Menu

Gus Mendem Gus Mendem Author
Title: Tentang Haji Ba'dal
Author: Gus Mendem
Rating 5 of 5 Des:
Puji dan syukur bagi Allah semata dan Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, baginda Nabi Muhammad Shalalla...

Puji dan syukur bagi Allah semata dan Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, baginda Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassallam, juga kepada keluarga ahlul baitnya serta seluruh umat yang setia mengikuti risalah yang dibawa oleh beliau Shalallaahu Alaihi Wassallam sampai akhir jaman. 


Para pembaca rahimakumullah,
Topik kita kali ini akan menyajikan sebuah kajian fiqh yang penting yaitu terkait dengan boleh-tidaknya seseorang mem-“Badal Haji”-kan orang lain, tentang syarat dan hukum-nya, semata-mata dengan maksud agar permasalahan ini menjadi jelas bagi kita semua. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua pencari kebenaran, penerima kebenaran, dan penyeru kebenaran. Amiin.

Keutamaan Haji dan ‘Umrah:
Dari Abu Hurairah r.a. katanya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “ Masa dari satu ‘umrah ke ‘umrah berikutnya adalah masa penghapusan dosa. Dan ganjaran haji yang mabrur tiada lain hanya syurga.” [Shahih Muslim No.1287 KBC]

Keutamaan Hari ‘Arafah: Dari ummu ‘Aisyah r.a., katanya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “ Tidak ada suatu hari dimana Allah Ta’ala paling banyak membebaskan hamba-Nya dari neraka selain Hari ‘Arafah.” [Shahih Muslim No.1286 KBC]

HAJI BADAL, BOLEHKAH?

Ada beberapa hadits yang akan menjadi bahan berharga bagi kita untuk mengulas permasalahan ini, yaitu sebagai berikut:

1. Hadits Abdullah bin Abbas r.a. Riwayat dari ‘Abdullah bin Abbas r.a. ini sangat penting, diantaranya: Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “ Pernah Fadh bin Abbas di bonceng Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, lalu datanglah seorang wanita dari Khots’am, maka Fadhl memandangnya dan wanita itupun memandangnya. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam lalu menutup muka serta memalingkan wajah Fadhil kearah lain. Wanita itu berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syarat wajib (yang dibebankan Allah) kepada hamba-Nya untuk berangkat haji telah terpenuhi pada ayahku yang telah lanjut usia dan serta tidak bisa naik kendaraan, bolehkan aku menghajikan untuknya?” jawab Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, “Boleh.” Hal itu pada saat haji wada’ . (Hadits tersebut SHAHIH, Diriwayatkan Bukhari No.785, Muslim No.1272, Abu Dawud No.1809, Nasa’i no.2634, Tirmidzi No.928, Ibnu Majah No.2367-2368) Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasanya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah mendengar seorang lelaki berkata: “Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk Syubramah.”

Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bertanya: “Siapakah Syubramah?” Jawabnya: “Saudaraku atau kerabatku.” Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bertanya lagi: “Sudahkah engkau ber-haji sebelumnya?” Jawabnya, “Belum.”! Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Kalau begitu jadikanlah ini untukmu, kemudian tahun berikutnya untuk Syubramah.” [Hadits tersebut SHAHIH, Diriwayatkan Abu Daud; Ibnu Majah No.2364]

2. Hadits Abu Rozin (Laqith bin Amir) r.a. Dari Abu Rozin al-Uqoili r.a. bahwa beliau pernah datang kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam seraya berkata: “Sesungguhnya ayahku telah lanjut usia, dia tidak mampu berhaji, berumrah, dan naik kendaraan”. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda,”Berangkatlah haji dan umroh untuk ayahmu.” (Hadits tersebut SHAHIH, Diriwayatkan Abu Dawud No.1810, Nasa’i no.2636, Tirmidzi No.930, Ibnu Majah No.2366) [* Perlu ditegaskan disini bahwa kisah dalam hadits Abu Rozin ini berbeda dengan hadits sebelumnya. Barangsiapa menganggapnya satu kejadian, maka dia telah jauh sekali dan menyusahkan diri. Demikian kata al-Hafidz Ibnu Hajarr.a. dalam Fathul Bari 4/49]

3. Hadits Buroidah r.a.
Dari Buroidah r.a. berkata, “ Telah datang seorang wanita kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, lalu berkata: “Sesungguhnya ibuku meninggal dan belum haji, apakah saya menghajikan untuknya.?” Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab: “Ya. ber-Hajilah untuknya.” (Hadits tersebut SHAHIH, Diriwayatkan Abu Daud No.2877, Tirmidzi No.929) Demikianlah beberapa hadits yang shahih tentang masalah ini. Sebenarnya masih lagi banyak hadits-hadits yang semakna dengannya, hanya saja secara sanad tidak luput dari pembicaraan ulama.


KESIMPULAN:
Hadits tentang haji badal adalah hadits-hadits yang shahih tanpa keraguan di dalamnya!

FIQIH HADITS 

Berbicara tentang haji badal, ada beberapa pembahasan dan hukum yang sangat penting untuk kita ketahui. Oleh karenanya, agar lebih mudah memahami masalah ini, akan kita urut pembahasannya satu persatu dalam beberapa point berikut:

A. Bolehnya Haji Badal
Hadits-hadits diatas secara jelas menunjukkan bolehnya seseorang menghajikan kerabatnya, baik yang sudah meninggal dunia maupun yang masih hidup, yaitu yang tidak mampu berangkat haji karena keterbatasannya seperti karena usia lanjut {uzur}, sakit yang tidak diharapkan sembuhnya, atau tidak kuat naik diatas kendaraan {seperti mabuk, mual}. Dan pahalanya akan sampai untuk orang yang dihajikan (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 24/306-315 dan ar-Ruuh Ibnul Qoyyim hal.305-320) Kalau ada yang berkata bahwa hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT: “Seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang di usahakannya.” (QS. An-Najm [53]:39)

Maka kita jawab:
a). Tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dan hadits, sebab keduanya sama-sama wahyu dari Allah SWT. Hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam merupakan penjelas al-Qur’an, bukan penentang al-Qur’an. Metode mempertentangkan antara al-Qur’an dan hadits bukanlah metode ahli hadits, tetapi itu adalah metode ahlul bid’ah untuk menolak sunnah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Oleh karenanya perhatikanlah adab, sikap dan keta’atan dan kehati-hatian para shahabat, para tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para ulama salaf yang merupakan generasi terbaik yang paling memahami al-Qur’an, apakah mereka menolak hadits dengan alasan ayat diatas?! Pahamilah!!

b). Ayat yang mulia (QS. An-Najm [53]:39) diatas hanya bersifat umum, yang di khususkan dengan hadits-hadits shahih diatas (lihat Nailil Author 2/592 asy-Syaukani. Subulus salam ash-Shon’ani 2/171) Al-Izzu bin Abdussalam berkata dalam al-fatawa (2/24) : “Barangsiapa melakukan ketaatan untuk Allah SWT kemudian dia menghadiahkan pahalanya untuk orang hidup atau mati, maka pahalanya tidak sampai kepadanya, karena manusia tidak memperoleh kecuali apa yang diusahakannya, kecuali apa yang dikecualikan oleh syari’at seperti shodaqoh, puasa dan haji.”

c). Telah datang beberapa hadits yang menunjukkan bahwa seorang anak merupakan usaha terbaik bagi orang tua. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Sebaik-baik harta yang dimakan oleh seorang adalah yang berasal dari hasil usahanya, dan anaknya termasuk hasil usahanya.” (Hadits tersebut HASAN, HR Ahmad 6/31, Abu Daud No.3530, Tirmidzi No.1358) Dengan demikian, hadits ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat diatas, karena anak merupakan usaha terbaik orang tua.

B. Kapan Seseorang Boleh di Haji-kan?
Tidak semua orang boleh untuk diwakili hajinya, namun harus diperinci sebagai berikut:

Pertama: Kalau dia mampu (secara materi dan phisik) untuk berangkat sendiri, maka tidak boleh di wakilkan, bahkan kalau sampai di wakilkan maka hajinya tidak sah. Ibnu Mundzir r.a. berkata: “Para ulama bersepakat bahwa orang yang berkewajiban haji dan mampu melakukannya sendiri maka tidak boleh dihajikan orang lain dan tidak sah.” (al-Ijma’ hal.24, al-Mughni Ibnu Qudamah 5/22). Hal itu karena pada asalnya ibadah itu harus dilakukan oleh orang itu sendiri sebagai bentuk peribadatan kepada Allah SWT Dan menurut pendapat yang kuat, hal ini juga mencakup haji yang sunnah, bukan hanya yang wajib saja.

Kedua: Kalau tidak mampu berangkat haji, maka hal ini diperinci lagi:
1. Kalau memang kemungkinan besar akan hilang penghalang tersebut, maka sebaiknya ditunggu hingga dia mampu melaksanakannya sendiri, Penghalang atau kendala yang dimaksud adalah seperti: kemiskinan, gila, sakit yang diharapkan kesembuhannya, dipenjara, dan sebagainya. Contoh, seseorang terkena penyakit yang kemungkinan besar akan sembuh dikemudian hari, maka kita katakan kepadanya: “Tunggulah sehingga Allah SWT menyembuhkanmu dan berangkatlah haji sendiri.” Kalau memungkinkan pada tahun ini maka itulah yang diharapkan tetapi kalu tidak memungkinkan maka tidak mengapa pada tahun-tahun berikutnya.

2. Kalau kemungkinan besar penghalangnya tidak hilang seperti usia lanjut atau sakit parah yang tidak lagi diharapkan bisa sembuh, maka disinilah dia hendaknya mewakilkan kepada orang lain untuk menghajikannya. [Lihat Fiqh Ibadat Syaikh Ibnu Utsaimin ha.336, al-Mughni Ibnu Qudamah 5/22-23, Fathul Bari Ibnu Hajar 4/91]

C. Syarat Orang Yang MenghajikanAda beberapa syarat yang harus terpenuhi bagi orang yang menghajikan, baik syarat umum maupun syarat khusus. Adapun syarat umum ialah syarat-syarat yang umum berlaku bagi yang menunaikan ibadah haji, bahkan dalam semua ibadah.

Sedangkan syarat-syarat khusus adalah sebagi berikut:
Pertama: Ketika ihrom dia meniatkan hajinya untuk orang yang akan dihajikannya. Jadi dia tidak berniat untuk dirinya sendiri, tetapi niatnya adalah untuk orang lain yang akan dihajikannya, seperti mengatakan: “Labbaika ‘an fulan atau fulanah.”(Kami penuhi panggilan-Mu untuk si fulan/fulanah - sebutkan namanya). Syarat ini telah disepakati oleh semua ulama, berdasarkan hadits:

“Sesungguhnya semua amalan itu harus dengan niat.” [HR Bukhari:1]

Kedua: Dia sudah pernah melakukan kewajiban haji untuk dirinya sendiri, berdasarkan hadits “Syubrumah” dalam riwayat Ibnu Abba r.a diatas. Jadi seseorang tidak boleh menghajikan orang lain sebelum dia sendiri menunaikan kewajiban hajinya terlebih dahulu.

Ketiga: Ikhlas dan bukan karena mencari dunia. Barangsiapa berangkat haji untuk mengharap dunia dan harta, maka hukumnya haram. Tidak halal baginya melakukan amalan akhirat dengan niat untuk meraih dunia, berdasarkan firman Allah SWT:

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَأُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada meeka balasan pekerjaan mereka disunia dengan sempurna dan mereka didunia itu tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Hud [11 ]: 15-16)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah r.a. berkata: “Hendaklah dia mengambil uang untuk berangkat haji, bukan berangkat haji untuk mengambil uang. Barangsiapa haji dengan tujuan mengambil uang, maka tiada bagian baginya di akhirat kelak. Adapaun barangsiapa mengambil uang sekedarnya dengan tujuan untuk berangkat menghajikan saudaranya, hukumnya boleh.” (Majmu’ Fatawa 26/14-20)

Keempat: Haruskah anaknya sendiri?
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/90) berkata: “Tidak ragu bahwa hal ini merupakan kejumudan.” Sebab dalam hadits ‘Syubrumah’ misalnya, dia menghajikan ‘saudaranya atau kerabatnya’. Demikian juga, dalam sebagian lafadz hadits Ibnu Abbas r.a. disebutkan ‘saudariku’. Apalagi Nabi Shallahu’Alaihi Wassalam telah menggambarkannya sebagai hutang, yang (hutang) itu bisa di bayar oleh siapapun, baik anak, kerabat, maupun selainnya."

Berkata Majd bin Taimiyyah r.a. “Hadits ini menunjukkan sahnya menghajikan orang yang telah meninggal dunia, baik yang menghajikannya itu ahli warisnya atau pun bukan, sebab Nabi Shallahu’Alaihi Wassalam memperinci dan bertanya kepada si penanya: Apakah engkau termasuk ahli warisnya atau tidak?"

Kelima: Haruskah dari tempat asal orang yang di hajikan?
Gambaran masalahnya sebagai berikut: Kalau orang yang dihajikan itu ada di Indonesia misalnya, sedangkan orang yang mau menghajikan sedang berada di Saudi Arabia, apakah berangkat hajinya dari Indonesia sehingga dia (yang akan mem-Badal haji) tersebut pulang ke Indonesia terlebih dahulu, ataukah cukup dari miqot terdekat di Saudi Arabia?

Adapun para ‘ulama lainnya mengatakan bahwa hal itu tidak perlu, karena hal itu hanya sekedar wasilah (perantara) saja, bukan tujuan utama, karena agama itu adalah untuk kemudahan, bukan mempersulit. Inilah pendapat yang lebih kuat. Wallahu A’lam

Masalah ini sama persis dengan seseorang yang berada di masjid (i’thiqof) menjelang waktu sholat, apakah akan kita katakan: "Pulanglah anda terlebih dahulu kerumahmu, kemudian datanglah lagi ke masjid untuk memenuhi panggilan sholat?! (Lihat Syarh Mumti’ Ibnu Utsaimin 8/34)

D. Wanita Boleh Menghajikan Pria dan SebaliknyaSyaikhul Islam Ibnu Taimiyyah r.a. berkata: “Wanita boleh menghajikan wanita lainnya dengan kesepakatan ulama, baik putrinya sendiri atau selainnya. Demikian juga, wanita boleh menghajikan pria menurut Imam Empat dan mayoritas ‘ulama.” (Majmu’ Fatawa 26/13-14)

E. Bila Meninggal Dunia Sebelum HajiApabila ada seseorang berkewajiban haji meninggal dunia sebelum berangkat haji, wajibkah dihajikan oleh kerabatnya dengan uang peninggalannya?!

Masalah itu diperselisihkan para ulama. Madzhab Syafi’iyyah dan Hanablah mengatakan wajib dihajikan, baik dia berwasiyat maupun tidak, sebab hal itu adalah hutang yang harus dibayar berdasarkan hadits-hadits pembahasan diatas. Inilah pendapat yang kuat dalam masalah ini.

Adapun apabila dia meninggal dunia ketika melakukan manasik haji, maka menurut pendapat yang kuat tidak perlu diteruskan/disempurnakan manasiknya, berdasarkan hadits tentang seorang muhrim (orang yang berihrom) yang terlempar dari untanya ketika wukuf di Arofah lalu patah lehernya dan meninggal (Bukhari-Muslim) . Dan tidak ada penukilan dari Nabi Shalallaahu Alaihi Wassallam behwa beliau memerintahkan kepada para shahabat agar menyempurnakan ihromnya.

Hadits selengkapnya adalah sebagai berikut:

Dari Ibnu ‘Abbas r.a., katanya. Seorang laki-laki jatuh dari untanya ketika dia ihram lalu patah leher-nya dan meninggal. Maka bersabda Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam,”Mandikan dia dengan air yang dicampur daun sidir (bidara), kemudian kafani dengan kedua kain ihramnya, dan jangan ditutup kepalanya; karena sesungguhnya Allah akan membangkitkannya kelak di hari kiamat dalam keadaan membaca talbiyah (sedang mengerjakan haji). [Shahih Muslim No. 1176 KCB M’sia]

Akhirul kata, demikianlah beberapa pembahasan kita tentang BADAL HAJI yang dapat kami kemukakan pada topik kita kali ini. Bilamana ada pendapat yang lemah maupun kesalahan dalam tulisan ini, maka kami sangat menunggu teguran dan nasihatnya. Semoga bermanfaat.

Wallahu al-Muwaffiq.

“Ya Allah, berilah kami rezeki untuk dapat memenuhi panggilan-Mu, dan berjumpa dengan-Mu di Bait-Mu. Lezatkan kami dengan dekat kepada-Mu dan memperoleh nikmat karunia memandang wajah-Mu di akhirat kelak. Ya, Allah Rabbul Idzati, Jadikan kami termasuk orang yang ridha kepada-Mu dari selain-Mu. Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari bersandar kepada asbab dan berdiri bersama nafsu, keinginan, dan adat kebiasaan, dan kami berlindung kepada-Mu dari segala keburukan dalam setiap keadaan. Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka". Aamiin Ya Rabbul ‘alamiin.

Alhamdulillah, segala puja dan puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Robbul ‘Alamin. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassallam beserta keluarga, istri, para shahabatnya serta pengikut mereka dalam kebajikan hingga datangnya hari pembalasan nanti.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, ber-Shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah Salam penghormatan kepadanya.” (QS Al-Ahzab [33]:56)

SELESAI



[Dari Bulletin “An-Naba’ ” Edisi: 11/th ke II Dzulq. 1428]



Dari Author

Post a Comment

 
Top