PENDAHULUAN
Setelah panitia penulisan mushaf al-Qur’an yang ditunjuk dan diawasi langsung oleh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a. selesai menunaikan tugasnya, beliau kemudian melakukan beberapa langkah penting sebelum kemudian mendistribusikan mushaf-mushaf itu ke beberapa wilayah Islam. Langkah-langkah penting itu adalah:
- Membacakan naskah final tersebut di hadapan para sahabat. Ini dimaksudkan sebagai langkah verifikasi, terutama dengan suhuf yang dipegang oleh Hafshah binti ‘Umar r.a.
- Membakar seluruh manuskrip al-Qur’an lain. Sebab dengan selesainya mushaf resmi tersebut, keberadaan pecahan-pecahan tulisan al-Qur’an dianggap tidak diperlukan lagi. Dan itu sama sekali tidak mengundang keberatan para sahabat. Ali bin Abi Thalib r.a. menggambarkan peristiwa itu dengan mengatakan;
“Demi Allah, dia (Utsman) tidak melakukan apa yang ia lakukan terhadap mushaf-mushaf itu kecuali (ia melakukannya) di hadapan kami semua.”
Setelah melakukan dua langkah tersebut, ‘Utsman bin ‘Affan r.a kemudian mulai melakukan pengiriman mushaf al-Qur’an ke beberapa wilayah Islam. Para ulama Islam sendiri berbeda pendapat tentang jumlah eksemplar mushaf yang ditulis dan disebarkan pada waktu itu. Al-Zarkasyi misalnya menggambarkan ragam pendapat itu dengan mengatakan,
“Abu ‘Amr al-Dany menyatakan dalam kitab al-Muqni’: mayoritas ulama berpandangan bahwa ketika ‘Utsman menuliskan mushaf-mushaf itu ia membuatnya dalam 4 (eksemplar), lalu mengirimkan satu eksemplar ke setiap wilayah: Kufah, Bashrah dan Syam, lalu menyisakan satu eksemplar di sisinya. Ada pula yang mengatakan bahwa beliau menuliskan sebanyak 7 eksemplar. (Selain yang telah disebutkan –pen) ia menambahkan untuk Mekkah, Yaman, dan Bahrain. (Al-Dany) mengatakan: ‘Pendapat pertamalah yang paling tepat, dan itu dipegangi para imam.’”
Sementara al-Suyuthi menyebutkan pendapat lain –disamping pendapat di atas- yang menurutnya masyhur, bahwa jumlah mushaf itu ada 5 eksemplar.
Semua naskah itu ditulis di atas kertas, kecuali naskah yang dikhususkan ‘Utsman bin ‘Affan r.a untuk dirinya –yang kemudian dikenal juga dengan al-Mushaf al-Imam-. Sebagian ulama mengatakan ditulis di atas lembaran kulit rusa.
Mushaf-mushaf tersebut oleh para ahli al-Rasm kemudian diberi nama sesuai dengan kawasannya. Naskah yang diperuntukkan untuk Madinah dan Mekkah kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Hijazy, yang diperuntukkan untuk Kufah dan Bashrah disebut sebagai Mushaf ‘Iraqy, dan yang dikirim ke Syam dikenal dengan sebutan Mushaf Syamy.
Dalam proses pendistribusian ini, ada langkah penting lainnya yang juga tidak lupa dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Yaitu menyertakan seorang qari’ dari kalangan sahabat Nabi saw bersama dengan mushaf-mushaf tersebut. Tujuannya tentu saja untuk menuntun kaum muslimin agar dapat membaca mushaf-mushaf tersebut sebagaimana diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Ini tentu saja sangat beralasan, sebab naskah-naskah mushaf ‘Utsmani tersebut hanya mengandung huruf-huruf konsonan, tanpa dibubuhi baris maupun titik. Tanpa adanya para qari’ penuntun itu, kesalahan baca sangat mungkin terjadi. Ini sekaligus menegaskan bahwa pewarisan pembacaan al-Qur’an –yang juga berarti pewarisan al-Qur’an itu sendiri- sepenuhnya didasarkan pada proses talaqqi, bukan pada realitas rasm yang tertuang pada lembaran-lembaran mushaf belaka.
Tentu saja, pasca pendistribusian naskah-naskah mushaf ‘Utsmani tersebut, kaum muslimin telah memiliki sebuah mushaf rujukan –karena itulah ia disebut sebagai al-mushaf al-imam-. Sejak saat itu, mulailah upaya-upaya penulisan ulang naskah Al-Qur’an berdasarkan mushaf ‘Utsmani untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin akan mushaf al-Qur’an. Dalam kurun yang cukup panjang, yaitu pasca kodifikasi Khalifah ‘Utsman r.a. hingga sekarang terdapat banyak perkembangan baru dalam perbanyakan naskah tersebut. Meskipun upaya itu sama sekali tidak berarti merubah hakikat al-Qur’an sebagai Kalamullah. Perkembangan-perkembangan itulah yang akan dikaji secara singkat dalam makalah ini. Dan semoga bermanfaat!
PERKEMBANGAN PENULISAN MUSHAF PASCA UTSMAN
Pemberian Harakat (Nuqath al-I’rab)
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf ‘Utsmani generasi pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-i’rab) –yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf al-Qur’an-. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah ‘Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim ke berbagai wilayah, semuanya pun menerima langkah tersebut, lalu kaum muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap mushaf-mushaf tersebut; terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik ataupun harakat terhadap kata-kata dalam mushaf tersebut. Hal ini berlangsung selama kurang lebih 40 tahun lamanya.
Dalam masa itu, terjadilah berbagai perluasan dan pembukaan wilayah-wilayah baru. Konsekwensi dari perluasan wilayah ini adalah banyaknya orang-orang non Arab yang kemudian masuk ke dalam Islam, disamping tentu saja meningkatnya interaksi muslimin Arab dengan orang-orang non Arab –muslim ataupun non muslim-. Akibatnya, al-‘ujmah (kekeliruan dalam menentukan jenis huruf) dan al-lahn (kesalahan dalam membaca harakat huruf) menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum muslimin non-Arab, namun juga di kalangan muslimin Arab sendiri.
Hal ini kemudian menjadi sumber kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim. Terutama karena mengingat mushaf al-Qur’an yang umum tersebar saat itu tidak didukung dengan alat bantu baca berupa titik dan harakat.
Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide pemberian tanda bacaan terhadap mushaf al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu diawali ketika Mu’awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya, ‘Ubaidullah, untuk menghadap Mu’awiyah. Saat ‘Ubaidullah datang menghadapnya, Mu’awiyah terkejut melihat bahwa anak muda itu telah melakukan banyak al-lahn dalam pembicaraannya. Mu’awiyah pun mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Tanpa buang waktu, Ziyad pun menulis surat kepada Abu al-Aswad al-Du’aly
“Sesungguhnya orang-orang non-Arab itu telah semakin banyak dan telah merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah Anda menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca al-Qur’an dengan benar.”
Abu al-Aswad sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan tugas itu. Namun Ziyad membuat semacam ‘perangkap’ kecil untuk mendorongnya memenuhi permintaan Ziyad. Ia menyuruh seseorang untuk menunggu di jalan yang biasa dilalui Abu al-Aswad, lalu berpesan: “Jika Abu al-Aswad lewat di jalan ini, bacalah salah satu ayat al-Qur’an tapi lakukanlah lahn terhadapnya!” Ketika Abu al-Aswad lewat, orang inipun membaca firman Allah yang berbunyi:
أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.” (QS. at-Taubah: 3)
Tapi ia mengganti bacaan “wa rasuluhu” menjadi “wa rasulihi”. Bacaan itu didengar oleh Abu al-Aswad, dan itu membuatnya terpukul. “Maha mulia Allah! Tidak mungkin Ia berlepas diri dari Rasul-Nya!” ujarnya. Inilah yang kemudian membuatnya memenuhi permintaan yang diajukan oleh Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku ‘Abd al-Qais untuk membantu usahanya itu. Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat (nuqath al-i’rab). Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca al-Qur’an dengan hafalannya, lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf terakhir setiap kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf tersebut. Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik dibawahnya, dhammah ditandai dengan titik didepannya, dan tanwin ditandai dengan dua titik. Demikianlah, dan Abu al-Aswad pun membaca al-Qur’an dan stafnya memberikan tanda itu. Dan setiap kali usai dari satu halaman Abu al-Aswad pun memeriksanya kembali sebelum melanjutkan ke halaman berikutnya.
Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus (murabba’ah), ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh, dan ada pula yang menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian menambahkan tanda sukun (yang menyerupai bentuk kantong air) dan tasydid (yang menyerupai bentuk busur) yang diletakkan di bagian atas huruf.
Dan seperti yang disimpulkan oleh al-A’zhamy, nampaknya setiap wilayah kemudian mempraktekkan sistem titik yang berbeda. Sistem titik yang digunakan penduduk Mekah –misalnya- berbeda dengan yang digunakan orang Irak. Begitu pula sistem penduduk Madinah berbeda dengan yang digunakan oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah lebih berkembang, hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi sistem mereka. Namun lagi-lagi perlu ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi apalagi mengubah bacaan Kalamullah. Ia masih tetap seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw.
Satu hal lagi yang perlu disebutkan di sini, bahwa beberapa peneliti –seperti Guidi, Israil Wilfinson, dan DR. ‘Izzat Hassan- menyimpulkan bahwa tanda harakat ini sebenarnya dipinjam oleh Bahasa Arab dari Bahasa Syriak. Tetapi –mengutip al-A’zhamy- Yusuf Dawud Iqlaimis, Biskop Damaskus, menyatakan:
Ini jelas yakin tanpa diragukan bahwa pada zaman Yakub dari Raha, yang meninggal di awal abad kedelapan masehi, di sana tidak ada metode tanda diakritikal dalam bahasa Syriak, tidak dalam huruf hidup bahasa Yunani maupun sistem tanda titiknya.
Yakub (Yacob?) Raha sendiri –menurut B.Davidson - menemukan tanda bacaan pertama (untuk Bahasa Syriak) pada abad ketujuh, sedangkan Theophilus menemukan huruf hidup Bahasa Yunani pada abad ke delapan. Bila dihitung, akhir abad ketujuh masehi itu sama dengan tahun 81 H, dan akhir abad kedelapan itu sama dengan tahun 184 H. Sementara Abu al-Aswad al-Du’aly –penemu tanda diakritikal Bahasa Arab- meninggal dunia pada tahun 69 H (688 M). Ditambah lagi, -seperti yang dicontohkan oleh B.Davidson- sistem diakritikal Syriak begitu mirip tanda yang digunakan oleh al-Du’aly.
Fakta lain adalah bahwa tata bahasa Syriak dapat dikatakan menemukan identitasnya melalui upaya Hunain bin Ishaq. Hunain sendiri dilahirkan pada tahun 194 H (810 M), sementara Sibawaih, tokoh besar tata Bahasa Arab penulis al-Kitab (sebuah referensi puncak dalam Nahwu) meninggal pada tahun 180 H (796 M). Maka tidak mungkin Hunain dapat disebut memberikan pengaruh pada tata Bahasa Arab. Apalagi sejarah mencatat bahwa Hunain pernah belajar Bahasa Arab di Bashrah. Tepatnya pada Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w. 170 H), seorang tokoh ensiklopedi Bahasa Arab terkemuka. Jadi pertanyaannya: siapa yang meminjam pada siapa?
Pemberian Titik pada Huruf (Nuqath al-I’jam)
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda. Seperti pada huruf ب (ba), ت (ta), ث (tsa). Pada penulisan mushaf ‘Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah –seperti telah disebutkan- untuk mengakomodir ragam qira’at yang ada. Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-‘ujmah) pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.
Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali menggagas penggunaan tanda titik ini untuk mushaf al-Qur’an. Namun pendapat yang paling kuat nampaknya mengarah pada Nashr bin ‘Ashim[19] dan Yahya bin Ya’ma. Ini diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar untuk misi ini, sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira’at.
Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam. Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i’jam adalah memberikan titik pada huruf. Penerapannya adalah sebagai berikut:
a. untuk membedakan antara د dal dan ذ dzal, ر ra’ dan ز zay, ص shad dan ض dhad, ط tha’ dan ظ zha’, serta ع ‘ain dan غ ghain, maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).
b. untuk pasangan س sin dan ش syin, huruf pertama diabaikan tanpa titik satupun, sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’, dan pemberian satu titik saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf-huruf ب ba’, ت ta, ث tsa, ن nun, dan ي ya’.
c. untuk rangkaian huruf ج jim, ح ha’, dan خ kha’, huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan.
d. sedangkan pasangan ف fa’ dan ق qaf, seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik diatasnya. Hanya saja kaum muslimin di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka memberikan satu titik bawah untuk fa’, dan satu titik atas untuk qaf.
Nuqath al-I’jam atau tanda titik ini pada mulanya berbentuk lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlobang bagian tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath al-i’rab) yang umumnya berwarna merah. Dan tradisi ini terus berlangsung hingga akhir kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya Khilafah ‘Abbasiyah pada tahun 132 H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk tanda-tanda baca dalam mushaf. Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, dan tinta merah untuk harakat. di Andalusia, mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf, merah untuk harakat, kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl. Bahkan ada sebagian mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i’rab sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, meski berbeda untuk yang lainnya.
Akhirnya, naskah-naskah mushaf pun berwarna-warni. Tapi di sini muncul lagi sebuah masalah. Seperti telah dijelaskan, baik nuqath al-i’rab maupun nuqath al-i’jam, keduanya ditulis dalam bentuk yang sama, yaitu melingkar. Hal ini rupanya menjadi sumber kebingungan baru dalam membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Di sinilah sejarah mencatat peran Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H). Ia kemudian menetapkan bentuk fathah dengan huruf alif kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk huruf ya’ kecil dibawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin dibentuk dengan mendoublekan penulisan masing-masing tanda tersebut. Disamping beberapa tanda lain.
Al-Daly mengatakan:
“Dengan demikian, Khalil (al-Farahidy) telah meletakkan 8 tanda: fathah, dhammah, kasrah, sukun, tasydid, mad, shilah, dan hamzah. Dengan metode ini, sangat memungkinkan untuk menulis huruf, i’jam (tanda titik huruf), dan syakl (harakat) dengan warna yang sama.”
SEJARAH ULUMUL AL-QUR'AN
Sebagaimana kita ketahui bersama,bahwasanya Al-Quran alkarim adalah undang-undang dasar Allh SWT yang kekal dan abadi ia datang ke dunia ini untuk membawa umat manusia dari lembah-lembah kegelapan yang penuh dengan kebodohan dan kemusyrikan menuju kepada kondisi cahaya yang terang benderang cahaya yang diliputi dengan ketauhidan ilmu pengetahuan, kemerdekaan dan peradaban (Moh.Sayyid Thantawi,2001:9)
Sebelum kita membahas tentang perkembangan ulumul Qur`an, perlu diketahui dulu apa itu Ulumul Qur`an? ulumul Qur`an terdiri dari dua suku kata,yaitu”ulum” dan “Quran”.
Kata” ulum” merupakan bentuk jamak dari kata “ilmu”.Ilmu yang dimaksud disini ialah sejumlah materi pembahasan yang dibatasi kesatuan tema atau tujuan.Adapun Al-Quran. Sebagaimana didefinisikan oleh ulama Fiqh dan ulama bahasa adalah kalam Allah yang lafaznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, diturunkan secara mutawatir, dan ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat Alfatihah (1) sampai akhir surat An-nas (114). Dengan demikian, secara bahasa ulumul Quran adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran.
Adapun menurut definisi Ulumul Quran secara istilah ialah ilmu yang mencakup pembahasan yang berkaitan dengan Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Quran), kodifikasi dan penulisan Al-Quran.(Rosihon Anwar, 2000:11-12)
PERKEMBANGAN ULUMUL QUR`AN
(a). Perkembangan Ulumul Qur`an pada abad I Hijriah (sebelum fase kodifikasi)
Perintis-perintis Ulumul Quran pada abad ini adalah sebagai berikut:
- Dari kalangan sahabat: Khulafaurrasyidin, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Abu Musa Al-asy’ari, dan Abdullah bin Zubair.
- Dari kalangan tabi’in: Mujahid, ’Atha’bin Yasar, ’Ikrimah, Qatadah, Al-hasan Al-Bashri, Said bin Jubair, Zaid bin Aslam.
(b). Perkembangan Ulumul Qur`an abad II Hijriah
Pada masa penyusunan ilmu-ilmu agama yang dimulai sejak abad II Hijriah, para ulama memberikan prioritas atas penyusunan tafsir merupakan induk Ulumul Qur`an. diantara ulama abad II Hijriah. yang menyusun tafsir ialah:
- Syu’bah al-hajjaj (wafat 160H)
- Sufyan bin ‘uyainah (wafat 198H)
- Ibn Jarir at-thabari (wafat 310H). yang mengarang kitab tafsir ath-thabari,yang bernama:Jaamiul Bayan Fi Tafsiril Quran.
Tafsir Ath-thabari ini merupakan kitab tafsir yang paling besar dengan memakai metode muqaran (kompertif), sebab beliau adalah orang pertama yang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan mengemukakan pendapat-pendapat para ulama, dan membandingkan pendapat sebagian mereka dengan pendapat sebagian yang lain. Beliau juga menerangkan segi I’rob dan istimbat hukumnya.[Abdul Djalal, 1997:31]
(c). Perkembangan Ulumul Qur`an abad III Hijriah
Pada abad III H. selain tafsir dan ilmu tafsir, para ulama mulai menyusun beberapa ilmu Al-Quran (Ulumul Qur`an), di antaranya:
- Ali bin Al Madani (wafat 234 H ),gurunya Imam Al-Bukhori, yang menyusun ilmu Asbabun Nuzul
- Abu Ubaid Al Qasimi bin Salam (wafat 224 H) yang menyusun ilmu Nasikh al Mansukh, Ilmu Qiraat dan Fadha’il Al-Quran
- Muhammad bin Ayyub adh-dhurraits (wafat 295 H) yang menyusun ilmu Makki wa Al-madani.
(d). Perkembangan Ulumul Quran abad IV Hijriah
Pada abad IV H.mulai disusun Ilmu Gharib Al-Quran dan beberapa kitab ulumul Quran dengan memakai istilah ulumul Quran .diantara ulama yang menyusun ilmu-ilmu itu adalah:
- Abu Bakar As-sijistani (wafat 330 H).yang menyusun kitab gharib Al-Quran
- Abu Baker Muhammad bin al-qasim al-anbari (wafat 328 H)yang menyusun kitab ‘Ajaib ‘Ulumul Al-Quran
(e). Perkembangan ulumul qur`an abad V Hijriah
Pada abad V Hijriah, mulai disusun ilmu I’rab Al-Quran dalam satu kitab. Kendati demikian, penulisan kitab-kitab ulumul Al-Quran masih terus dilakaukan oleh ulama masa kini, di antara ulama yang berjasa dalam perkembangan ulumul Quran pada abad ini adalah:
- ‘Ali bin Ibrahim bin Sa’id Al-hufi(wafat 430H). Selain mempelopori penyusunan I’rab Al-Quran, ia pun menyusun kitab Al-Burhan fi’Ulum Al-Quran.
- Abu ‘amr ad-dani (wafat 444H) yang menyusun kitab At-Taisir fi Qiraat As-Sab’i dan kitab Al-Muhkam fi An-Naqih.
(f). Perkembangan ulumul qur`an abad VI Hijriah
Pada abad VI Hijriah, disamping terdapat ulama yang meneruskan pengembangan Ulumul Quran, juga terdpat ulama yang mulai menyusun ilmu Mubhamat Al-Quran. Di antaranya adalah:
- Abu al-qasim bin Abdurrahman As-Suhaili (wafat 581H) yang menyusun kitab Mubhamat Al-Quran. kitab ini menjelaskan maksud kata-kata Al-Quran yang “tidak jelas”, apa atau siapa yang dimaksud.
- Ibn Aljauzi (wafat 597H) yang menyusun kitab Funun Al-Afnan fi ‘Aja’ib Al-Quran, dan kitab Al-Mujtab fi ‘Ulum Tata’allaq Bil Quran.
(g). Perkembangan ulumul qur`an abad VII Hijriah
Pada abad VII Hijriah, ilmu-ilmu Al-Quran terus berkembang dengan mulai tersusunnya ilmu majaz Al-Quran dan ilmu qiraat. Di antara ulama abad VII menaruh perhatian besar terhadap ilmu-ilmu ini adalah:
- Alamuddin As-Sakhawi (wafat 643 H). Kitabnya mengenai ilmu qiraat dinamakan Hidayah Al Murtab fi Mutasyabih
- Ibn Abd As-Salam (wafat 660H) menulis kitab Majaz Al-Quran.
(h). Perkembangan ulumul qur`an pada abad VIII Hijriah
Pada abad ini muncullah beberapa ulama yang menyusun ilmu baru tentang Al-Quran, di antaranya:
- Ibn Abi Alisba menyusun kitab Ilmu Badi’I Al-Quran
- Najmudin Ath-Thufi.ia menyusun ilmu Hujaj Al-Quran atau Ilmu Jadal Al-Quran
(i). Perkembangan ulumul qur`an pada abad IX dan X Hijriah
Pada abad ini makin banyak karya para ulama tentang Ulumul Quran, dan pada masa inilah perkembangan ulumul Quran mencapai kesempurnaannya. Beberapa ulama yang menyusun ulumul Quran ialah:
- Jalaluddin Al-Buqini, yang menyusun kitab Mawaqi’al-ulum min Mawaqi’an-nujum.
- Jalaluddin’Abdurrahman bin Kamaluddin As-Suyuthi, yang menyusun kitab At-Tahbir fi ‘Ulum At-Tafsir. Kitab ini merupakan kitab ulumul Quran yang paling lengkap karena memuat 102 macam ilmu Al-Quran.
(j). Perkembangan ulumul qur`an abad XIV Hijriah
Setelah memasuki abad XIV Hijriah, perhatian ulama bangkit kembali dalam penyusunan kitab-kitab yang membahas Al-Quran dari berbagai segi.
Ada sedikit pengembangan tema pembahasan yang dihasilkan para ulama abad ini dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Di antaranya berupa penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa-bahasa ajam. Karya ulumul Quran yang lahir pada abad ini, diantaranya adalah:
- Syeikh Thahir Al-Jazairi, yang menyusun kitab At-Tibyan fi ‘Ulumul Quran
- Jamaluddin Al-Qasimy, yang menyusun kitab Mahasin At-Ta’wil
- Ustad Muhammad al-Mubarak yang menyusun kitab Al-Manhaj Al-Khalid. [Rosihan Anwar, 2000:22-28]
SEJARAH PENULISAN ALQUR`AN
Jamia’tul Quran (pengumpulan Al-Quran) merupakan suatu istilah yang seringkali dipakai untuk menjelaskan metode pemeliharaan Al-Quran pada masa Rasulullah SAW. Jamiatul Quran terkadang dimaksudkan sebagai “pemeliharaan dan penjagaan alam dada (hafalan) dan terkadang dimaksudkan sebagai “penulis keseluruhannya, huruf demi huruf, kata demi kata, ayat demi ayat dan surat demi surat”.
Yang kedua ini medianya adalah shahifah-shahifah dan lembaran lainnya.sedang yang pertama medianya adalah hati dan dada.selanjutnya penghimpunan Al-Quran dalam pengertian “penulisannya” pada masa awal berlangsung tiga kali. Pertama, pada masa Nabi SAW. Kedua, pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Ketiga, pada masa kekhalifahan utsman. (Muhammad Chirzin,1998:53)
a. Pada masa Nabi SAW
Kerinduan nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hafalan tetapi dalam bentuk tulisan. Nabi memiliki sekretaris pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu yaitu, Abu Bakar, Umar, Ustman, ’Ali, Abban bin Sa’id, Khalid bin Walid, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Proses penulisan Al-Quran pada masa Nabi sungguh sangat sederhana. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu.
Kegiatan tulis menulis Al-Quran pada masa nabi di samping dilakukan oleh para sekretaris nabi, juga dilakukan para sahabat lainnya. Kegiatan ini didasarkan pada hadist Nabi, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim;
لا تكتبو عني شياء ال القران ومن كتب عني سوى القران فليمحه (رواه مسلم )
”Janganlah kamu menulis sesuatu yang bersal dariku, kecuali Quran. Barangsiapa telah menulis dariku selain Al-Quran, hendaklah ia menghapusnya.” [HR.Muslim]
Hadits ini menjelaskan bahwa selama berlangsungnya proses penurunan wahyu, para sahabat dilarang menulis apapun yang diucapkan oleh Nabi kecuali Al-Quran. (Lihat penjelasannya di sini)
b. Pada masa Khulafaurrasyidin
(1) Pada masa Abu Bakar Ash-Siddiq
Pada dasarnya seluruh Al-Quran sudah ditulis pada masa nabi. Hanya saja, surat dan ayatnya dan orang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf ialah Abu Bakar Ash-siddiq.
’Abdillah Al-muhasibi berkata didalam kitabnya, Fahm As-Sunnan, penulisan Al-Quran bukanlah sesuatu yang baru sebab Rasulullah pernah memerintahkannya. Hanya saja, saat itu tulisan Al-Quran masih terpencar-pencar pada pelepah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu Bakarlah yang berinisiatif menghimpun Al-Quran. (Rosihan Anwar, 2000:40)
c. Pada masa Usman bin Affan
Khalifah bermusyawarah dengan para sahabat kemudian menugaskan Zaid bin Tsabit mengumpulkan Al-Quran, bersama Zaid ikut bergabung pula tiga anggota keluarga Mekkah terpandang,yaitu ’Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al’Ash dan Abd Ar-rahman bin Al-Harits. ‘Ustman memutuskan agar mushaf yang beredar memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- terbukti mutawatir,tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad
- mengabaikan ayat yang bacaannya di nasakh
- kronologi surat dan ayatnya seperti yang telah ditetapkan atau berbeda dengan mushaf Abu Bakar
- sistem penulisan yang digunakan mampu mencakup qira’at yang berbeda sesuai dengan lafaz-lafaz Al-Quran ketika diturunkan
- semua yang bukan termasuk Al-Quran dihilangkan, misalnya yang ditulis di kushaf sebagian sahabat dan pencatuman makna ayat atau penjelasan nasikh-mansukh di dalam mushaf.
Kesimpulan
Ulumul Quran adalah ilmu yang mencakup pembahasan tentang Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Quran), kodifikasi serta penulisan Al-Quran.
Perkembangan Ulumul Quran berlangsung sampai abad XIV Hijriah
- Pada abad I Hijriah Ulumul Quran baru akan berkembang
- Pada abad II Hijriah para ulama memberikan prioritas atas penyusunan tafsir sebab tafsir merupakan induk Ulumul Quran
- Pada abad III Hijriah para ulama mulai menyusun beberapa ilmu Al-Quran (Ulumul Qur`an)
- pada abad IV Hijriah mulai disusun Ilmu Gharib Al-Quran dan beberapan kitab Ulumul Quran
- pada abad V Hijriah mulai disusun Ilmu I’rab Al-Quran dalam satu kitab
- pada abad VI Hijriah ulama mulai menyusun Ilmu Mubhamat Al-Quran
- pada abad VII Hijriah ilmu-ilmu Al-Quran terus berkembang dan tersusun Ilmu Majaz Al-Quran dan Qira’at
- VII Hijriah ulama terus menyusun ilmu-ilmu baru tentang Ulumul Quran
- pada abad IX dan X Hijriah Ulumul Quran sudah mencapai kesempurnaan
- pada abad XIV Hijriah para ulama terus menyusun kitab-kitab yang membahas Al-Quran dari berbagai segi dan mulai saat itulah Ulumul Quran makin berkembang
Penulisan Al-Quran berlangsung tiga kali
- Pada masa Nabi Muhammad saw
- Pada masa khalifah Abu Bakar As-shiddiq
- Pada masa khalifah Ustman bin Affan.
DAFTAR PUSTAKA
- Anwar, Rosihon, Ulumul Quran, Bandung: Pustaka Setia,2000
- Chirzin, Muhammad, Ulumul Quran, Dana Bakti Prima Yosa,1998
- Djalal, Abdul, Ulumul Quran, Surabaya: Dunia Ilmu,1997
- Sayyid Thantawi, Muhammad, Alquran dan Lailatul Qadar, Pustaka Azam,2001
Post a Comment