Kisah Ubaidillah bin Jahsyi yang berhijrah ke Habasyah bersama istrinya, Romlah r.a (Ummu habibah) dan anak mereka untuk menyelamatkan keimanan yang baru dipeluknya dari kemarahan Abu Sofyan bin Harb, ayah sang istri.
Namun, setelah bertahun-tahun keluarga tersebut hidup dalam ketentraman dalam naungan Islam, tiba-tiba Ubaidillah bin Jahsyi murtad dan menjadi nasrani. Akhlaknya berubah menjadi pemabuk dan berlaku kasar terhadap Romlah Ra dan puncaknya adalah keputusannya untuk menceraikan sang istri karena setelah dipaksa tetap tidak mau mengikuti agama barunya sb.
Oleh karena itu, Rasulullah saw memerintahkan setiap muslim untuk memperbaharui keimanannya, apa pun kelas imannya, apa pun amalnya, dan setinggi apa pun ilmu yang di milikinya. Rasulullah bersabda:
“Jaddiduu diinikum, perbaharuilah diin kalian!” (HR Tirmidzi dari Ummu Salamah ra).
Iman, letaknya ada dihati. Karenanya, perhatikanlah amalan-amalan hati untuk menjaga keimanan tsb. Perbanyaklah amalan-amalan hati yang akan menyuburkan makna iman dalam hati dan menebalkan keikhlasan kita kepada Allah sehingga terbangun rasa kebersamaan kita kepada Allah (ma’iyatullah).
Rasulullah menjelaskan kepada kita, bahwa hati manusia mudah terbolak-balik. Adakalanya, anda melihat seorang muslim menunjukkan ketaatan kepada Allah sehingga mempesona manusia namun tak lama berselang ia berubah, terlalu banyak melakukan hal-hal yang mudah tanpa ada maslahat dinniyah atau membiarkan waktunya berlalu tanpa ada faedah atau maslahat syar’iyyah.
”Laa wa muqallibal quluub, Tidak. Demi (Dzat) yang membolak-balik hati”. (HR. Bukhary dari Abdullah bin Umar Ra).
Saudaraku, perhatikanlah bahwa tanpa hidup tanpa keimanan di hati adalah kehidupan tanpa keberkahan. Karenanya, perhatikanlah bagaimana Allah memerintahkan kita untuk selalu memperbaiki kualitas keimanan kita. Allah berfirman:
”Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kalian kepada Allah, Rasulnya, dan Kitab yang telah diturunkan kepada Rasulnya dan Kitab yang diturunkan sebelumnya”. (QS. An-Nisaa’:136).
Perhatikanlah! Bagaimana bisa, Al Qur’an menuntut keimanan dari orang-orang yang telah beriman sedangkan mereka telah menunjukkan keimanannya? Bahkan khittab (obyek) ayat tersebut berbunyi: ”hai orang-orang yangberiman!”. Apa yang sebenarnya makna iman yang dituntut oleh ayat Al Qur’an ini? Sesungguhnya, ayat tersebut menuntut orang-orang yang beriman untuk senantiasa memperbaharui keimanan mereka! Yang demikian itu, karena memang: iman memerlukan pembaharuan dari waktu ke waktu.
Bagaimana memperbaharui keimanan?
Diantara cara dari banyak cara memperbaharui keimanan adalah dengan memperbanyak amalan hati seperti menjaga waktu sholat, mencintai sholat malam, memperbanyak shoum sunnah, dzikir dan menjaga kekhusu’an.
Salah satu cara sarana untuk memperbaharui keimanan, hendaklah kita menyediakan waktu khusus diluar waktu sholat, qiyamullail, dzikir dan tilawah qur’annya untuk menyendiri atau berkhalwah. Dalam sebuah atsar dikatakan, seorang yang berakal itu membagi waktunya menjadi empat: salah satunya adalah waktu yang ia isi untuk menyendiri, merenungi diri, bermuhasabah!
Saat berkhalwat itulah, ia dapat semaksimal mungkin mendekatkan dirinya kepada Allah. Ia dapat sungguh-sungguh bersama Dzat yang paling dicintainya, dan disaat itu pulalah ia dapat merasakan manisnya bermunajat kepada Kholiqnya.
Selain itu, dengan berkhalwah, ia bisa mengintrospeksi diri/bermuhasabah dengan menghitung-hitung semua yang telah dikerjakannya tanpa ada gangguan dari orang-orang yang memujinya maupun mereka yang mencelanya. Di saat itu, ia berkesempatan untuk mengingat dosa-dosanya, kemaksiatannya, ketelodorannya, serta kealpaan dirinya, khususnya terkait kemaksiatan bathiniyyah yang tidak diketahui oleh orang-orang yang memujinya, yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
Di saat khalwah inilah, ia bisa mencucurkan air mata penyesalan dan taubat nashuha, menangis karena takut, malu, cinta dan khusyu’ kepada Allah Yang Maha Suci. Semoga saja, air mata yang mengalir itu adalah air mata kejujuran yang manfaatnya jauh lebih besar daripada amal-amal yang selama ini dibanggakan!
Rasulullah saw mengabarkan bahwa salah satu dari kategori manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah di bawah ’Arsy pada hari tiada naungan selain naungan-Nya adalah laki-laki yang menangis dalam khalwahnya.
”Wa rajulun dzakarallah khaaliyan fa faadhot ’ainaaha. Dan laki-laki yang mengingat Allah dalam kesendiriannya lalu air matanya mengalir.” (HR Bukhary-Muslim dari Abu Hurairah ra).
Perhatikan kata khaaliyan yang berarti ’dalam kesendirian’ pada hadits di atas. Benar, orang itu berada dalam keadaan sunyi, jauh dari sum’ah (pamer), dan riya’ (agar dilihat orang lain). Ia ditemani oleh kemurnian dan keikhlasannya kepada Allah ’Azza wa Jalla.
Pada saat khalwah itu, ia dapat mengingat-ingat cobaan dan musibah yang menimpanya dan juga saudara-saudaranya, kalau-kalau faktor penyebabnya adalah dosa-dosanya. Terlebih lagi jika ia berposisi sebagai seorang pemimpin. Kemudian hatinya terus mengumandangkan firman Allah:
”Qul huwa min ’indi anfusikum. Katakan: itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (Qs. Ali Imran: 165).
Dan selanjutnya, ia bertekad untuk bertaubat dari dosa-dosa tsb, dan memperbaiki aib diri sendiri. ”Turunnya musibah itu hanyalah karena dosa, dan baru diangkat karena taubat!”. Demikian menurut sebagian ulama salaf.
Dalam khalwah itu, manusia akan membiasakan diri untuk memperhatikan faktor-faktor turunnya bala’/mushibah dengan seksama menurut kacamata syari’at. Bukan semata-mata dari sudut pandang ilmu pengetahuan ansich.
[Dari Blog Sampurna Budi Utama]
Namun, setelah bertahun-tahun keluarga tersebut hidup dalam ketentraman dalam naungan Islam, tiba-tiba Ubaidillah bin Jahsyi murtad dan menjadi nasrani. Akhlaknya berubah menjadi pemabuk dan berlaku kasar terhadap Romlah Ra dan puncaknya adalah keputusannya untuk menceraikan sang istri karena setelah dipaksa tetap tidak mau mengikuti agama barunya sb.
Oleh karena itu, Rasulullah saw memerintahkan setiap muslim untuk memperbaharui keimanannya, apa pun kelas imannya, apa pun amalnya, dan setinggi apa pun ilmu yang di milikinya. Rasulullah bersabda:
“Jaddiduu diinikum, perbaharuilah diin kalian!” (HR Tirmidzi dari Ummu Salamah ra).
Iman, letaknya ada dihati. Karenanya, perhatikanlah amalan-amalan hati untuk menjaga keimanan tsb. Perbanyaklah amalan-amalan hati yang akan menyuburkan makna iman dalam hati dan menebalkan keikhlasan kita kepada Allah sehingga terbangun rasa kebersamaan kita kepada Allah (ma’iyatullah).
Rasulullah menjelaskan kepada kita, bahwa hati manusia mudah terbolak-balik. Adakalanya, anda melihat seorang muslim menunjukkan ketaatan kepada Allah sehingga mempesona manusia namun tak lama berselang ia berubah, terlalu banyak melakukan hal-hal yang mudah tanpa ada maslahat dinniyah atau membiarkan waktunya berlalu tanpa ada faedah atau maslahat syar’iyyah.
”Laa wa muqallibal quluub, Tidak. Demi (Dzat) yang membolak-balik hati”. (HR. Bukhary dari Abdullah bin Umar Ra).
Saudaraku, perhatikanlah bahwa tanpa hidup tanpa keimanan di hati adalah kehidupan tanpa keberkahan. Karenanya, perhatikanlah bagaimana Allah memerintahkan kita untuk selalu memperbaiki kualitas keimanan kita. Allah berfirman:
”Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kalian kepada Allah, Rasulnya, dan Kitab yang telah diturunkan kepada Rasulnya dan Kitab yang diturunkan sebelumnya”. (QS. An-Nisaa’:136).
Perhatikanlah! Bagaimana bisa, Al Qur’an menuntut keimanan dari orang-orang yang telah beriman sedangkan mereka telah menunjukkan keimanannya? Bahkan khittab (obyek) ayat tersebut berbunyi: ”hai orang-orang yangberiman!”. Apa yang sebenarnya makna iman yang dituntut oleh ayat Al Qur’an ini? Sesungguhnya, ayat tersebut menuntut orang-orang yang beriman untuk senantiasa memperbaharui keimanan mereka! Yang demikian itu, karena memang: iman memerlukan pembaharuan dari waktu ke waktu.
Bagaimana memperbaharui keimanan?
Diantara cara dari banyak cara memperbaharui keimanan adalah dengan memperbanyak amalan hati seperti menjaga waktu sholat, mencintai sholat malam, memperbanyak shoum sunnah, dzikir dan menjaga kekhusu’an.
Salah satu cara sarana untuk memperbaharui keimanan, hendaklah kita menyediakan waktu khusus diluar waktu sholat, qiyamullail, dzikir dan tilawah qur’annya untuk menyendiri atau berkhalwah. Dalam sebuah atsar dikatakan, seorang yang berakal itu membagi waktunya menjadi empat: salah satunya adalah waktu yang ia isi untuk menyendiri, merenungi diri, bermuhasabah!
Saat berkhalwat itulah, ia dapat semaksimal mungkin mendekatkan dirinya kepada Allah. Ia dapat sungguh-sungguh bersama Dzat yang paling dicintainya, dan disaat itu pulalah ia dapat merasakan manisnya bermunajat kepada Kholiqnya.
Selain itu, dengan berkhalwah, ia bisa mengintrospeksi diri/bermuhasabah dengan menghitung-hitung semua yang telah dikerjakannya tanpa ada gangguan dari orang-orang yang memujinya maupun mereka yang mencelanya. Di saat itu, ia berkesempatan untuk mengingat dosa-dosanya, kemaksiatannya, ketelodorannya, serta kealpaan dirinya, khususnya terkait kemaksiatan bathiniyyah yang tidak diketahui oleh orang-orang yang memujinya, yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
Di saat khalwah inilah, ia bisa mencucurkan air mata penyesalan dan taubat nashuha, menangis karena takut, malu, cinta dan khusyu’ kepada Allah Yang Maha Suci. Semoga saja, air mata yang mengalir itu adalah air mata kejujuran yang manfaatnya jauh lebih besar daripada amal-amal yang selama ini dibanggakan!
Rasulullah saw mengabarkan bahwa salah satu dari kategori manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah di bawah ’Arsy pada hari tiada naungan selain naungan-Nya adalah laki-laki yang menangis dalam khalwahnya.
”Wa rajulun dzakarallah khaaliyan fa faadhot ’ainaaha. Dan laki-laki yang mengingat Allah dalam kesendiriannya lalu air matanya mengalir.” (HR Bukhary-Muslim dari Abu Hurairah ra).
Perhatikan kata khaaliyan yang berarti ’dalam kesendirian’ pada hadits di atas. Benar, orang itu berada dalam keadaan sunyi, jauh dari sum’ah (pamer), dan riya’ (agar dilihat orang lain). Ia ditemani oleh kemurnian dan keikhlasannya kepada Allah ’Azza wa Jalla.
Pada saat khalwah itu, ia dapat mengingat-ingat cobaan dan musibah yang menimpanya dan juga saudara-saudaranya, kalau-kalau faktor penyebabnya adalah dosa-dosanya. Terlebih lagi jika ia berposisi sebagai seorang pemimpin. Kemudian hatinya terus mengumandangkan firman Allah:
”Qul huwa min ’indi anfusikum. Katakan: itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (Qs. Ali Imran: 165).
Dan selanjutnya, ia bertekad untuk bertaubat dari dosa-dosa tsb, dan memperbaiki aib diri sendiri. ”Turunnya musibah itu hanyalah karena dosa, dan baru diangkat karena taubat!”. Demikian menurut sebagian ulama salaf.
Dalam khalwah itu, manusia akan membiasakan diri untuk memperhatikan faktor-faktor turunnya bala’/mushibah dengan seksama menurut kacamata syari’at. Bukan semata-mata dari sudut pandang ilmu pengetahuan ansich.
[Dari Blog Sampurna Budi Utama]
Post a Comment