental perihal berpuasa sebelum manusia menghuni bumi.
“Jadi puasa adalah strategi Tuhan tentang bagaimana nafsu kita bisa ditaklukkan. (Supaya) nafsu kita mengakui ketuhanan Allah SWT,” kata Muta’ali yang juga Wakil Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia kepada Kumparan.
Allah SWT pertama kali memberi perintah puasa kepada Nabi Adam setelah ia diusir dari surga. Nabi Adam dihukum karena tergoda iblis untuk memakan buah kuldi yang terlarang. Di bumi, dia dipisahkan dari istrinya, Hawa.
Nabi Adam dikisahkan turun ke bumi dalam kondisi gosong sebagai tanda hukuman. Dia lantas bertaubat dengan mengucap doa yang saat ini termaktub dalam Al-Quran Surat Al A'raf ayat 23.
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.”
Allah kemudian menerima taubat Nabi Adam. Namun, bekas dosanya berupa gosong di tubuh masih tampak. Untuk itu, Allah memerintahkan sang nabi untuk berpuasa dari subuh hingga terbenam matahari. Nabi Adam pun berpuasa sehingga sepertiga badannya kembali normal. Namun, untuk bisa normal sepenuhnya, dia harus berpuasa dua hari lagi. Perintah tersebut dijalankan oleh Nabi Adam, dan akhirnya bekas gosong di tubuhnya hilang sama sekali.
“Puasa Nabi Adam itulah yang di kemudian hari menjadi puasa putih atau ayyamul bidh. Inilah manusia pertama yang berpuasa, (yaitu) tanggal 13, 14, 15 (saat) purnama,” kata Muta’ali.
Keturunan keenam Nabi Adam, yaitu Nabi Idris, juga diriwayatkan berpuasa. Dalam suhuf (wahyu dari Allah berupa lembaran yang tidak wajib disampaikan kepada manusia) yang diterima Nabi Idris, tertulis bahwa nabi terakhir kelak, Muhammad SAW, akan bertemu dan berdialog dengan Allah SWT di surga. Mengetahui hal tersebut, Nabi Idris pun menginginkan hal serupa. Maka Allah menyuruhnya untuk berpuasa.
“Puasa itu rupanya, barang siapa yang ingin dinaikkan derajatnya oleh Allah, maka berpuasalah, berlapar-lapar. Karena rata-rata sebelum diangkat menjadi nabi itu dipuasakan dulu,” jelas Muta’ali.
Nabi Idris lantas berpuasa. Namun tidak ada sumber yang menyebutkan secara jelas berapa lama ia berpuasa saat itu. Setelah berpuasa, Nabi Idris diangkat ke surga lapisan pertama. Ini termaktub dalam QS Maryam ayat 57, kala Allah berfirman bahwa Dia telah mengangkat martabat Nabi Idris ke tempat yang sangat tinggi.
Bapak agama langit, Ibrahim, juga dilatih menjadi nabi dengan berpuasa. Dalam QS Al-Baqarah ayat 258, Nabi Ibrahim berdebat dengan Raja Babilonia, Namrudz, yang terkenal suka menyembah berhala. Namrudz kesal setelah 72 berhalanya dihancurkan oleh Nabi Ibrahim. Oleh karena itu, dia membakar Ibrahim. Namun, Ibrahim berhasil selamat dari kepungan api Namrudz karena saat itu dia tengah berpuasa.
Sementara Nabi Musa, sebelum menerima wahyu—Kitab Taurat, juga diceritakan berpuasa selama 40 hari 40 malam di Bukit Sinai (Tursina). Ia menerima wahyu langsung dari Allah SWT tanpa perantara Malaikat Jibril, dan karenanya menyandang gelar Kalimullah (orang yang diajak bicara langsung oleh Allah).
Ulama sekaligus filsuf Imam Al Ghazali dalam kitabnya, Mukasyafatul Qulub, menuliskan dialog Nabi Musa dengan Allah SWT. Saat itu, Nabi Musa bertanya soal amalan apa yang paling disukai oleh Allah SWT.
“Apakah puasaku?” tanya Musa.
“Puasamu itu hanya untukmu saja. Karena puasa melatih diri dan mengekang hawa nafsumu,” jawab Allah.
Nabi berikutnya yang berpuasa adalah Nabi Isa. Dalam perjamuan terakhir bersama murid-muridnya, Nabi Isa disebut tengah berpuasa. Dia sengaja mengulur waktu supaya dapat minum ketika memasuki waktu magrib.
Puasa Ramadhan
Perintah puasa Ramadhan baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriah atau 623 Masehi. Meski begitu, sejak sebelumnya Nabi Muhammad telah rajin berpuasa. Termasuk ketika dia berada di Gua Hira selama 4 bulan sebelum menerima wahyu. Kebiasaan berpuasa itulah yang membuat kaum Quraisy Makkah tidak berani banyak berbuat jahat kepada Nabi Muhammad.
“Aku melihat wajah Muhammad seperti Musa berpuasa, seperti Ibrahim berpuasa,” kata Muta’ali menirukan ucapan kaum Quraisy Makkah.
Muta’ali menambahkan, salah satu ciri nabi terdahulu adalah jarang mengunyah di siang hari. Hal itulah yang kemudian yang membuat banyak tokoh seperti Abu Bakar, Utsman bin ‘Affan, atau ahli kitab, konglomerat, dan para pengusaha zaman itu, masuk Islam.
Di awal penyebaran Islam, pemeluknya yang terbanyak adalah dari kalangan menengah ke bawah, khususnya para budak seperti Zaid bin Haritsah dan Bilal bin Rabah.
“Puasa itu bentuk bagaimana kita merasakan susahnya jadi budak, susahnya jadi orang lapar, susahnya tidak punya pekerjaan, susahnya tidak ada sandang pangan,” kata Muta’ali.
Pada periode dakwah di Makkah, Nabi Muhammad menekankan dakwahnya pada prinsip ketuhanan dan keadilan, bukan ihwal syariat. Saat itu, perbudakan adalah hal lazim di Arab. Para budak hidup jauh dari rasa keadilan. Nabi Muhammad kemudian datang dan menyatakan bahwa keadilan yang sejati adalah keadilan Allah di akhirat.
Dengan metode dakwah tersebut, pengikut Islam semakin banyak. Namun, hal itu menuai kecaman dari kaum Quraisy yang saat itu menyembah berhala. Akibatnya, kekejaman kaum Quraisy kepada pengikut Islam semakin bertambah dari hari ke hari.
Dalam kondisi tersebutlah turun perintah Allah SWT untuk berhijrah. Umat Islam yang dipimpin Nabi Muhammad kemudian pindah ke sebuah kota bernama Yasrib atau Madinah yang terletak 320 kilometer di utara Makkah. Di sanalah Nabi Muhammad mulai lebih banyak memperkenalkan syariat Islam kepada para pemeluknya. Syariat itu salah satunya puasa sebulan penuh selama Ramadhan.
Nabi Muhammad yang wafat pada 11 Hijriah, berpuasa Ramadhan sebanyak 9 kali sepanjang hidupnya. Perintah puasa tersebut termaktub dalam QS Al-Baqarah ayat 183 yang meminta setiap manusia beriman untuk berpuasa sebagaimana umat-umat terdahulu.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali mengatakan posisi ibadah puasa adalah seperempat iman. Hal ini menandakan, siapa pun yang tidak berpuasa maka imannya kurang seperempat. Pendapat tersebut dia simpulkan dari dua sabda Nabi Muhammad.
“Puasa merupakan setengah dari kesabaran.”
“Sabar adalah setengah dari iman.”
Ilmuwan Belanda Kees Wagtendonk dalam bukunya, Fasting in The Koran, menyebut bahwa syariat puasa Ramadhan dalam Al-Quran adalah wujud dari pujian dan rasa syukur. Selain itu, puasa sunah seperti yang dilakukan para nabi terdahulu juga merupakan bagian dari wujud kesalehan.
Wagtendonk menyimpulkan, puasa yang dilakukan muslim lebih sebagai ungkapan pujian dan kepatuhan, bukan penyesalan. Hal tersebut berbeda dengan tradisi umat Kristen di mana puasa adalah salah satu cara untuk menebus dosa.
Antropolog Inggris, Arthur Maurice Hocart, menyebut puasa umat Kristen adalah tindakan menghukum diri untuk menghilangkan dosa. Senada, Andre Moller dalam bukunya, Ramadan in Java, mengatakan bahwa puasa pada masa pra-Islam merupakan ritual penebusan dosa.
Moller lebih lanjut berkata, praktik puasa dapat ditemukan di semua agama, tak hanya Islam. Moller mencontohkan pada era Arab jahiliah, seseorang yang ingin membalas dendam biasanya melakukan puasa wine dan tidak menyentuh perempuan sampai niatnya terpenuhi, alias dendam terbalaskan.
[Sumber: Kumparan Online]
Post a Comment