Imam al-Ghazali adalah salah seorang ulama klasik yang berusaha keras mematahkan hujjah ketuhanan Yesus. Melalui bukunya yang berjudul al-Raddul Jamil li Ilahiyati `Isa, al-Ghazali membantah ketuhanan Yesus dengan mengutip teks-teks Bibel. Buku ini menarik untuk dikaji karena diterbitkan oleh UNESCO dalam bahasa Arab.
Imam al Ghazali adalah ulama yang sangat terkenal di zamannya sampai zaman sekarang ini. Nama lengkapnya, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At-Thusi Asy-Syafii (pengikut mazhab Syaf’i). Al Ghazali lahir 450 H/1058 M dan wafat pada tahun 505H/1111M dalam usia 55 tahun.
Karyanya tidak kurang dari 200 buku, dan di antara karyanya yang sangat monumental adalah “Ihya `Ulumiddin” (Revival of Religious Sciences). Ia dikenal sebagai seorang filsuf, ahli Tasawwuf, ahli fikih, dan juga bisa dikatakan sebagai seorang Kristolog. Ini terbukti lewat karyanya al-Raddul Jamil, yang ditulisnya secara serius dan mendalam. Dalam bukunya, Al Ghazali memberikan kritik-kritik terhadap kepercayaan umat Kristeni yang bertaklid kepada akidah pendahulunya, yang keliru.
Kata al Ghazali dalam mukaddimah bukunya: “Aku melihat pembahasan-pembahasan orang Kristen tentang akidah mereka memiliki pondasi yang lemah. Orang Kristen menganggap agama mereka adalah syariat yang tidak bisa ditakwil.” Imam al-Ghazali juga berpendapat bahwa umat Kristen taklid kepada para filosof dalam soal keimanan. Misalnya dalam masalah al-ittihad, yaitu menyatunya zat Allah dengan zat Yesus. Al Ghazali membantah teori al-ittihad umat Kristen. Menurutnya, anggapan bahwa Isa AS mempunyai keterkaitan dengan Tuhan seperti keterkaitan jiwa dengan badan, kemudian dengan keterkaitan ini terjadi hakikat ketiga yang berbeda dengan dua hakikat tadi, adalah keliru.
Menurutnya, bergabungnya dua zat dan dua sifat (isytirak), kemudian menjadi hakikat lain yang berbeda adalah hal yang mustahil yang tidak diterima akal. Dalam pandangan al Ghazali, teori al ittihad ini justru membuktikan bahwa Yesus bukanlah Tuhan.
Al Ghazali menggunakan analogi mantik atau logika. Ia berkata, "Ketika Yesus disalib, bukankah yang disalib adalah Tuhan, apakah mungkin Tuhan disalib? Jadi, Yesus bukanlah Tuhan!"
Penjelasannya dapat dilihat pada surat an-Nisa ayat 157: “Dan tidaklah mereka membunuhnya (Isa AS) dan tidak juga mereka menyalibnya akan tetapi disamarkan kepada mereka”. Selain al-ittihad, masalah al-hulul tak kalah pentingnya. Menurut Al-Ghazali, makna al-hulul, artinya zat Allah menempati setiap makhluk, sebenarnya dimaksudkan sebagai makna majaz atau metafora. Dan itu digunakan sebagai perumpamaan seperti kata “Bapa” dan “Anak”. Misalnya seperti dalam Injil Yohannes pasal 14 ayat 10: “Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku. Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diriKu sendiri tetapi Bapa yang diam di dalam Aku, Dia lah yang melakukan pekerjaanNya.”
Dalam melakukan kajiannya, Imam al Ghazali merujuk kepada Bibel umat Kristen. Dalam al-Raddul Jamil, al Ghazali mencantumkan enam teks Bibel yang menurutnya menafikan ketuhanan Yesus, dan dikuatkan dengan teks-teks Bibel lainnya sebagai tafsiran teks-teks yang enam tadi. Di antara teks yang dikritisi oleh al Ghazali adalah Injil Yohannes pasal 10 ayat 30-36;
“Aku dan Bapa adalah satu. Sekali lagi orang-orang Yahudi mengambil batu untuk melempari Yesus. Kata Yesus kepada mereka: “banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-ku yang kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari aku?" Jawab orang-orang Yahudi itu: “bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari engkau, melainkan karena engkau menghujat Allah dan karena engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan dirimu dengan Allah. Kata Yesus kepada mereka: “tidakkah ada tertulis dalam kitab Taurat kamu: Aku telah berfirman: kamu adalah Allah? Jikalau mereka, kepada siapa firman itu disampaikan, disebut Allah sedangkan kitab suci tidak dapat dibatalkan, masihkah kamu berkata kepada dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia.” (Teks dikutip dari Bibel terbitan Lembaga Al-kitab Indonesia; Jakarta 2008.)
Penjelasannya dapat dilihat pada surat an-Nisa ayat 157: “Dan tidaklah mereka membunuhnya (Isa AS) dan tidak juga mereka menyalibnya akan tetapi disamarkan kepada mereka”. Selain al-ittihad, masalah al-hulul tak kalah pentingnya. Menurut Al-Ghazali, makna al-hulul, artinya zat Allah menempati setiap makhluk, sebenarnya dimaksudkan sebagai makna majaz atau metafora. Dan itu digunakan sebagai perumpamaan seperti kata “Bapa” dan “Anak”. Misalnya seperti dalam Injil Yohannes pasal 14 ayat 10: “Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku. Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diriKu sendiri tetapi Bapa yang diam di dalam Aku, Dia lah yang melakukan pekerjaanNya.”
Dalam melakukan kajiannya, Imam al Ghazali merujuk kepada Bibel umat Kristen. Dalam al-Raddul Jamil, al Ghazali mencantumkan enam teks Bibel yang menurutnya menafikan ketuhanan Yesus, dan dikuatkan dengan teks-teks Bibel lainnya sebagai tafsiran teks-teks yang enam tadi. Di antara teks yang dikritisi oleh al Ghazali adalah Injil Yohannes pasal 10 ayat 30-36;
“Aku dan Bapa adalah satu. Sekali lagi orang-orang Yahudi mengambil batu untuk melempari Yesus. Kata Yesus kepada mereka: “banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-ku yang kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari aku?" Jawab orang-orang Yahudi itu: “bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari engkau, melainkan karena engkau menghujat Allah dan karena engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan dirimu dengan Allah. Kata Yesus kepada mereka: “tidakkah ada tertulis dalam kitab Taurat kamu: Aku telah berfirman: kamu adalah Allah? Jikalau mereka, kepada siapa firman itu disampaikan, disebut Allah sedangkan kitab suci tidak dapat dibatalkan, masihkah kamu berkata kepada dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia.” (Teks dikutip dari Bibel terbitan Lembaga Al-kitab Indonesia; Jakarta 2008.)
Teks ini, menurut al Ghazali, menerangkan masalah al-ittihad (menyatunya Allah dengan hamba-Nya). Orang Yahudi mengingkari perkataan Yesus “aku dan Bapa adalah satu”. Al Ghazali berpendapat, perkataan Yesus, Isa AS “.. aku dan Bapa adalah satu” adalah makna metafora. Al Ghazali mengkiaskannya seperti yang terdapat dalam hadits Qudsi, dimana Allah berfirman: “Tidaklah mendekatkan kepadaKu orang-orang yang mendekatkan diri dengan yang lebih utama dari pada melakukan yang Aku fardhukan kepada mereka. Kemudian tidaklah seorang hamba terus mendekatkan diri kepadaKu dengan hal-hal yang sunnah sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Aku adalah pendengaran yang ia mendengar dengannya, penglihatan yang ia melihat dengannya, lisannya yang ia berbicara dengannya dan tangannya yang ia memukul dengannnya.”
Menurut Al-Ghazali, adalah mustahil Sang Pencipta menempati indra-indra tersebut atau Allah adalah salah satu dari indra-indra tersebut. Akan tetapi seorang hamba ketika bersungguh-sungguh dalam taat kepada Allah, maka Allah akan memberikannya kemampuan dan pertolongan yang ia mampu dengan keduanya untuk berbicara dengan lisan-Nya, memukul dengan tangan-Nya, dan lain-lainnya. Makna metafora dalam teks Bibel dan hadis Qudsi itulah yang dimaksudkan bersatunya manusia dengan Tuhan, bukan arti harfiahnya.
Demikianlah, di abad ke-12 M, Imam al Ghazali telah melalukan kajian yang serius tantang agama-agama selain Islam. Kajian ini tentu saja sesuatu yang jauh melampaui zamannya. Kritiknya terhadap konsep Ketuhanan Yesus jelas didasari pada keyakinannya sebagai Muslim, berdasarkan penjelasan Al-Quran. Al-Ghazali bersifat seobjektif mungkin saat meneliti fakta tentang konsep umat Kristen soal Ketuhanan Yesus. Tapi, pada saat yang sama, dia juga tidak melepaskan posisinya sebagai Muslim saat mengkaji agama-agama.
Menurut Al-Ghazali, adalah mustahil Sang Pencipta menempati indra-indra tersebut atau Allah adalah salah satu dari indra-indra tersebut. Akan tetapi seorang hamba ketika bersungguh-sungguh dalam taat kepada Allah, maka Allah akan memberikannya kemampuan dan pertolongan yang ia mampu dengan keduanya untuk berbicara dengan lisan-Nya, memukul dengan tangan-Nya, dan lain-lainnya. Makna metafora dalam teks Bibel dan hadis Qudsi itulah yang dimaksudkan bersatunya manusia dengan Tuhan, bukan arti harfiahnya.
Demikianlah, di abad ke-12 M, Imam al Ghazali telah melalukan kajian yang serius tantang agama-agama selain Islam. Kajian ini tentu saja sesuatu yang jauh melampaui zamannya. Kritiknya terhadap konsep Ketuhanan Yesus jelas didasari pada keyakinannya sebagai Muslim, berdasarkan penjelasan Al-Quran. Al-Ghazali bersifat seobjektif mungkin saat meneliti fakta tentang konsep umat Kristen soal Ketuhanan Yesus. Tapi, pada saat yang sama, dia juga tidak melepaskan posisinya sebagai Muslim saat mengkaji agama-agama.
Ajaran islam adalah ajaran sesat...
ReplyDeleteBuku ini adalah hasil kolaborasi Mark Beaumont dan Maha El Kaisy-Friemuth dalam mengedit teks Arab, dan untuk kali pertamanya menerjemahkan secara utuh ke dalam bahasa Inggris, kitab polemik yang dinisbatkan kepada al-Ghazali, ar-Radd al-Jamil li-Ilahiyati 'Isa bi-Sharih al-Injil. Buku yang kemudian diberi judul 'A Fitting Refutation of the Divinity of Jesus Attributed to Abu Hamid al-Ghazali' ini, sepengetahuan saya, merupakan usaha ketiga untuk mengenalkan teks ar-Radd al-Jamil kepada sidang pembaca modern. Pertama kali ditemukan oleh Louis Massignon pada tahun 1932, buku ini kemudian diedit dan diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Robert Chidiac pada 1939. Dan baru pada 1986 kitab ini diedit dan diterbitkan untuk para pembaca Muslim di Kairo oleh Muhammad asy-Syarqawi.
ReplyDeleteEdisi dwibahasa Arab-Inggris ini juga diberi pendahuluan lumayan panjang, yang mendeskripsikan tiga manuskrip teks ini di Turki dan Belanda, kedudukan teks ini dalam sejarah polemik Islam-Kristen dari masa ke masa, dan yang paling penting: tentang otentisitas penisbatan buku ini kepada al-Ghazali. Memang sudah dua abad para pengkaji al-Ghazali bertengkar mengenai keaslian teks ar-Radd al-Jamil. Di satu pihak, Louis Massignon, R. Chidiac, J.W. Sweetman, A.J. Arberry, Franz-Elmar Wilms, dan Muhammad asy-Syarqawi yakin buku ini adalah karya al-Ghazali. Di lain pihak, Maurice Bouyges, Abdurrahman Badawi, W. Montgomery Watt, Farid Jabre, Hava Lazarus-Yafeh, Gabriel Said Reynolds, dan Martin Whittingtam percaya bahwa buku ini ditulis oleh seorang peniru-al-Ghazali.
Para pendukung teori pertama berargumen bahwa 'aroma Ghazalian' pekat terasa dalam ar-Radd al-Jamil. Wilms, misalnya, berpendapat bahwa metode polemik yang digunakan oleh penulis ar-Radd al-Jamil sangat mirip dengan pola penulisan Tahafut al-Falasifah dan Fadha'ih al-Bathiniyah yang asli ditulis oleh al-Ghazali. Gaya bahasa ar-Radd al-Jamil dalam melukiskan hubungan antara kemanusiaan dan ketuhanan Yesus juga, kata Wilms, mirip sekali dengan deskripsi al-Ghazali tentang al-Hallaj dan Bayazid dalam Misykat al-Anwar dan Ihya'.
Sementara itu, para pengkaji al-Ghazali yang mendukung teori kedua berargumen bahwa teks ar-Radd al-Jamil memiliki gaya tulisan yang lebih buruk daripada karya-karya al-Ghazali yang otentik. Al-Ghazali terkenal sebagai penulis yang enak dibaca, jernih dalam melukiskan konsep, logis, dan sistematis dalam mengatur isi buku. Dan ciri-ciri inilah yang malah kurang kuat terasa dalam teks ar-Radd al-Jamil. Mengamati gaya bahasa dan kosakata yang digunakan, Lazarus-Yafeh curiga bahwa ar-Radd al-Jamil ditulis dalam konteks masyarakat Koptik Mesir, bukan Persia tempat kelahiran al-Ghazali.
Yang menarik, salah seorang editor buku ini, Maha El Kaisy-Friemuth, pada mulanya berpihak pada kubu pertama. Dalam artikel yang berjudul "Al-Radd al-Jamil: Al-Ghazali's or Pseudo-Ghazali's?," El Kaisy-Friemuth membela penisbatan buku ini kepada al-Ghazali. Tapi setelah membaca ulang teks ini untuk keperluan editing, ia beralih ke kubu kedua. Ia tidak percaya bahwa al-Ghazali merupakan penulis buku ini. Ia berspekulasi bahwa penulis ar-Radd al-Jamil adalah seorang Muslim Mesir yang sedang berpolemik dengan orang-orang Kristen Koptik. Kedua, bahwa si penulis adalah seorang pengagum al-Ghazali yang berusaha meniru metode polemik sang Hujjat al-Islam dalam ranah dialog antaragama. Dengan simpulan-simpulan baru ini, mudah-mudahan Maha El Kaisy-Friemuth bisa menetapkan kata akhir untuk polemik yang sudah berjalan selama 2 abad (atau malah memantik polemik lebih dalam lagi?).
ReplyDeleteTapi, terlepas dari statusnya sebagai karya 'pseudo-Ghazali', ar-Radd al-Jamil tetap merupakan karya yang sangat menarik untuk terus dikaji. Salah satu cirinya yang unik, menurut saya, yang diturunkan dari metode polemik al-Ghazali, adalah penolakannya untuk mempertanyakan otentisitas Injil. Para penulis Muslim yang berpolemik melawan agama Kristen kan biasanya menuduh Injil telah dipalsukan (tahrif) oleh orang-orang Kristen untuk mendukung ajaran mereka yang salah. Nah, penulis ar-Radd al-Jamil tidak menempuh jalan ini. Ia menerima deskripsi tentang Yesus yang disampaikan oleh Injil. Ia tidak mempertanyakan keaslian Injil. Alih-alih, ia mengatakan bahwa orang-orang Kristen salah karena memahami secara literal pernyataan-pernyataan Yesus yang melukiskan hubungan dirinya dengan Tuhan. Dengan eksposisi yang mengingatkan kita pada Ihya' dan Misykat al-Anwar, penulis ar-Radd al-Jamil membandingkan hubungan Yesus dengan Tuhan dengan pengalaman ekstatik para Sufi seperti al-Hallaj dan Bayazid. Dengan demikian, yang kita butuhkan untuk memahami pengalaman Yesus dan al-Hallaj adalah sama: Takwil!