Para pembaca rahimakumullah,
Segala puji bagi Allah Yang membaguskan susunan ciptaan-Nya, Yang menciptakan langit dan bumi, mengatur rezeki dan makanan, Yang menurunkan Kitabullah Al-Qur'anul Kariim, Yang menghidupkan dan mematikan, serta Yang memberi pahala atas perbuatan-perbuatan baik. Shalawat dan salam bagi junjungan kita, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, pemilik mukjizat yang nyata, yang dari cahayanya diperoleh eksistensi segala ciptaan.
Firman Allah SWT:
وَلاَ تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِم مِّن شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِم مِّن شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ
"Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan di petang hari karena mengharap keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka, dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu. (Jika) kamu mengusir mereka (padahal keadaan mereka demikian), maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang zhalim." (Al-An'am: 52)
Pemuka Quraisy datang kepada Rasulullah saw. Mereka dimasyhurkan sebagai golongan papan atas. Tercatat nama-nama antara lain: Abu Sufyan, Amru bin Hisyam, dan Akhnas bin Syariq dari Bani Zuhrah. Saat itu Rasulullah tengah bermajlis dengan para duafa dari kalangan sahabat. Mereka antara lain: Bilal bin Rabah, Suhaib, Ammar, dan Khabbab. Para "eksekutif" Quraisy itu berkata kepada Rasulullah, "Sungguh kami ingin engkau membuat majlis untuk kami, hanya, engkau tahu orang Arab menghormati kami, dan kami malu jika Bangsa Arab mengetahui kami bermajlis dengan para budak itu. Maka kami usulkan, jika kami mendatangimu maka singkirkan mereka, dan jika kami telah pergi, duduklah bersama mereka sesukamu. Jika engkau setuju, kabari kami melalui surat".
Hampir Rasulullah memenuhi usulan mereka. Ali bin Abi Thalib bahkan telah dipanggil untuk menulis jawaban dalam secarik kertas. Tiba-tiba Jibril as datang menegur, "Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan di petang hari karena mengharap keridhaan-Nya?" Demikian diceritakan oleh banyak ahli tafsir, termasuk oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Allah memiliki mizan(barometer), manusia pun demikian juga. Bangsa Arab menjuluki orang semacam Hisyam dengan Abul Hakam (bapak kebijaksanaan), namun Allah SWT menjulukinya dengan Abu Jahal (bapak kebodohan). Amerika menyebut pejuang Palestina dengan teroris, Islam menyebut mereka dengan mujahid. Arab jahiliyah mensejajarkan Bilal dengan binatang ternak yang tak berharga, namun, Bilal disisi Allah memiliki timbangan yang sangat berat.
Dalam riwayat Muslim disebutkan, pada futuh Makkah, Bilal, Ammar dan Shuhaib melontarkan kalimat pedas kepada Abu Sufyan, "Demi Allah, pedang-pedang Allah belum sedikitpun memperoleh korban dari musuh-musuh-Nya." Sontak Abu Sufyan marah mendengarnya. Ia mengadu kepada Abu Bakar r.a., untuk menegur mereka.
Abu Bakar datang menegur, "Adakah kalian mengatakan demikian kepada pemuka Quraisy?" Abu Bakar meneruskan aduan "penghinaan" kepada Rasulullah. Namun, tidak seperti yang dibayangkan, Beliau saw justru berkata: "Barangkali engkau telah membuat mereka marah. Sungguh jika itu terjadi maka engkau telah membuat murka Allah." Kontan Abu Bakar takut akan murka Allah. Karena dia khawatir tindakannya membuat marah ketiga sahabat. Dia segera mendatangi mereka untuk meminta maaf. Mereka menjawab, "semoga Allah memaafkanmu."
Ketinggian macam apakah yang menghantarkan manusia semacam Bilal, yang hina dina di mata kafir Arab, namun dapat membuat murka Allah jika ada yang membuat si budak itu murka? Dalam mizan Allah, Bilal adalah hamba Allah yang memiliki ketinggian takwa. Meski dimata manusia, Bilal adalah sosok budak miskin yang hitam legam.
Manusia umum mengukur ketinggian dan kemuliaan manusia dengan kedudukan, harta, pangkat dan pekerjaan. Semakin kaya seseorang, ia semakin terpandang. Semakin tinggi pangkat seseorang, ia semakin disegani. Demikianlah manusia, kemuliaan seseorang banyak diukur dengan tolak ukur dunia. Sementara Allah mengukur manusia atas takwanya. Bukan atas harta, pangkat, dan jabatan yang dimiliki si hamba.
Mencapai mizan Allah juga bukan perkara mudah, ia memerlukan kesabaran yang berat. Mencapai mizan Allah menuntut seseseorang mencintai apa yang dicintai Allah, membenci apa yang dibenci Allah, berwali kepada siapa saja yang berwali kepada Allah, dan memusuhi siapa saja yang memusuhi Allah. Ringkasnya, seperti banyak dikemukakan Para Mufassir; bimtistalil awamirihi, wajtinabi nawahihi -dengan menjalankan perintah-perintahNya, dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Peringatan Allah diatas patut dijadikan pelajaran. Untuk tidak terjebak mengukur kemuliaan seseorang atas mizan manusia belaka, melainkan mizan Allah ta'ala. Jangan anggap enteng apalagi meninggalkan mereka yang tak berduit, tak tampil menarik, rakyat jelata, pekerja kasar? hanya karena di depan mata ada kelompok elit eksekutif dan konglomerat. Bisa jadi, mereka yang tampak hina dimata manusia itu, sangat serius mengharap ridha Allah, sementara mereka yang papan atas itu penuh pertimbangan untuk mencari ridha Allah.
Jangan pula terjebak pada simbol-simbol formal untuk menilai seseorang. Apa yang engkau kenal sebagai tokoh, bisa jadi ia adalah manusia yang hina. Apa yang engkau kenal sebagai pengibar bendera Islam, bisa jadi ia adalah pengikis nilai Islam. Jangan terjebak hanya pada eksistensi mereka dalam lembaga A, atau sebutan kiyai untuk mereka, atau atribut-atribut yang biasa mereka sandang. Untuk tidak terjebak pada kesalahan penilaian, maka perlu memahami mizan Allah itu sendiri. Dengan apa? tentu dengan memahami nilai kebenaran Islam, seperti nasihat Ali bin Abi Thalib: "Kebenaran tidak diukur berdasarkan rijal (figur), pelajarilah kebenaran itu, niscaya engkau akan tahu siapa sejatinya pemanggul kebenaran." Wallau a'lam.
[Dipetik dari artikel: Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia]
Post a Comment