Menu

Gus Mendem Gus Mendem Author
Title: Pengertian Dan Asal-Usul Hermeneutika, Sebuah Pertimbangan
Author: Gus Mendem
Rating 5 of 5 Des:
I.   Pengertian Hermeneutika Kata “hermeneutika”, dalam bahasa Indonesianya yang kita kenal, secara etimologi berasal dari istilah Yunani, ...

I. Pengertian Hermeneutika
Kata “hermeneutika”, dalam bahasa Indonesianya yang kita kenal, secara etimologi berasal dari istilah Yunani, dari kata kerja hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia, “interpretasi.[1] Dari asal kata itu berarti ada dua perbuatan; menafsirkan dan hasilnya, penafsiran (interpretasi), seperti halnya kata kerja “memukul” dan menghasilkan “pukulan”. Kata tersebut layaknya kata-kata kerja dan kata bendanya dalam semua bahasa. Kata Yunani hermeios mengacu pada seorang pendeta bijak, Delphic. Kata hermeios dan kata kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata benda hermeneia diasosiasikan pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal.[2]

Dewa Hermes mempunyai kewajiban untuk menyampaikan pesan (wahyu) dari Jupiter kepada manusia. Dewa Hermes bertugas untuk menerjemahkan pesan Tuhan dari gunung Olympuske dalam bahasa yang dimengerti oleh manusia. Jadi hermeneutika ditujukan kepada suatu proses mengubah sesuatu atau situasi yang tidak bisa dimengerti sehingga dapat dimengerti (Richard E. Palmer). Ada tiga komponen dalam proses tersebut; mengungkapkan, menjelaskan, dan menerjemahkan.

Filsafat Yunani kuno sudah memberikan sinyal mengenai “interpretasi”. Dalam karyanya Peri Hermeneias atau De Interpretatione, Plato menyatakan “kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita dan kata yang kita tulis adalah simbol dari kata yang kita ucapkan”. Sehingga dalam memahami sesuatu perlu adanya usaha khusus, karena apa yang kita tafsirkan telah dilingkupi oleh simbol-simbol yang menghalangi pemahaman kita terhadap makna.

Dari uraian di atas ada tiga kesamaan antara tafsir Al-Qur’an dengan hermeneutika. Kesamaan itu tercakup dalam tiga unsur utama hermeneuein yang mana dalam tafsir Al-Qur’an dapat dimasukkan dalam kategori kegiatan hermeneuein tersebut. Pertama, dari segi adanya pesan, berita yang seringkali berbentuk teks, tafsir Al-Qur’an jelas menafsirkan teks-teks yang terdapat dalam Kitab Suci Al-Qur’an; Kedua, harus ada sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa asing terhadap pesan itu, dalam hal ini kaum Muslimin pembaca Al-Qur’an, baik yang berbahasa Arab apalagi yang tidak berbahasa Arab. Pesan-pesan Al-Qur’an harus dijelaskan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan mereka; Ketiga, adanya pengantara yang dekat dengan kedua belah pihak. Untuk unsur ketiga ini pengantara paling dekat dengan sumber, Allah SWT, yaitu Nabi Muhammad SAW, sehingga seluruh mufassir menjadikan Rasulallah SAW sebagai rujukan utama dalam menafsirka pesan-pesan Allah.[3]

Dalam terminologi, hermeneutika banyak didefinisikan oleh para ahli. Mereka (para ahli) memiliki definisinya masing-masing. F D. Ernest Schleirmacher mendefinisikan hermeneutika sebaga seni memahami dan menguasai, sehingga yang diharapkan adalah bahwa pembaca lebih memahami diri pengarang dari pada pengarangnya sendiri dan juga lebih memahami karyanya dari pada pengarang. Fredrich August Wolf mendefinisikan, hermeneutika adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang membantu untuk memahami makna tanda-tanda. Sedangkan menurut Martin Heidegger dan Hans George Gadamer bahwa hermeneutika adalah proses yang bertujuan untuk menjelaskan hakikat dari pemahaman.[4]

Pembaca lebih memahami diri pengarang dari pada pengarang itu sendiri. Inilah hal yang tidak mungkin dalam displin tafsir, sebab mufassir tidak akan bisa memahami pengarang, Allah SWT dan tidak bisa memahami Al-Qur’an lebih dari Allah SWT, maka para mufassir sering menulis kata wallahu a’lam bish as-sawaab atau wallahu a’lam bi muraadih di akhir tafsirannya.

Hermeneutika juga bisa dikatakan sebagai cabang dari filsafat dengan adanya perubahan dari “metafisika menjadi hermeneutika”. Hal ini terlihat dari sebuah kritik epistimologi Immanuel Kant. Kritik tersebut ditujukan atas metafisika. Dalam bukunya “Critique of Pure Reason”, Kant mengecam metafisika yang telah berumur lebih seribu tahun yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Menurutnya metafisika hanya melahirkan pengetahuan yang subjektif. Pengetahuan itu dihasilkan atas dasar otoritas suatu konsep berpikir yang menghasilkan ide. Ia menawarkan sebuah terobosan metafisika baru yang berupa hermeneutika. Dengan konsep Logic of Transcendental, bahwa pikiran kita mengumpulkan pengetahuan-pengetahuan yang akhirnya apabila pikiran kita akan memproses suatu pengetahuan maka pengetahuan-pengetahuan yang dikumpulkan oleh pikiran kita akan ikut memproses pengetahuan baru, sehingga hasilnya tidak subjektif melainkan lebih objektif.

 Untuk melihat lebih lanjut mengenai definisi hermeneutika, perlu diuraikan tentang enam definisi modernnya, karena hal ini akan membantu kita untuk mengetahui asal-asul dan perjalanan sejarah hermeneutika, walaupun tidak secara luas dan mendalam.

1. Hermeneutika Sebagai Teori Eksegesis Bibel (abad ke-17)
Hermeneutika pada awalnya merupakan teori penafsiran Bibel dan hal ini mempunyai justifikasi historis. Hermeneutika merupakan kaidah-kaidah yang terkandung dalam buku-buku interpretasi kitab suci (skriptur). Karya J. C. Dannhauer, Hermeneutica sacra sive methodus exponendarum sacrarum litterarum, yang diterbitkan pada 1654 membenarkan hal ini. Oxford English Dictionary, kamus bahasa Inggris, pun memperkuat hal ini, yang mencantumkan kata hermeneutika sebagai salah satu entrynya tahun 1737 yang berarti: “bersikap bebas dengan tulisan suci, seperti sama sekali tidak diperkenankan menggunakan beberapa kaidah yang kita ketahui dari sekedar hermeneutika seperti apa adanya”.

Pada abad ke-17 hermeneutika sudah menjalar kepada penerapan penafsiran tekstual dan teori-teori interpretasi keagamaan, satra dan hukum. Dari hal ini kiranya senada secara perhitungan waktu atau abad yang disebut “modern”, yaitu semenjak abad ke-15, yang ditandai dengan renaisance, maka abad ke-17 termasuk waktu modern, secara angka tahun.

2. Hermeneutika Sebagai Metode Filologis (abad ke-18)
Filologi adalah studi tentang budaya dan kerohanian suatau bangsa dengan menelaah karya-karya sastra-nya (atau sumber-sumber tertulis lainnya).[5] Metode filologi digunakan dalam memahami Bibel secara lebih sempurna, karena telah bernjalannya dan berbedanya ruang dan waktu, sehingga membutuhkan usaha yang lebih untuk memahami pesan Bibel, terutama Perjanjian Baru, agar relevan dengan zaman. Hermeneutika Bibel pada hakekatnya adalah definisi lain dari metode filologi, karena kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan sama sekali.

3. Hermeneutika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik   
Schleirmacher tidak menerima kaidah-kaidah interpretasi sebelumnya begitu saja. Bahkan ia pergi jauh meninggalkannya, karena menurutnya hermeneutika bukan sekedar ilmu, tetapi juga seni memahami. Ia merintis hermeneutika non-disipliner yang sangat signifikan bagi diskusi sekarang, yaitu hermeneutika sebagai studi pemahaman bukan kaidah-kaidah. Hermeneutika ini disebut hermeneutika umum (allgemeine hermeneutik) yang prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fondasi bagi semua ragam interpretasi teks. 

4. Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenschaften (abad ke-19)
Mengadopsi ilmu gurunya, Schleirmacher, Dilthey berusaha menerapkan hermeneutika sebagai metode untuk melayani geisteswissenschaften (semua disiplin ilmu yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia). Dia juga mempunyai proyek “kritik nalar historis” yang berbeda dengan filsafat sejarahnya Hegel, karena Dlthey tidak mengklasifikasikan sejarah sebagaimana Hegel, tetapi ia menekankan pada kritik akal sejarah. Pada awalnya proyeknya ini agak tersumbat, karena ia menggunakan analisa psikologis yang bukan merupakan disiplin historis, tetapi dengan hermeneutika ia menemukan sesuatu yang sesuai dalam memperlakukan geisteswissenschaften.

Hermeneutika sebagai Fenomenologi Dasein dan Pemahaman eksistensial (abad ke-20)
Model hermeneutika ini diusung oleh seorang eksistensialis Martin Heidegger yang kemudian diteruskan oleh Hans George Gadamer. Eksistensialisme adalah aliran salah satu aliran filsafat yang mempunyai prinsip darsar “eksistensi mendahului esensi” (existence precedes essence). Apa yang dikatakan eksistensi adalah manusia. Aliran filsafat ini tampaknya sangat berpengaruh padanya. Kebenaran menurutnya adalah menemukan eksistensi. Dia menggambarkan fakta dengan kalimat “alam tidak mungkin ada tanpa adanya aku, atau aku tidak mungkin ada tanpa adanya alam”.[6] Pada intinya, menurut Heidegger, adalah bahwa manusia selalu “membelum” atau belum dan belum meraih eksistensinya. Oleh karena itu, melakukan penafsiran atau interpretasi adalah menemukan dirinya sendiri dalam teks dan tidak ada interpretasi final.

Jadi, fenomenologi dasein (da: di sana, sein: berada), istilah ini digunakan oleh Heidegger untuk menunjuk kepada manusia yang bereksistensi, adalah ilmu tentang fenomena manusia dalam bereksistensi lewat kegiatan menafsirkan. Sedangkan pemahaman eksistensial adalah pemahaman yang didasarkan pada eksistensi manusia, karena manusia selalu membelum, maka tidak ada pemahaman pemahaman final. Pemahaman tersebut akan terus berlanjut sesuai dengan space and time hermeneut.

Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi: Menemukan Makna vs. Ikonoklasme (abad ke-20)   
Sesuatau yang kita pahami adalah sesuatu yang dilingkupi simbol-simbol. Adalah Paul Ricoeur (1965) yang meneliti lebih lanjut mengenai hal tersebut. Studinya membedakan antara univokal dan equivokal; simbol univokal adalah tanda dengan satu makna yang ditandai, seperti simbol-simbol dalam logika simbol, sementara simbol equivokal adalah fokus sebenarnya dari hermeneutika.[7]

Obyek interpretasinya mulai dari teks dalam pengertian yang luas, yang bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra. Oleh karena itu, dalam menginterpretasi teks dilakukan interpretasi recollective, dan untuk menginterpretasi mitos digunakan teori demitologisasi dan demistifikasi. Untuk lebih mendalam sebaiknya dirujuk bukunya yang berjudul “Symbol of Evil”.

II. Ruang Lingkup Hermeneutika
Apakah yang dibahas hermeneutika? Sebagian ada yang menjawabnya dengan sederhana bahwa hermeneutika adalah model pemikiran dan perenungan filosofis yang bertujuan untuk menjelaskan pengertian pemahaman (verstehen understanding) dan ia berusaha menjawab pertanyaan, “Apa yang akan dibuat oleh sebuah makna kepada yang memiliki makna?” Bisa jadi sesuatu itu berupa bait syair atau teks undang-undang, perbuatan manusia, bahasa, kultur asing atau personal.[8]

Ada tiga pendapat mengenai hermeneutika:[9]
  • Hermeneutika khusus (regional hermeneutics) yaitu hermeneutika sebagai cabang dari disiplin ilmu. Setiapmedan ilmu mempunyai hermeneutikanya masing-masing dan digunakan untuk medannya yang khusus sesuai bidang ilmunya.
  • Hermeneutika umum (general hermeneutics) yaitu hermeneutika yang tidak terkait dengan cabang ilmu-ilmu tertentu. Hermeneutika ini menggabungkan semua cabang ilmu untuk memahami. Pelopornya adalah Freidrich Schleirmacher (1768-1834 M). Hermeneutika ini tersusun darai kaidah-kaidah dan dasar-dasar umum yang berisi berbagai macam ilmu pengetahuan yang mengontrol proses pemahaman secara benar.
  • Hermeneutika filsafat (hermeneutical philosophy). Obyeknya bukan teks yang dipahami, tetapi pemahaman itu sendiri yang ditempuh dengan perenungan filosofis. Hermeneutika ini tidak mengenal kaidah-kaidah untuk mencapai kebenaran pemahaman, melainkan tidak mengenal kebenaran melalui metode ilmiah.

III. Sejarah Munculnya Hermeneutika
Berpijak pada penulisan entri hermeneutika dalam Oxford English Dictionary melegitimasi pijakan kuat bahwa hermeneutika muncul di Barat berhubungan secara mendasar dengan problem pemahaman kitab suci umat Kristiani. Kritik internal seorang pemuka Kristen Katolik, Martin Luther (1483-1546 M) membukakan keran bagi hermeneutika untuk mengalirkan airnya bukan hanya ke ranah teologi, tetapi juga ke semua ilmu humaniora. Ia menyerukan untuk membaca Bibel secara bebas.

Adatiga hal yang menjadi problem masyarakat Kristen sejak lama:
  • Penetapan Injil-Injil yang dinukil secara verbal kepada mereka ke dalam bentuk korpus tertulis.
  • Terbentuknya sekumpulan syari’at langit dan pada waktu yang sama menjelaskan hubungan antara Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB).
  • Membentuk doktrin-doktrin primer dengan bantuan pemahaman-pemahaman filsafat Yunani kuno.[10]
Semua ragam ini memiliki karakteristik hermeneutis seperti ceramah misionaris dan pengajaran Kristen serta pengungkapan-pengungkapan lain yang hidup dari teologi gereja.[11]

IV. Madzhab-Madzhab Hermeneutika

Adatiga madzhab besar hermeneutika:

A. Hermeneutical Theory, yaitu hermeneutika sebagai metode. Madzhab hermeneutika ini terikat dengan kaidah-kaidah dan dasar-dasar dalam interpretasi. Tokoh utama yang berjasa meletakkan hermeneutika ini adalah Wiliam Dilthey (1833-1911 M) yang dilanjuntkan oleh Emilio Betti (1890-1968 M).

B. Hermeneutical Philosophy, yaitu madzhab hermeneutika yang tidak berkaidah atau tidak sebagai metode. Hermeneutika ini dipengaruhi oleh aliran filsafat eksistensialiame yang menekankan pada pemahaman eksistensial. Tokohnya adalah filsuf Jerman Hans George Gadamer.

Bagi Gadamer hermeneutika tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi juga produktif. Bagi dia makna tidak harus makna dari pengarangnya, melainkan makna bagi kita yang hidup di zaman ini.[12] Kiranya ini tidak cocok dengan Al-Qur’an, bahwa kata dan makna berasal dari Allah, bahkan Muhammad pun tidak bisa mengubah walaupun sedikit. Memang makna Al-Qur’an haruslah serasi dengan zaman kita hidup, karena Al-Qur’an memang sebagai kitab bagi seluruh manusia hingga akhir zaman. Kalau begitu makna Al-Qur’an dari Allah yang sesuai dengan zaman kapanpun, hanya kita saja yang harus bisa menangkapnya.

Pendekatan penafsiran ala Gadamer tersebut ditemukan dalam hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, yang berpretensi untuk menemukan makna subtantif dari historis dan diaktualisasikan di masa kekinian.

C.  Critical Hermeneutics. Kedua madzhab di atas hanya berkisar pada proses pemahaman, yang pertama dengan metode dan yang ke-dua tidak dengan metode. Mereka justru belum mempertanyakan apa yang mereka pahami yaitu teks itu sendiri. Yang seharusnya mereka pertanyakan adalah “apakah makna teks memiliki kebenaran atau tidak”. Teori hermeneutika ini menilai diskusi hal itu berada di luar area metodologi dan epistemologi.[13] Pelopor madzhab ini adalah filsuf Jerman, Juergen Habermas (1929-…).

Kemudian dari tiga madzhab besar di atas, muncul aliran-aliran hermeneutika. Berikut nama-namanya dan tokoh-tokohnya:
  • Hermeneutika Simbolis dan Tipologis. Philon of Alexandria adalah ikon yang penting di dalamnya.
  • Hermeneutika Dalam dan Aksioma Semesta Alam. Tokoh-tokohnya adalah Agustin, Martin Luther, dan Matias Flasius.
  • Hermeneutika Kritis. Denhaur, John Calladinus, dan George Mayer adalah tokoh-tokohnya.
  • Hermeneutika Romansia. Schleirmacher adalah pemukanya.
  • Hermeneutika Historis. F. Ast, John Droezn, dan Wiliam Dilthey adalah tokoh-tokohnya.
  • Hermeneutika Fenomenologi dan Eksistensialis. Tokohnya adalah Edmund Hussrel, Martin Heidegger, Fraiburgh, dan Gadamer.[14]

IV. Sebuah Pertimbangan
Secara garis besar aliran hermeneutika terbagi menjadi dua aliran; obyektif (arti gramatikal kata-kata dan variasi-variasi historisnya) dan subyektif (maksud pengarang). Dalam kesimpulan makalahnya, yang ditulis untuk seminar Nasional di IAIN WalisongoSemarang, Prof. Dr. Yunahar Ilyas menulis bahwa ilmu tafsir kita jauh lebih kaya dari metode hermeneutika. Berbagai corak dan metode telah ada dalam khazanah keilmuan Islam. Seperti kita tahu disanaada model tafsir bahasa, fikih, filsafat, tasauf dan sosiologi kemasyarakatan, sehingga kita tidak dalam keadaan mendesak untuk harus mengadopsi semua metode yang diterapkan pada hermeneutika.

Beliau menambahkan bahwa ada perbedaan yang paling subtantif antara tafsir dan hermeneutika yaitu pandangannya terhadap nash Al-Qur’an. Hermeneutika memperlakukan semua nash (teks), sehingga tidak ada unsur sakralnya. Tidak senada dengan tafsir. Al-Qur’an adalah teks suci yang diwahyukan kepada Muhammad dari Allah SWT melalui perantara Jibril dan Muhammad sebagai perantara yang terpaksa (tidak berhak menyusun kata-kata). Lahan kritik, aktualisasi makna, dan pemahaman dalam tafsir adalah penafsiran itu sendiri, bukan teks Al-Qur’anya, berbeda dengan kritik hermeneutika Bibel.

Bukti nyata bahwa dalam tradisi kitab suci Bibel, bahwa bagaimana susunan, apa saja unsur-unsurnya pernah mengalami perubahan, tidak seperti Al-Qur’an. Perubahan tersebut terjadi lewat konsili-konsili gereja yang sudah dilakukan puluhan kali, yang salah satu agendanya adalah untuk membahas teks Bibel. Dalam Islam tidak pernah dilakukan hal semacam ini. Berikut adalah beberapa konsili yang merumuskan teks Bibel:[15]

1. Konsili Lodesia (364 M):  Menentukan beberapa kitab menjadi bagian dari kitab suci - Memasukkan 7 kitab lagi sebagai kitab suci, yaitu: surah 1 Petrus; atau surah Paulus kepada Petrus 1; surah II Petrus atau surah paulus kepada Petrus 2 . . . dst. -  Sedangkan kitab wahyu Kepada Yohanes dianggap sebagai kitab yang dikeragui.

2. Konsili Roma (382 M): Tata susunan Bibel - Tata susunan Bibel yaitu 1. Injil yang empat, 2. Surat Paulus yang 14, 3. Wahyu kepada Yohanes, 4. Kisah para Rasul, 5. Surat-surat Katolik yang tujuh

3. Konsili Chartage (397 M):  Penambahan Bibel - Menerima ttujuh kitab lainnya, yaitu: Hikmah, Jami’ah, Tobit, Mokaben 1, Mokaben 2, dan wahyu kepada Yohanes

Sudah puluhan konsili gereja yang diadakan hingga pertengahan abad ke-16 yang dihadiri oleh para uskup, para pemikir, dan juga para filsuf dengan biaya besar demi melakukan voting untuk menentukan mana kitab kitab yang pantas untuk dijadikan kitab suci.[16] 

Sekarang pertannyaannya adalah “apakah umat Islam pernah melakukan hal di atas?”. Tidak satu pun umat Islam di dunia ini yang meragukan keotentikan Kitab Suci Al-Qur’an. Mengutip pernyataan Syaikh abdul Halim Mahmud yang ditulis oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an”: Para orientalis yang dari saat ke saat berusaha menunjukan kelemahan Al-Qur’an, tidak mendapatkan celah untuk meragukan keontetikannya”.[17]

Akhirnya, penulis tidak menyimpulkan makalah ini. Dari uraian-uraian di atas, kita dapat mempertimbangkan hermeneutika sebagai pengganti tafsir atau menggunakannya untuk menafsirkan Al-Qur’an.Adapenelitian yang menunjukkan bahwa metode-metode yang diimpor dari Barat banyak yang berbenturan keras dengan hal-hal aksioma dalam Islam. Masih perlu dikaji dan diteliti lebih dalam lagi tentang kelayakan hermeneutika untuk menafsirkan Al-Qur’an.

V. Referensi
  • Gordin, Jean, Sejarah Hermeneutika, terj. Inyiak Ridwan Muzir,Jakarta: ar-Ruzz Media, 2007.
  • Ilyas, Yunahar, Perlukah Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Qur’an, makalah seminar Nasional “Hermeneutikaphobia”, Fakultas Ushuluddin, Tafsir Hadits, IAIN Walisongo Semarang, Kamis, 29 Oktober 2009.
  • Ismail, Muhammad, al-Husaini, al-haqiqah al-muthlaqah, terj. Alimin (Kebenaran Mutlak), Jakarta: Sahara Publisher, 2006.     
  • Palmer, Richard E., Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, terj. Mansur Hery & Damanhuri M, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
  • Partanto, Pius A. dan Al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer,Surabaya: Arkola.
  • Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,Jakarta: Mizan, 2009.
  • Salim, Fahmi, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal,Jakarta: Perspektif, 2010.
  • Sumaryono, E., Hermeneutika, Sebuah Metode Filsafat,Yogyakarta : Kanisius, 1994.

[1] Richard E. Palmer, Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, terj. Mansur Hery & Damanhuri M, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, hal. 14.
[2] Ibid., hal 15.
[3] Yunahar Ilyas, Perlukah Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Qur’an, makalah seminar Nasional  Hermeneutikaphobia, Fakultas Ushuluddin, Tafsir Hadits, IAIN Walisongo Semarang.
[4] Lihat Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, hal 53-55.
[5] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, hal. 178.
[6] Muhammad al-Husaini Ismail, al-haqiqah al-mutlaqah, terj. Alimin (Kebenaran Mutlak), hal. 558.
[7] Richard, op. cit., hal. 48.
[8] Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, hal. 55.
[9] Baca Fahmi Salim, Kritik, op. cit., hal. 56-57.
[10] Fahmi Salim, Kritik, op. cit., hal. 125.
[11] Ibid., hal 125.
[12] Yunahar Ilyas, Perlukah, op. cit., hal. 10.
[13] Ibid., hal. 140.
[14] Ibid., hal. 142.
[15] Muhammad al-Husaini Ismail, al-haqiqah, op. cit., hal. 364-365.
[16] Ibid., hal. 363.
[17] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hal. 28.


[Sumber: Sofyan Effendi

Dari Author

Post a Comment

 
Top