Menu

Gus Mendem Gus Mendem Author
Title: Memahami Makna Kata "ALLAH"
Author: Gus Mendem
Rating 5 of 5 Des:
Menurut penganut Kristen Radikal, informasi dari tulisan Robert Morrey tentang makna Allah dianggap sangat bermanfaat untuk menyerang “ketuh...

Menurut penganut Kristen Radikal, informasi dari tulisan Robert Morrey tentang makna Allah dianggap sangat bermanfaat untuk menyerang “ketuhanan Islam”. Mereka merasa seolah-olah seperti mendapatkan sejumlah perbekalan amunisi.

Akan tetapi mereka yang sedemikian bersemangat melemparkan berbagai tuduhan dan fitnah terhadap Islam itu lupa bahwa pada kenyataannya, di dalam alkitab mereka sendiri banyak sekali digunakan kata "Allah” sebagai personifikasi Tuhan. Karena itu, sebagian umat Kristen yang meyakini bahwa nama Allah adalah nama dewa bulan, dan menyadari bahwa alkitabnya sendiri menggunakan kata Allah sebagai sesembahan mereka pun sibuk melakukan berbagai upaya "pembohongan publik" guna menafikan nama sesembahan mereka yang tertulis sangat jelas dalam alkitab itu dengan berdalih bahwa yang sesungguhnya dimaksud di sana adalah YHWH, bukan Allah.

Untuk memahami issue menarik ini, mari kita perhatikan penjelasan tentang nama Allah dari berbagai perspektif intelek, baik dari cendikiawan Kristen maupun cendikiawan Islam.

PANDANGAN KRISTEN
Banyak pertanyaan diajukan mengenai "Apakah Allah Islam sama dengan Allah Kristen?" dan argumentasi yang banyak dikemukakan adalah bahwa "Allah Islam tidak sama dengan Allah Kristen." Alasannya "Karena ajaran keduanya berbeda!’" 

Pandangan ini tercermin dalam buku Dr. Robert Morey yang beredar bahkan belakangan ini banyak dianut oleh kalangan tertentu di Indonesia.

“Islam claims that Allah is the same God who was revealed in the Bible. This logically implies in the positive sense that the concept of God set forth in the Quran will correspond in all points to the concept of God found in the Bible. This also implies in the negative sense that if the Bible and the Quran have differing views of God, then Islam’s claim is false.” [Islamic Invasion, Harvest House Publishers, 1992, h.57].

Definisi Morley ini memiliki kelemahan error dasar berfikir yang menganggap masalah-masalah teologi (yang berbasis ilmu sosial) bersifat eksakta, serta mencampur adukkan masalah  ‘identitas’ dan ‘opini’ (meta basis) ke dalamnya. Dari dasar berfikir atau asumsinya ini, kemudian dia menyimpulkan:

(1) Bila Allah Islam adalah Tuhan Kristen, maka secara positif konsep keduanya mengenai Tuhan harusnya sama dalam setiap butirnya, sebaliknya secara negatif disebut bahwa 
(2) Bila Al-Quran dan Alkitab memiliki pandangan berbeda mengenai Tuhan, maka klaim Islam adalah salah.

Pandangan yang terlalu sederhana ini mudah saja digugurkan dengan mengambil contoh soal, sebut saja misalnya, ‘Pak Harto’, mantan presiden Orba. 

Menurut definisi Morley, bila Pak Harto yang dikenal oleh para pengikut Orba  sama dengan Presiden Suharto yang didemo oleh mahasiswa pada masa pra-reformasi tempo hari, maka konsep keduanya mengenai Pak Harto akan sama dalam setiap butirnya. Faktanya, sekalipun sosok Suhartonya sama, tapi konsep tentang keduanya berbeda. Bagi para pendukung Orba, Suharto adalah bapak pembangunan yang membawa kesejahteraan dan mendatangkan kesatuan dan keamanan regional. Padahal oleh para mahasiswa, Suharto yang sama itu dianggap sebagai bapak pembangkrutan penyebab kemiskinan akibat KKN dan tiran yang menyebabkan bangsa Indonesia mengalami disintegrasi bangsa.

Mengapa berbeda? 
Dan jika berbeda, apakah berrarti klaim mahasiswa mengenai Suharto salah? 

Di sini kita berhubungan dengan dua situasi yang tidak bisa dicampur-adukkan antara satu dengan yang lainnya, yaitu bahwa Suharto sebagai pribadi (oknum) dengan namanya, dan konsep orang (ajaran atau aqidah) dari oknum yang sama itu.

Situasi yang sama terjadi dalam hubungannya dengan pertanyaan mengenai 'apakah Allah Islam sama dengan Tuhan Kristen?’ tadi. Jawaban yang benar perlu kita cari dari Kitab Suci Islam (Al-Quran) dan kitab Kristen (Al-Kitab), juga dari sejarah bangsa dan bahasa Semit yang melatarbelakangi kedua kitab ini.

EL SEMIT
Bila kita membandingkan agama Yahudi (Kitab Perjanjian Lama), Kristen (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), dan Islam (Al-Quran), kita dapat menemukan ada butir-butir yang sama, namun banyak pula butir-butir lainnya yang tidak sama. Artinya, tidak semua sama, atau semua tidak sama.

Dalam Kitab Perjanjian Lama, kita dapat mengetahui bahwa nama Tuhan ‘El/Elohim’ adalah pencipta langit dan bumi, manusia dan segala isinya. Dan ia juga Tuhan yang menyatakan dirinya kepada Adam, Nuh, Abraham, Ishak, dan Yakub. 

Penganut Yahudi, Kristen dan Islam sama-sama mempercayai itu semua, namun mereka berbeda dalam kepercayaan akan wahyu mana yang dari El yang sama itu yang dipercayai. Agama Yahudi mempercayai wahyu yang dibukukan menjadi Alkitab Perjanjian Lama, namun sekalipun agama Kristen menerima hal ini, agama Kristen juga mengakui penggenapan dalam Tuhan Yesus Kristus yang wahyunya dibukukan dalam Perjanjian Baru padahal Yahudi menolak.

“Katakanlah: Kami telah beriman kepada Allah dan (kitab) yang diturunkan kepada kami dan apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Y’qub dan anak-anaknya, (begitu juga kepada kitab) yang diturunkan kepada Musa dan ‘Isa, dan apa-apa yang diturunkan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka, tiadalah kami perbedakan seorang juga di antara mereka itu dan kami patuh kepada Allah” (Al-Quran, Al-Baqarah: 136, Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim).

Agama Islam, sekalipun menerima kitab yang diterima Ibrahim, Ishak, Yakub dan Isa, namun lebih menerima kitab wahyu yang diterima Muhammad dari jalur Ismael, dan menerima kitab-kitab Ibrahim, Ishak, Yakub dan Isa sejauh diterima oleh Muhammad yang dipercayai sebagai nabi, dan sekalipun menerima kitab-kitab Yahudi dan Kristen, namun karena dianggap telah dipalsukan, maka kepercayaan kepada berita Al-Kitab terbatas hanya bila hal itu dikuatkan dalam Al-Quran.

Jadi, dari terang Alkitab (PL+PB) dan Al-Quran jelas terlihat bahwa sebagai oknum dengan namanya, Allah Islam adalah Tuhan Yahudi dan Kristen. Namun karena wahyu yang dipercayai berbeda, dengan sendirinya banyak pengajaran (aqidah)nya yang berbeda.

Agama Yahudi, kepercayaannya hanya bergantung kepada Perjanjian Lama, akibatnya mereka memandang Tuhan ‘El’ (yang sejak Musa diberi nama juga sebagai ‘Yahweh’ (Kel.6:1-2)) sebagai Tuhan monotheisme yang transenden dengan hukum Taurat sebagai pedoman, namun agama Kristen berbeda dan menerima kenyataan bahwa El Abraham itu juga telah menyatakan diri dalam oknum Yesus dalam ke-Tritunggalannya, dan hukum kasih/Injil menjadi pedomannya.

Islam mengikuti jalur Abraham mempercayai Tuhan ‘El’ itu yang dalam dialek Arab disebut ‘Allah’ (dari al-ilah). Dalam bahasa Ibrani kata sandang ‘the’ (‘al’ dalam dialek Arab dan ‘ha’ dalam dialek Aram-Siria namun diletakkan di belakang menjadi ‘alaha’) tidak digunakan bila menyebut Tuhan.

Dari sejarah kita mengetahui bahwa sejak awalnya ‘El’ bisa memiliki arti umum sebagai sebutan untuk ‘Tuhan/Ketuhanan’ dan ‘Elohim’ sering digunakan dalam arti kata jamak (politheistik) dan dipakai oleh suku-suku keturunan Sem (menjadi rumpun Semit) dan karena perkembangan zaman sering merosot sehingga dimengerti dalam berbagai-bagai ajaran aqidah, namun ‘El/Il’ juga digunakan untuk menyebut ‘nama diri’ Tuhan.

"Ilu, El" sebagai sebutan untuk ketuhanan.
Istilah ‘il mempunyai arti sebutan umum (generic appelative) untuk menunjuk pada ‘tuhan’ atau ‘ketuhanan’ pada tahap awal semua cabang utama rumpun bahasa Semit. Ini terlihat jelas di Semit Timur, Akadian kuno (ilu) dan dialek-dialek sesaudara dimulai zaman pra-Sargon (sebelum 2360 BC) dan berlanjut sampai akhir masa Babil. Penggunaan sebagai sebutan juga muncul di Semit Barat Laut, di Amrit (‘ilu, ‘ilum, ‘ila), di Ugarit, di Ibrani, dan umum di dialek-dialek Arab Selatan kuno, di Arab Utara digantikan dengan nama ‘ilah. ‘Ilu, El juga digunakan sebagai Nama Diri (proper name). … Di Semit Timur ada bukti kuno yang menunjukkan bahwa ‘Il’ adalah nama diri tuhan … tuhan Il (kemudian El Semit) adalah kepala ketuhanan pada rumpun Semit Mesopotamia pada masa Pra-Sargon.” (G. Johanes Botterwech, Theological Dictionary of the Old Testament, Vol.I, 242-244).

Dari sejarah ini kita dapat melihat bahwa ‘Allah’ di kalangan bangsa dan bahasa Arab tidak lain menunjuk pada ‘El’ Semit’ yang sama, ini dijelaskan dalam buku-buku teologi Kristen maupun Ensiklopedia Islam bahwa setidaknya bangsa Arab mewarisi tiga jalur nenek moyang yang semuanya mengenal ‘El Abraham’ yaitu sebagai keturunan Sem, Yoktan (keturunan Eber), dan Adnan (keturunan Ismael anak Abraham).

Bahwa ajaran/konsep mengenai ‘Allah’ (El) itu kemudian merosot dan makin tidak mendekati hakekat yang di’nama’kan dan ditujukan kepada pribadi lain seperti yang terjadi pada jalur Ishak (Kel.32, Anak Lembu Emas disebut ‘Elohim’ dan ‘Yahweh’) maupun jalur Ismael (masa jahiliah, dewa berhala disebut ‘Allah’), tentu tidak mengurangi hakekat nama itu sendiri sebagai menunjuk kepada ‘El’ semitik dan monotheisme Abraham. Namun, sekalipun diyakini bahwa ‘Allah’ Yahudi, Kristen dan Islam sama, tentu tidak disimpulkan bahwa Tuhan Semua Agama sama. Dalam pengertian ‘Universalisme’ (pluralisme agama) disebutkan bahwa semua agama itu menyembah Tuhan yang sama (universal) namun melalui jalan-jalan yang berbeda (partikular).

Kita harus menyadari bahwa setidaknya ada 4 golongan agama, yaitu (1) ‘Theisme’ – Tuhan yang berpribadi (Yahudi, Kristen, Islam), (2) ‘Monisme’ – Tuhan kekuatan semesta (Hindu-Upanishad, Tao dan Kebatinan), (3) Non-Theis – Tuhan yang ‘non-exist’ (Buddhisme), dan (4) Demonisme – Tuhan Okultis (satanisme). Bisa juga dimasukkan ‘politheisme’ (Hindu-Veda) sebagai golongan ke-5.

Sudah jelas ke-empat (atau ke-lima) bentuk Tuhan itu tidak sama, namun harus diakui bahwa Tuhan ‘Theisme’ (Yahudi, Kristen, Islam) adalah Tuhan Semitik agama samawi yang berpribadi, berfirman dan menurunkan wahyu kepada umatnya, jadi sekalipun kita menyebut Tuhan Theisme Yahudi, Kristen dan Islam menunjuk pada oknum yang sama namun sekalipun ada yang sama juga ada yang berbeda ajaran/aqidahnya, sedang Tuhan Theisme, Monisme, Non-Theisme, dan Demonisme jelas berbeda baik sebagai nama oknum maupun ajaran/aqidahnya.

Tetapi bagaimana dengan definisi yang dicantumkan dalam kamus-kamus dalam bahasa Inggeris? Disana disebutkan bahwa “Allah … Muslim’s name for God” (a.l. Oxford Dictionary & Grollier Ensyclopedia). Kita dapat membandingkan hal ini dengan definisi yang disebutkan dalam Enyclopaedia Britannica, yang sekalipun mengakui ke-khasan nama Allah dalam penggunaannya di kalangan agama Islam sebagai salah satu artinya, dalam arti yang lain jelas memberikan pengertian yang lebih ilmiah dan lebih mengandung kebenaran:

“Allah (Arabic:”God”), the one and only God in the religion of Islam. Etymologically, the name Allah is probably a contraction of the Arabic al-Ilah, “the God.” The name’s origin can be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for god was Il or El, the latter being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the standard Arabic word for “God” and is used by Arab Christians as well as by Muslims.”

Definisi yang benar ini juga disebutkan dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia dimana disebutkan bahwa: “ALLAH adalah Tuhan, pencipta alam raya termasuk segala isinya”. (Vol.I, h.270).

Memang dalam literatur Barat termasuk dalam beberapa kamus, ada sentimen kuat anti Arab/Islam sehingga sering timbul ungkapan-ungkapan memojokkan yang tidak ilmiah seperti ucapan Morley di atas yang memberi stigmata seakan-akan nama ‘Allah’ itu nama dewa/i masa jahiliah Arab seperti Dewa Pengairan atau Dewa Bulan, namun banyak pula literatur Barat yang lebih bersifat netral dan ilmiah seperti Ensyclopaedia Britannica dan umumnya kamus-kamus teologia yang menyebut bahwa nama ‘Allah’ adalah nama dalam dialek/bahasa Arab untuk menunjuk pada ‘El’ Semitik, dan juga digunakan oleh orang Arab pra-Islam (terutama kaum Hanif yang tetap mempertahankan Allah monotheisme Abraham) maupun bangsa Arab yang menganut agama Yahudi dan Kristen:

“Karena Islam memperbaiki agama yang dibawa Ibrahim, yakni agama fitrah, maka jahiliyah dipandang sebagai sebuah zaman sebelum kedatangan Islam, ibarat kegelapan sebelum terbit fajar. Pada zaman ini ajaran monotheisme Ibrahim telah musnah berganti dengan sitem paganisme, dan diwarnai dekadensi moral. Sejumlah berhala sesembahan didatangkan ke Makkah dari berbagai negeri di Timur Tengah. Namun tidak semua warga Arab pada saat itu menganut sistem keyakinan pagan, melainkan terdapat beberapa suku Arab memeluk agama Kristen dan Yahudi. Bahkan terdapat sejumlah pribadi yang menekuni dunia spiritual, mereka itu dinamakan ‘hunafa’ (tgl. hanif) yang mana mereka tidak memihak kepada satu di antara kedua agama tersebut, melainkan mereka bertahan pada ajaran monotheisme Ibrahim”. (Cyrill Glasse, Ensiklopedia Islam, h.190, dibawah kata al-Jahiliah).

Kenyataan ini juga diperkuat dengan ditemukannya peninggalan arkeologis beberapa abad sebelum masa Islam abad-VII (yang secara keliru disebut dalam buku Morley bahwa Alkitab dalam bahasa Arab baru ada pada abad-IX dan menggunakan nama Allah karena dipaksa orang Islam dan bandingkan dengan buku-buku yang bertema ‘Asal bukan Allah’ yang menganggap orang Islam tidak menyukai orang Kristen menggunakan nama ‘Allah’). Suatu pengingkaran sejarah yang dihasilkan semangat Arab/Islam fobia, sebab jauh sebelum ada agama Islam nama Allah sudah digunakan bersama-sama oleh umat Yahudi Arab, Kristen Arab dan bangsa Arab pra-Islam.

Namun, kalau ‘El’ (Ibrani) sama dengan ‘Alaha’ (Aram-Siria) dan ‘Allah’ (Arab), mengapa tidak memilih saja ‘El/Elohim’ yang merupakan bahasa aslinya?

Tuhan dalam menyebarkan firmannya menggunakan kendaraan bahasa-bahasa. Pada zaman Ezra, Alkitab Ibrani sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Aram, dan sejak itu sampai abad ke-XIX bahasa Ibrani hanya digunakan dalam penulisan/penyalinan Kitab Suci saja. Ketika bahasa Yunani menguasai kawasan sekitar Laut Tengah, atas perintah imam besar di Yerusalem, Eliezer, Alkitab PL diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani (Septuaginta/LXX), inilah yang digunakan Yesus, para Rasul, umat Kristen dan dipakai juga di sinagoga-sinagoga. Demikian juga di hari Pentakosta, Roh Kudus sendiri mengilhami para Rasul untuk mengkotbahkan firman (termasuk nama El/Theos) ke bahasa-bahasa pendengar, dalam arti kata penerjemahan nama Tuhan ke dalam bahasa-bahasa lokal didorong oleh Roh Tuhan/Kudus sendiri.

Berbeda dengan ‘El’ yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai ‘Theos’ dan bahasa Barat sebagai ‘God, Gott, Dieu’, maka nama ‘Allah’ (Arab) sebenarnya bukan terjemahan melainkan perkembangan dialek dalam rumpun Semit sendiri untuk menyebut El (di samping a.l. Alaha dalam bahasa Aram-Siria).

Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-XIII, Kristen Katolik baru masuk abad ke-XVI dan Protestan pada abad ke-XVII, ini berarti sudah tiga abad lebih dimana agama Islam dan bahasa Arab sudah merakyat di Indonesia, dan kemudian nama ‘Allah’ masuk menjadi kosa-kata bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam bahasa Indonesia, ada banyak kosa-kata yang berasal dari bahasa asing, yaitu bahasa Arab (1.495, termasuk kata ‘Allah’), Inggeris (1.610), dan Belanda (3.280), maka adalah tepat bila kata yang sekarang menjadi kosa-kata Indonesia itu dipakai untuk menyebut El/Elohim Perjanjian Lama dan Theos Perjanjian Baru dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia, karena kata itu bukan saja dekat tetapi termasuk keluarga serumpun Semit dengan bahasa Ibrani.

Salam kasih dari Herlianto/YBA.



Dari Author

Post a Comment

 
Top