Sebelum Alkitab diwahyukan atau sebelum Firman Allah itu diberitakan, manusia oleh akal budinya sebenarnya menyadari adanya Allah. Manusia menyadari adanya Allah karena ia adalah mahluk satu-satunya di bumi ini yang memiliki roh didalam dirinya. Kesadaran akan adanya Allah itu belum dalam bentuk baku, teratur dan sistematis. Juga pembuktian akan adanya Allah itu pada mulanya bersifat tidak langsung dari wahyu umum.
1. Adanya Allah menurut manusia itu pertama-tama disimpulkan dari wahyu umum.
Alam semesta ciptaan Allah itu sebenarnya amat luar biasa. Tanpa terasa oleh manusia, alam semesta itu ternyata bergerak dan digerakkan oleh suatu kekuatan yang teratur, harmonis dan akurat, yang membentuk hukum alam yang maha luas. Sampai sekarangpun manusia masih mengira-ngira luas dan besarnya jangkauan hukum tersebut. Alam semesta inilah yang sebenarnya merupakan pernyataan Allah secara umum tentang adanya Dia; sehingga dikenal dalam dunia theologia dengan istilah wahyu umum, “General Revelation”, Roma 1:19-20; Mazmur 19:2. Manusia sejak zaman purbakala sudah mengenal serta mengalami bagian kecil dari kekuatan hukum alam itu. Hujan, panas matahari, angin, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan lain-lain, merupakan gejala alam dalam percikan kekuatannya yang tak dapat ditandingi oleh manusia itu sendiri. Dari sinilah awal mula manusia mulai menyadari adanya informasi dari luar dirinya tentang adanya Allah, walaupun masih sederhana dan bersifat umum sekali.
1.1 Manusia dari dirinya sendiri tidak mampu mengenal Allah yang benar.
Walaupun dalam rohnya, manusia menyadari adanya Allah, tetapi tanpa pertolongan informasi dari luar dirinya sendiri, ia tidak akan mampu memahami secara akali tentang Allah yang benar itu, 1 Yohanes 5:20. Hal itu disebabkan karena :
a. Dosa manusia itu yang memisahkannya dari Allah.
Oleh dosa, semua manusia sudah kurang kemuliaan dari Allah, Roma 3:23. Terjadi ketidak seimbangan dalam roh, jiwa dan tubuh manusia. Itulah sebabnya manusia duniawi (manusia yang belum dijamah oleh pekerjaan Firman dan Roh Kudus), tidak dapat mengenal Allah yang benar karena tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, 1 Korintus 2:14.
b. Adanya perbedaan substansial manusia dan Allah, Yesaya 55:9.
Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, perbedaan substansial itu ternganga menjadi jurang yang tak terseberangi. Perbedaan-perbedaan itu antara lain:
Manusia: Allah:
Kelihatan Tidak kelihatan
Fana Kekal
Terbatas Tidak terbatas
Kelihatan Tidak kelihatan
Fana Kekal
Terbatas Tidak terbatas
Dengan perbedaan yang hakiki ini, tanpa bantuan informasi dari luar dirinya, manusia itu sendiri tidak akan sanggup memahami Allah yang benar itu.
c. Setan berusaha mengikis habis informasi yang benar tentang Allah.
Setan tahu bahwa waktu penghukuman baginya sudah dekat. Wahyu 12:12. Yesus sendiri memberi perumpamaan bagaimana giatnya setan berusaha mengikis habis benih yang benar tentang Allah, Matius 13:19cf.
d. Pengalaman manusia itu sendiri.
Alkitab mencatat, bahwa Kain itu bukanlah orang yang tidak mengenal Allah. Kejadian 4:3. Tetapi oleh kekerasan hatinya ia memilih jalannya sendiri dan makin jauh dari Allah, Kejadian 4:16; Yudas 1:11. Keturunannya menjadi orang-orang yang tak mengenal Allah. Keturunan Nuh pun mempunyai pengalaman yang serupa. Hal itu terjadi berulang-ulang dalam sejarah. Memang kedagingan manusia, mencondongkan manusia kepada dosa, Kejadian 6:5; Roma 7:22-23cf, yang makin menjauhkan manusia dari pengenalan akan Allah.
1.2. Pertama-tama Allah menyatakan keberadaanNya kepada manusia lewat wahyu umum.
Sudah jelas bahwa bumi adalah sebagian kecil dari alam semesta ciptaan Allah. Sedangkan bumi dengan segala isi ciptaan itu diadakan bagi tempat kediaman manusia, Kejadian 2:4-7; Mazmur 115:16; Yesaya 45:18. Tujuan semuanya ini supaya manusia mengenal Allah, memuliakanNya, dan bersyukur kepadaNya, Roma 1:21. Sebenarnya hal utama yang dapat dipelajari manusia dari alam semesta ini adalah kekuatan, kebesaran, kekekalan dan harmoninya hukum alam. Semua kebijaksanaan itu secara tidak langsung kelak membawa manusia kepada perancang bahkan sumber dari segala sesuatu: “Sang Pencipta”.
1.3. Akibat negatif bila wahyu umum tidak dilengkapi dengan wahyu khusus.
Sejarah mencatat bahwa dari merenungkan kekuatan, kebesaran, kekekalan dan harmoninya hukum alam, para orang bijak zaman purba mencari Allah didalamnya. Dari hasil pemikiran jenius mereka, dirumuskanlah kesimpulan-kesimpulan tentang Allah. Inilah cikal-bakal agama-agama dunia; agama-agama alam; natural religion. Allah bagi mereka digambarkan sesuai dengan jalan pikiran mereka, sehingga muncullah berbagai ragam allah-allah.
Wahyu khusus – special revelation, adalah Alkitab yang diilhamkan Allah. Dalam Alkitablah Allah yang benar itu dinyatakan. Bila wahyu umum tidak dilengkapi oleh wahyu khusus, maka akibat negatifnya yakni manusia tidak dapat menemukan Allah yang benar. Hal itu terbukti dari begitu banyaknya agama atau aliran kepercayaan manusia di dunia ini.
2. Adanya Allah itu tidak mampu disangkal oleh manusia. Mazmur 19:1-5; Roma 1:19-20.
Walaupun manusia dari dirinya sendiri tidak mampu mengenal Allah yang benar, bahkan akhirnya banyak orang yang menyangkal keberadaan Allah, tetapi manusia hanya dapat berargumentasi dengan dirinya sendiri. Adanya Allah yang tercermin dalam wahyu umum itu tidak dapat disangkal oleh manusia. Berbagai kesaksian dari luar manusia memberi gambaran adanya Allah, Mazmur 19:1-5; Roma 1:19-20.
3. Adanya Allah dalam argumentasi.
Suatu kewajiban orang percaya untuk memberi jawaban kepada siapa saja tentang imannya, 1 Petrus 3:15. Kewajiban kita untuk berapologia dengan memberi argumentasi bahwa Allah ada:
3.1 Argumentasi Kosmologis.
Kata ‘kosmos’ itu berarti ‘dunia’; dan dapat juga berarti ‘alam semesta – universe’. Argumentasi kosmologis itu menunjuk kepada alam semesta, kemudian berupaya membuktikannya dari hukum sebab akibat. Keberadaan dari akibat itu senantiasa menunjuk pada keberadaan dari sebabnya. Alam semesta itu ternyata bergerak dan digerakkan oleh suatu kekuatan yang teratur, harmonis dan akurat, yang membentuk suatu hukum alam yang maha luas dan dahsyat.
Bila alam semesta yang digambarkan tadi adalah akibatnya, menjadi pertanyaan: ‘Apa’ atau lebih tepat ‘siapakah’ penyebab dari semua ini? Manusia memang tidak dapat menjawab pertanyaan besar ini. Berbagai hypothesa telah diteorikan oleh para ahli astronomi dan ilmu pengetahuan alam, tetapi semuanya tidak memuaskan. Alamlah sendiri yang menjadi saksi bahwa penyebab awal – causa prima dari semua ini adalah Allah, Sang Pencipta itu, Kejadian 1:1; Mazmur 19:1-5; Roma 1:19-20; Ibrani 11:3.
3.2 Argumentasi Teleologis.
Argumentasi ini adalah pembuktian dari bentuk dan tujuan. Tidak sekedar bahwa alam semesta itu ada, tetapi alam semesta dan isinya itu mempunyai bentuk sempurna dan mempunyai fungsi tertentu, sesuai peran penciptaannya. Masing-masing ciptaan yang tak terhitung jumlah dan jenisnya dalam alam ini menunjuk pada maksud penciptaannya dan masing-masing mempunyai peran tertentu, bahkan kesemua ciptaan itu ada dalam harmoni satu dengan yang lain.
Alam semesta – Bima Sakti – Melky Way System diciptakan sedemikian rupa, sehingga tata surya kita merupakan satu dari sekian juta tata surya yang ada dalam sistem alam semesta ini. Kemudian bumi ini merupakan planet teristimewa dalam susunan tata surya kita. Sedangkan planet bumi ini diciptakan sedemikian rupa, dilindungi oleh sistem perlindungan sedemikian rupa, diisi oleh tak terbilang jenis ciptaan dalam kontrol hukum yang harmoni satu dengan lainnya; sehingga manusia dapat hidup di dalamnya.
Menjadi pertanyaan: Siapakah yang merancang segala sesuatu ini dengan sempurna? Apakah sebenarnya tujuan penciptaan segala sesuatu ini? Dapatkah manusia mengukur intelegensia dari sang perancang semua ini? Argumentasi dari bentuk dan tujuan adanya ‘suatu’ yang jauh melebihi inteligensia manusia, Yesaya 55:8-9, bahkan tanpa batas, yang lebih besar dari alam semesta, 2 Tawarikh 6:18.
3.3 Argumentasi Antropologis.
Kata’anthropos’ dalam bahasa Grika berarti ‘manusia’. Dari keberadaan manusia itu sendiri argumentasi ini bertitik tolak. Manusia adalah ‘master piece’ dari tindakan penciptaan Allah. Manusia yang diciptakan dalam gambar Allah menjadi mahkota kemuliaan dari segala ciptaan, Kejadian 1:1-28; Mazmur 94:9. Manusia jauh lebih berkuasa dari pada gabungan seluruh binatang ciptaan. Seekor monyet yang paling sempurna tidak dapat dibandingkan dengan manusia dalam keseluruhan keberadaannya. Teori evolusi sebenarnya adalah usaha untuk melepaskan manusia dari kelayakan dan pertanggung-jawaban kepenciptaan bagi dirinya. Manusia yang cerdas adalah salah satu argumen terbesar bagi adanya Allah yang cerdas pula. Bermilyard-milyard umat manusia, masing-masing berbeda dan unik, pun semua dasar kepenciptaan mereka, membuktikan adanya seorang pencipta.
3.4 Argumentasi Ontologis.
Ontologi adalah bagian dari isi filsafat yang mempelajari tentang keberadaan yang hakiki dari sesuatu. Ontologi datang dari kata Grika ‘ontos’ yang berarti ‘yang sedang berada’. Argumentasi ontologis dihubungkan dengan argumentasi anthropologis, yakni yang membicarakan keberadaan hakiki dari manusia itu.
Manusia bukan hanya sekedar ciptaan yang cerdas belaka, ia juga adalah mahluk yang secara intuitif percaya dan mengetahui akan adanya Allah. Intuisi berbicara tentang pemahaman atau pengetahuan dimana manusia memilikinya tanpa proses berpikir. Manusia mengetahui secara intuitif bahwa ada Allah. Ia dilahirkan dengan pengetahuan ini di dalam dirinya. Kadang-kadang hal ini disebut sebagai agama instink di dalam manusia, yang membuatnya ingin menyembah sesuatu atau seseorang. Manusia diciptakan untuk menjadi seorang penyembah untuk menyembah Allah. Manusia tidak akan ingin menyembah Allah bila Allah tidak menaruh di dalam manusia itu pengetahuan intuitif tentang keberadaanNya sendiri.
Argumentasi menjadi hakiki oleh fakta adanya suatu keyakinan universal pada ‘satu allah’ atau ‘allah-allah’ dalam setiap bangsa pada permukaan bumi ini. Apabila manusia tidak menerima atau mendapatkan Allah yang benar, ia membuat allah/dewa bagi dirinya sendiri untuk disembah, untuk memuaskan pengetahuan instinktifnya itu.
Percaya akan Allah bukan hanya sekedar hasil dari kondisi budaya. Secara ontologis, manusia tercipta dalam roh, jiwa dan tubuh. Dari aspek rohnya inilah muncul secara intuitif kesadaran dan pengetahuan akan adanya Allah, Kisah Para Rasul 17:23-24; Roma 1:18-32; Yohanes 1:3-7; Mazmur 115:1-8.
3.5 Argumentasi Moral.
Etika adalah pengetahuan yang mempelajari baik atau buruk perbuatan manusia dilihat dari sistim nilai tertentu. Moral adalah tindakan baik atau buruk manusia itu sendiri. Manusia adalah mahluk moral. Ia memiliki suatu perasaan hakiki tentang baik atau buruk, benar atau salah, sebaik perasaan tentang pertanggung-jawaban untuk mengikuti apa yang benar dan menolak apa yang salah. Alkitab menamainya ‘suara hati – conscience’ dan memandangnya sebagai pemberian Allah.
Apabila manusia melanggar suara hatinya, ia tunduk pada kejahatan dan suatu rasa takut akan penghukuman. Walaupun kata hati itu dapat dikondisikan atau dilatih dengan arahan-arahan berbeda, kata hati itu tetaplah suatu yang umum pada manusia secara inheren. Kata hati itu bersifat universal, dan menjadi saksi tentang keberadaan dari suatu pemberi hukum dan hakim tertinggi, yang menciptakan di dalam manusia rasa pertanggung-jawaban bagi kebenaran ini, Roma 2:14-15; 1 Timotius 4:2; Titus 1:15; Ibrani 9:14; Yohanes 8:9.
3.6 Argumentasi Biologis.
Kata Grika ‘bios’ berarti ‘hidup’. Kata ini merupakan suatu fakta ilmiah dimana hidup itu hanya dapat datang dari hidup yang sudah ada sebelumnya, tidak semata-mata dari benda. Hal itu mengusut semua kehidupan kembali kepada sumbernya. Akhirnya kita harus kembali kepada Allah sendiri. Harus ada sesuatu yang menjadi sumber utama kehidupan itu. Asal muasal dari semua kehidupan dan pemilik dari kehidupan asal dan kekal dari Dia sendiri. Sumber kehidupan itu ialah Allah, Mazmur 36:10; Yohanes 11:25; 14:6; 10:28; 1:1-5.
3.7 Argumentasi Historis.
Sejarah manusia menunjuk pada satu tangan yang tak kelihatan, yang membimbing, mengatur dan mengawasi nasib bangsa-bangsa. Sebagai contoh, Babylon jatuh pada suatu malam ketika para tentara lupa menutup pintu-pintu pada dinding yang melaluinya air sungai besar Efrat mengalir. Nabi-nabi Allah telah mengatakan ini sebelumnya, lebih seratus tahun sebelum hal ini terjadi, Yesaya 45:1-5; Daniel 5. Suatu penelitian seksama dari sejarah akan mengungkapkan beberapa ilustrasi dari fakta ada tangan Allah yang bergerak untuk menyelesaikan kehendakNya, Wahyu 17:17. Sejarah membuktikan adanya Allah yang mengawasi jalannya sejarah.
3.8 Argumentasi Kristologis.
Satu dari argumentasi-argumentasi terbesar adalah argumentasi Kristologis. Kristus yang historis adalah suatu fakta; dan adalah tidak mungkin untuk menggambarkan pribadi dari Yesus Kristus terpisah dari adanya Allah. KelahiranNya dari perawan, kehidupanNya yang tanpa dosa, mujizat-mujizat, pengajaran, kematian, penguburan, kebangkitan dan keangkatanNya ke Surga yang kesemuanya itu tak mungkin dijelaskan terpisah dari Allah. Yesus Kristus adalah wahyu terbesar dari adanya Allah. Semua keberadaanNya, semua perbuatanNya, dan semua yang Ia katakan, membuktikan adanya Allah, Yohanes 1:1-3, 14-18; 14:6-9; 1 Timotius 3:16; Ibrani 1:1-3; 1 Yohanes 1:1-3.
3.9 Argumentasi Bibliologis.
Alkitab adalah saksi untuk keberadaan Allah. Dalam penjelasan Doktrin Pewahyuan, Alkitab melampaui semua tulisan lain yang diwahyukan secara ilahi; tidaklah mungkin bagi kitab-kitab itu menjadi sekedar produksi kemanusiaan belaka. Semua kitab itu membuktikan keberadaan dari suatu kecerdasan yang lebih tinggi yang secara berdaulat membimbing para penulis dalam tugas mereka menulis kitab-kitab itu. Sebagai saksi yang tak mungkin keliru dari semua yang Alkitab ungkapkan tentang Allah, sifat dasarNya dan maksud-maksudNya harus diterima seakurat mungkin.
3.10 Argumentasi Keharmonisan.
Kata ‘harmoni’ sebenarnya berarti ‘sesuai, seimbang, serasi’. Kesembilan argumentasi yang ada sebelum ini semuanya ada dalam kesesuaian. Ada keseimbangan dan keserasian diantara semua itu. Tidak ada satupun argumentasi yang telah diungkapkan itu membawa suatu pemahaman yang bertentangan, tetapi semua argumentasi itu membentuk suatu keharmonisan secara keseluruhan. Inilah argumentasi dari keharmonisan itu. Fakta bahwa argumentasi Kosmologis, Theologis, Anthropologis, Ontologis, Moral, Biologis, Kristologis dan Bibliologis, semuanya tercampur bersama dalam keharmonisan.
Semuanya itu berbicara tentang adanya Allah dan bila tidak demikian maka semua fakta yang menghubungkannya satu dengan yang lain itu tidak dapat dijelaskan. Percaya kepada keberadaan dari pribadi Allah yang ada dengan sendirinya adalah dalam harmoni dengan semua fakta tentang sifat mental dan moral manusia; sebagaimana juga dengan sifat dari materi alam semesta. Manusia sungguh-sungguh tidak dapat menolak fakta tentang adanya Allah. Hanyalah suatu kedunguan yang disengaja bila orang mau menolak bukti kesimpulan yang ada ini.
4. Kebutuhan intrinsik manusia untuk mengenal Allah yang benar.
Menunjuk pada argumentasi anthropologis, ternyata secara umum, didalam hatinya manusia mempunyai suatu kebutuhan untuk mengenal Allah yang benar. Alkitab mencatat bahwa manusia terdiri dari roh, jiwa dan tubuh, Kejadian 2:7; 1 Tesalonika 5:23. Masing-masing bagian manusia itu mempunyai fungsinya sendiri-sendiri, tetapi substansi manusia ada pada rohnya, Yohanes 6:63; Yakobus 2:26. Dengan tubuhnya, manusia bereksistensi di dunia ini, menjadi mahluk alamiah, Kejadian 2:7; 1 Korintus 25:44-50; dan mahluk biologis, Kejadian 1:27-28. Jadi, dengan tubuhnya manusia ada kontak dengan alam lingkungannya. Dengan jiwanya, manusia menyadari kemanusiaan dan pribadinya, sehingga dengan demikian ia dapat berkomunikasi dan bersosialisasi dengan mahluk-mahluk lain dalam dunia. Dengan rohnya, manusia menyadari dimensi rohaninya; dan dengan rohnya manusia dapat berkomunikasi dengan dunia roh.
Dengan roh yang menjadi substansi manusia, ternyata manusia itu secara intrinsik butuh pengenalan akan Allah. Sejarah perkembangan budaya membuktikan bahwa semua bangsa di dunia ini mempunyai latar belakang keyakinan terhadap dunia rohani. Tetapi oleh karena dosa, manusia tidak dapat menemukan Allah yang benar; itulah sebabnya manusia menciptakan berhala bagi dirinya sendiri, Roma 1:21-23; Ulangan 4:16-18. Bila manusia tidak puas dengan berhala dan ia merasa mampu atau kuat, ia menjadikan dirinya sendiri berhala. Atheisme modern pada dasarnya adalah upaya manusia menolak keberadaan Allah yang benar dan menjadikan dirinya sendiri allah dalam pikirannya sendiri. Pengkultus-individuan seseorang itu sebenarnya menjadikan seseorang itu idola; apakah ia seorang politikus, artis, musisi dan lain-lain. Orang-orang memuji-muji sang idola itu secara berlebih-lebihan. Alkitab mencatat, berhala itu ditulis dengan kata ‘idol’.
Secara tegas Alkitab memperingati orang-orang percaya: “Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala – idol”. Hal itu ditegaskan oleh Alkitab karena kecenderungan manusia, oleh kebutuhan intrinsiknya untuk mengenal Allah yang benar. Bila karena dosa lalu manusia itu tidak dapat menemukan Allah yang benar, ia akan mencari objek lain untuk disembah.
Post a Comment