Menu

Gus Mendem Gus Mendem Author
Title: Berulangkali Umroh Ke Mekkah?
Author: Gus Mendem
Rating 5 of 5 Des:
Puji dan syukur bagi Allah semata dan Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, baginda Nabi Muhammad Shalalla...
Puji dan syukur bagi Allah semata dan Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, baginda Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassallam, juga kepada keluarga ahlul baitnya serta seluruh umat yang setia mengikuti risalah yang dibawa oleh beliau Shalallaahu Alaihi Wassallam sampai akhir jaman.


Keutamaan Haji dan ‘Umrah
Dari Abu Hurairah r.a. katanya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Masa dari satu ‘umrah ke ‘umrah berikutnya adalah masa penghapusan dosa. Dan ganjaran haji yang mabrur tiada lain hanya syurga.” [Shahih Muslim No.1287 KBC]

Para pembaca rahimakumullah,
Topik kita kali ini akan menyajikan “Empat Alasan Tidak Melakukan Umrah Berulangkali Saat di Makkah”, karena hal itu memang tidak di syari’atkan, disamping itu, tidak ada nash-nashnya pendukung atau pun tuntunan Nabi SAW atau pun pernah dilakukan oleh para shahabat beliau yang kiranya dapat dijadikan rujukan bagi pelaksanaannya.

Ada suatu fenomena yang umum disaksikan oleh jama’ah haji Indonesia dan juga Negara lainnya. Saat berada di kota suci Makkah, banyak jama’ah yang berbondong-bondong menuju tanah yang halal (di luar tanah harom), seperti Masjid ‘Aisyah di Tan’im atau Ji’ronah. Tujuannya untuk melaksanakan umrah lagi. Umrah yang mereka kerjakan bisa lebih dari sekali dalam satu hari.Dalih mereka adalah, mumpung sedang berada di Makkah, sepantasnya memperbanyak ibadah umrah, yang belum tentu bisa dikerjakan lagi sesudah berada di tanah air. Atau dengan kata lain, untuk melipat-gandakan pahala.

Perlu diketahui, bahwa suatu ibadah akan di terima oleh Allah SWT manakala terpenuhi dua syarat mutlak, yaitu ikhlas karena Allah SWT & mengikuti petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam . Disamping itu juga, dengan mengetahui praktek dan pemahaman generasi Salaf dalam menjalankan ibadah Haji yang pernah dilaksanakan bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Sebab, generasi Salaf merupakan generasi terbaik, yang paling semangat dalam meraih kebaikan serta paling wara’ dalam menjaga kemurnian agamanya dari segala hal yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. (As-Sunnah)

Umrah, termasuk dalam kategori ini. Sebagai ibadah yang disyari’atkan maka harus bersesuaian dengan rambu-rambu syari’at dan nash-nash-nya, sesuai dengan petunjuk/tuntunan Nabi dan para Shahabat, serta para pengikut mereka yang Ihsan sampai hari Kiamat. Inilah tonggak diterimanya amalan hamba di sisi Allah SWT.

Sepanjang hidupnya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melakukan umrah hanya sebanyak 4 kali, yaitu Umrah Hudaibiyah, Umrah Qadha, Umrah ketiga dari Ji’ranah dan keempat yang bersamaan dengan pelaksanaan haji Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. (Shahih Sunan Tirmidzi, No.826, Shahih Sunan Ibnu Majah, No.2450, Shahih Sunan Abu Daud, No. 19993-1994 Pustaka Azzam)

Menurut Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat. Setiap Umrah tersebut, Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kerjakan dalam sebuah perjalanan tersendiri. Tiga Umrah secara tersendiri, tanpa disertai haji, dan sekali bersamaan dengan ibadah haji. (Lihat Kitab Mukhtasor ZADUL MA’AD, hal.127-129, al-Qowam Fatawa al ‘Utsaimin 2/668).

Berikut ini beberapa aspek yang menjelaskan bahwa umrah berulang-ulang seperti yang banyak dikerjakan oleh sebagian jama’ah haji sebagaimana fenomena diatas tidak disyari’atkan:

1. Pelaksanaan umrah yang di lakukan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, masing-masingnya dengan perjalanan (safar) tersendiri. Bukan satu perjalanan untuk sekian banyak umrah, seperti yang di lakukan oleh jama’ah haji sekarang ini. SyaikhMuhammad bin Shalih al’-Utsmain menyimpulkan: "Setiap umrah mempunyai safar tersendiri.

Artinya, satu perjalanan hanya untuk satu umrah saja. Sedangkan perjalanan menuju Tan’im belum bisa dianggap safar. Sebab masih berada dalam lingkup kota Makkah. (Lihat Fatawa al-/Utsaimin 2/668).

2. Umrah yang di lakukan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, yang di mulai dari Ji’ronah tidak bisa di jadikan dalil untuk membolehkan umrah berulang-ulang. Sebab, pada awalnya Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memasuki kota Makkah untuk menaklukkannya dalam keadaan halal (bukan muhrim) pada tahun 8 Hijriyah. Selama 17 hari Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berada disana. Kemudian sampai kepada Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berita, kalau suku Hawazin bermaksud memerangi Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Akhirnya Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mendatangi dan memerangi mereka. Ghanimah {rampasan perang} di bagi di daerah Ji’ronah. Setelah itu, Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ingin mengerjakan umrah dari Ji’ronah. Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak keluar dari Makkah ke Ji’ronah secara khusus. Namun ada perkara lain yang membuat Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam keluar dari Makkah. Jadi semata-mata bukan untuk mengerjakan umrah.

3. Thawaf mengelilingi Baitullah (Ka’bah) lebih afdhol ketimbang Sa’i. Maka daripada mereka menyibukkan diri dengan pergi keluar ke daerah Tan’im dan sibuk dengan amalan-amalan umrah yang baru sebagai tambahan dari umrah sebelumnya, alangkah lebih baik sekiranya mereka melakukan Thowaf di sekeliling Ka’bah. Dan sudah di maklumi, bahwa waktu yang tersita untuk pergi ke Tan’im karena ingin memulai ihrom untuk umrah yang baru, dapat dimanfaatkan untuk mengerjakan thowaf ratusan kali keliling Ka’bah.

4. Pada penaklukan kota Makkah, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, berada di Makkah selama 19 hari. Tetapi, tidak ada riwayat bahwa Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam keluar ke daerah halal untuk melangsungkan umrah dari sana. Apakah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak tahu bahwa itu masyru’ (disyari’atkan)? Tentu saja tidak mungkin!

Berdasarkan alasan-alasan di atas, menjadi jelas bahwa thowaf lebih afdhol. Alasannya, kata Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam; karena thowaf di Ka’bah merupakan ibadah dan qurbah (cara untuk mendekatkan diri kepada Allah) yang paling afdhol yang telah Allah tetapkan di dalam Kitab-Nya. Thowaf termasuk ibadah paling utama bagi penduduk Makkah. Maksudnya, yaitu orang-orang yang berada di Makkah, baik penduduk asli (tempatan) maupun pendatang. Thowaf juga termasuk ibadah istimewa yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang berada di kota lainnya.

Orang-orang yang berada di Makkah sejak masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan masa Khulafa’ur Rasyidiin senantiasa menjalankan thowaf setiap saat. Dan lagi, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan kepada pihak yang bertanggung-jawab atas Baitullah, agar tidak menghalangi siapapun yang ingin mengerjakan thowaf pada setiap waktu. Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Wahai bani Abdi Manaf, janganlah kalian menghalangi seorangpun untuk melakukan thowaf di Ka’bah dan mengerjakan sholat pada saat kapan pun, baik malam maupun siang.” (Shahih Sunan Tirmidzi No.868)

Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail:

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thowaf, yang i’tikaf, yang rukuk dan sujud.” (QS al-Baqarah [2] ayat 125)

Dalam ayat yang lain:
وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thowaf, dan orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.” (QS al-Hajj [22] ayat 26).

Pada dua ayat diatas, Allah SWT menyebutkan tiga ibadah di Baitulllah (Ka’bah), yaitu: thowaf, i’tikaf dan ruku’ bersama sujud, dengan mengedepankan yang paling istimewa terlebih dahulu, yaitu thowaf. Karena sesungguhnya, thowaf tidak di syari’atkan kecuali di Ka’bah berdasarkan kesepakatan jumhur ulama. Adapun i’tikaf, bisa dilakukan di masjid-masjid lain. Begitu pula ruku’ dan sujud, dapat dikerjakan dimana saja.

Bahkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah bersabda: “Barangsiapa mengelilingi Ka’bah tujuh kali, seperti membebaskan satu budak belian.” (Shahih Sunan An-Nas’i, No. 2919, Pustaka Azzam)

Oleh karena itu, ketika berada di Makkah sebelum atau sesudah pelaksanaan haji, yang paling baik bagi kita adalah memperbanyak thowaf, daripada melakukan perbuatan yang tidak ada contohnya dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

“Ya Allah, berilah kami rezeki untuk dapat memenuhi panggilan-Mu, dan berjumpa dengan-Mu di Bait-Mu. Lezatkan kami dengan dekat kepada-Mu dan memperoleh nikmat karunia memandang wajah-Mu di akhirat kelak. Ya, Allah Rabbul Idzati, Jadikan kami termasuk orang yang ridha kepada-Mu dari selain-Mu. Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari bersandar kepada asbab dan berdiri bersama nafsu, keinginan, dan adat kebiasaan, dan kami berlindung kepada-Mu dari segala keburukan dalam setiap keadaan. Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka." 

Alhamdulillah, segala puja dan puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Robbul ‘Alamin. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassallam beserta keluarga, istri, para shahabatnya serta pengikut mereka dalam kebajikan hingga datangnya hari pembalasan nanti.

إِنّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِي ماً َ
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, ber-Shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah Salam penghormatan kepadanya.” (QS Al-Ahzab [33]:5)



[Dipetik dari Bulletin “An-Naba’ ” Edisi: 12/th ke II Dzulhijjah 1428]





Dari Author

Post a Comment

 
Top