dan mengapa hal ini tidak diutarakan secara komprehensif dalam Al-Quran?
Memahami bagaimana perkara ketuhanan ini dan tingkatan-tingkatannya digolongkan sebagai rahasia-rahasia pengetahuan syuhudi (irfani) dan tidak boleh ada persangkaan bahwa Rasulullah Saw sendiri tidak memilik pengetahuan ini, namun karena mayoritas manusia tidak menjangkau pengetahuan seperti ini, maka membicarakannya akan menyebabkan kebingungan dan keheranan akal, dengan demikian, persoalan hakikat ruh tidak diungkapkan secara luas dalam aspek lahiriah al-Quran.
Dari ungkapan di atas menjadi jelas bahwa karena ruh merupakan suatu hakikat yang tidak berada dalam koridor ruang-waktu dan tidak memiliki tipologi materi, maka ia tidak berada dalam cakupan indera lahiriah dan penglihatan kasat mata. Akan tetapi, sebagian efek-efek dan manifestasi-imaginal (mitsali) ruh hadir dalam materi lembut, seperti dalam kehadiran ruh badan-imaginal (mitsali) di alam barzakh.
Perlu diungkapkan bahwa dalam tradisi sebagian disiplin ilmu dan begitu juga dalam ungkapan-ungkapan yang aplikatif, secara lahiriah ruh digunakan untuk menunjuk bentuk [badan] mitsali ini, karena bentuk [badan] ini mengandung ruh yang telah berpisah dari badan-jasmani dan secara luas bisa menampakkan pengaruh-pengaruh ruh. Badan-mitsali ini dapat dilihat dan diindera di alamnya sendiri [alam mitsali atau barzakhi].
Namun hal ini tidak dapat diperbandingkan dengan ruh yang disandarkan secara langsung kepada Tuhan dan merupakan sejenis perkara Ilahi, karena keberadaan ruh di alam eksistensi [alam akal, mitsal, materi] lebih tinggi dari perkara-perkara tersebut dan tergolong sebagai rahasia-rahasia Ilahi.
- Pendahuluan
Di kalangan para teolog dan filosof Islam, terdapat beragam pendapat mengenai hakikat ruh, begitu pula, masalah ini terungkap secara global dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis.
Namun secara umum, pengetahuan tentang ruh dalam koridor makna-makna Quraninya (yang banyak mengisyaratkan tentang suatu hakikat yang lebih tinggi dari malaikat) tidak terjangkau oleh semua disiplin ilmu empirik dan pikiran-pikiran para intelektual, tapi dapat dicapai oleh suatu pengetahuan yang bersifat syuhudi dan irfani. Sebagaimana mereka mengatakan bahwa makrifat tentang jiwa yang tidak lain adalah makrifat tentang Tuhan adalah mengenal hakikat ruh.[1]
- Apa yang dimaksud dengan ruh?
Terdapat beberapa kemungkinan tentang ruh yang disebutkan pada ayat di atas, ruh hewani, ruh insani (jiwa-berpikir), ruh al-Qudus atau Jibril, dan ruh yang bermakna suatu makhluk yang lebih tinggi dari malaikat.
Namun yang pasti, yang dimaksudkan oleh ayat tersebut bukanlah ruh hewani yang merupakan subyek kajian ilmu Kedokteran, karena pengenalan terhadap hakikat ruh ini berada dalam jangkauan berbagai disiplin ilmu dan dalam berbagai ilmu Kedokteran klasik dan psikologi modern, terdapat beragam pemikiran yang tergagaskan tentang hakikat ruh ini.
Begitu pula, tidak bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ruh tersebut adalah Jibril, karena kata ruh selain yang dimaksudkan oleh ayat ini, telah dinyatakan berulang-ulang dalam banyak ayat al-Quran. Dan dengan alasan karena disebutkan bersama dengan malaikat dan yang terpilih dari mereka (al-malaikatuh wa ar-ruh, malaikat dan ruh), maka sudah pasti bahwa ruh bukanlah malaikat, di samping itu sebagian hadis-hadis menegaskan tentang perbedaan dua realitas ini. Mengenai hakikat ruh yang terdapat pada ayat, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh...”, Allamah Thabathabai mengatakan bahwa secara lahiriah, ruh adalah suatu ciptaan yang lebih luas [dan lebih tinggi] dari Jibril dan selain Jibril.
Di bawah ini akan disebutkan sebagian hadis-hadis yang menunjuk bahwa ruh bukan malaikat dan bukan Jibril:
- Seorang datang menghampiri Imam Ali As dan bertanya, “Apakah ruh adalah Jibril itu sendiri?” beliau bersabda, “Jibril adalah dari malaikat dan ruh bukanlah Jibril.”[7]
- Abu Bashir bertanya kepada Imam Shadiq As tentang firman Tuhan, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku,” Imam Shadiq As bersabda, “Ruh adalah suatu ciptaan yang lebih agung [lebih luas, lebih besar, dan lebih tinggi] dari Jibril dan Mikail As. Ruh ini bersama Rasulullah Saw dan para Imam Ahlulbait dan berasal dari alam malakut.”[8]
Menurut Allamah Thabathabai dalam Tafsir al-Mizân, ayat ini menunjukkan bahwa ruh merupakan salah satu dari urusan Allah yang dinisbatkan pada zat-Nya, dan karena yang termasuk dalam “urusan Ilahi” adalah kalimat “kun” (jadilah), yang tak lain adalah kalimat pewujudan dan mengisyarahkan pada perbuatan khusus bagi Zat Ilahi, oleh karena itu, ruh juga termasuk dalam urusan Ilahi dalam skala masa dan tempat, dan dan sama sekali tidak bisa diperhitungkan dengan kriteria-kriteria materi lain yang manapun.[11]
Dalam al-Quran, ruh ini didefinisikan dengan berbagai intepretasi, salah satunya disebutkan secara sendiri dan secara mutlak, seperti ayat di atas. Demikian juga kadangkala disebutkan bersama malaikat, dan terkadang dikatakan sebagai sebuah hakikat yang akan ditiupkan pada manusia secara umum, suatu waktu juga merupakan sebuah hakikat yang menyertai orang-orang beriman, dan kali lain sebagai sebuah hakikat dimana para nabi berinteraksi dengannya.
Sedangkan yang dimaksud dalam kalimat “wa mâ ûtîtum minal ‘ilmi illâ qalîlâ” adalah bahwa apa yang dimanfaatkan oleh ulama dari aspek lahirian masalah ini, hanyalah sedikit dari yang banyak, dan hakikat ruh merupakan sebuah persoalan yang lebih luas, dan memahaminya tidak akan mungkin diterima kecuali melalui ilmu perolehan (ilm hushuli).
Demikian juga, sebagian dari pengaruh dan manifestasi ruh (bukan zat ruh itu sendiri) bisa tertampakkan dalam bentuk materi lembut, seperti badan mitsali yang merupakan bentuk ruh di alam barzah dan memiliki karakteristik-karakteristik yang mirip dengan jasmani duniawi dalam sebuah derajat yang lebih tinggi dari lathafat dan nuraniyat.
Perlu disebutkan bahwa dalam tradisi sebagian disiplin ilmu, demikian juga dalam sebagian perubahan yang aplikatif, menunjuk pada bentuk [badan] mitsali ini, karena bentuk [badan] ini mengandung ruh yang telah berpisah dari badan-jasmani dan secara luas bisa menampakkan pengaruh-pengaruh ruh. Badan-mitsali ini dapat dilihat dan diindera di alamnya sendiri [alam mitsali atau barzakhi]. Namun hal ini tidak bisa diperbandingkan dengan ruh yang disandarkan secara langsung kepada Tuhan dan merupakan sejenis perkara Ilahi, karena keberadaan ruh di alam eksistensi [alam akal, mitsal, materi] lebih tinggi dari perkara-perkara tersebut dan tergolong sebagai rahasia-rahasia Ilahi. [iQuest]
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.