Perbedaan Al-Qur'an dan Mushaf
Secara harfiah, al-qur’an adalah bentuk masdar dengan makna qira’ah (bacaan atau kumpulan), yang dalam pengertian selanjutnya diungkapkan sebagai kumpulan kalam Allah SWT, yang dibaca dengan lisan makhluk. Sedangkan secara terminology, Al-qur’an adalah kalam Allah yang berbahasa Arab sebagai mukjizat yang diturunkan pada Rasul-Nya, Muhammad SAW melalui perantara malaikat jibril yang tertulis di lembaran-lembaran yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir serta membacanya mengandung nilai ibadah.[1]
Mushaf adalah nama sesuatu yang di dalamnya terdapat dari kalam Allah SWT, di antara dua sisi dari lembaran-lembaran al-qur’an[2].
Dari dua definisi diatas dapat kita ketahui bahwa Al-Quran lebih khusus daripada Mushaf, dimana dalam penggunaannya Al-Quran selalu berhubungan dengan lafad Qira’ah sedangkan mushaf selalu identik dengan kata Massu, Lamsu dan Haml.
Karakteristik Mushaf Ustmani
Mushaf usmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik. Ketika bahasa arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya pencampuran (dengan bahasa non Arab), maka para penguasa merasa penting adanya perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan Al-Qur'an secara benar. Para ulama berbeda pendapat tentang usaha pertama yang dicurahkan untuk hal itu. Banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal itu adalah Abu Aswad Ad-Du’ali, peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa arab, atas permintaan Ali bin Abi Talib.
Diriwayatkan, konon Abu Aswad pernah mendengar seorang qari membaca firman Allah ان الله برىء من المشركين ورسوله (at-taubah [9]:3). Kesalahan qari itu pada pembacaan kasrah “lam” dalam kata رسوله. Hal ini mengejutkan Abu Aswad yang berseru: “Maha tinggi Allah SWT untuk meninggalkan Rasul-nya!”
Kemudian ia pergi menghadap Ziyad, Gubenur Basrah ketika itu, dan katanya: ”Ziyad pernah memintanya untuk membuatkan tanda-tanda baca supaya orang dapat lebih memahami Al-Qur’an. Tetapi Abu Aswad tidak segera memenuhi permintaan itu; baru setelah dikejutkan oleh peristiwa tersebut ia memenuhinya. Di sini ia mulai bekerja keras, dan hasilnya sampai pada pembuatan tanda fathah berupa satu titik diatas huruf, tanda kasrah berupa satu titik dibawah huruf, tanda dammah berupa satu titik disela-sela huruf dan tanda sukun berupa dua titik.
Kemudian ia pergi menghadap Ziyad, Gubenur Basrah ketika itu, dan katanya: ”Ziyad pernah memintanya untuk membuatkan tanda-tanda baca supaya orang dapat lebih memahami Al-Qur’an. Tetapi Abu Aswad tidak segera memenuhi permintaan itu; baru setelah dikejutkan oleh peristiwa tersebut ia memenuhinya. Di sini ia mulai bekerja keras, dan hasilnya sampai pada pembuatan tanda fathah berupa satu titik diatas huruf, tanda kasrah berupa satu titik dibawah huruf, tanda dammah berupa satu titik disela-sela huruf dan tanda sukun berupa dua titik.
As-Suyuti menyebutkan dalam al-Itqan bahwa Abu Aswad adalah orang pertama yang melakukan usaha itu atas perintah Abdul Malik bin Marwan, bukan atas perintah Ziyad. Ketika itu orang telah membaca mushaf Usman selama lebih dari empat puluh tahun hinga masa kekhalifahan Abdul Malik. Tetapi masih juga banyak orang yang membuat kesalahan dan kesalahan itu merajalela di Irak. Maka para penguasa memikirkan pembuatan tanda baca, titik dan syakal.
Dalam pada waktu itu ada beberapa riwayat lain yang menisbatkan pekerjaan ini kepada orang lain, diantaranya kepada Hasan al-Basri, Yahya bin Ya’mar dan Nasr bin Asim al-laisi. Tetapi Abu Aswadlah yang terkenal dalam hal ini. Nampaknya orang-orang lain yang disebutkan itu mempunyai upaya-upaya lain yang dicurahkan dalam perbaikan dan pemudahan rasm tersebut. [3]
Naskah Ustmani
Mengenai pengumpulan Al-qur’an pada masa usman. Zaid bin sabit bersama tiga orang Quraisy telah menempuh suatu metode khusus dalam penulisan Al-Qur’an yang disetujui oleh Usman. Para ulama menamakan metode tersebut dengan ar-rasmul Usmani lil Mushaf, yaitu dengan dinisbatkan kepada usman. Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat tentang status hukumnya.
1.Sebagain dari mereka berpendapat bahwa rasam usmani buat Al-Qur’an ini bersifat tauqifi yang wajib dipakai dalam penulisan al-qur’an dan harus sungguh-sunggu disucikan. Mereka menisbatkan taukifi dalam penulisan Al-Qur’an kepada Nabi.
Ibnu Mubarok mengutip gurunya, Abdul Aziz ad-Dabbag, yang mengatakan padanya bahwa, “para sahabat dan orang lain tidak campur tangan seujung rambutpun dalam penulisan Al-qur’an karena penulisan al-qur’an adalah tauqifi, ketentuan dari Nabi. Dialah yang memerintakan kepada mereka untuk menuliskannya dalam bentuk yang kita kenal sekarang, dengan menambakan alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak terjangkau oleh akal. Itulah salah satu rahasia Allah Yang diberikan kepada kitabnya yang mulia, yang Dia tidak berikan kepada kitab-kitab samawi lainnya. Karenanya, sebagaimana susunan Al-Qur’an adalah mukjizat, maka penulisannyapun mukjizat pula.”
2. Banyaknya ulama berpendapat rasm Usmani bukan tauqifi dari Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Usman dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar.
3. Segolongan orang berpendapat rasm Usmani itu hanyalah sebuah istilah, tatacara, dan tidak ada salahnya jika menyalahi, apabila orang telah mempergunakan satu rasm tertentu untuk imla dan rasm itu tersiar luas di antara mereka.
Abu bakar al-Baqlani menyebutkan dalam kitabnya al-intisar. Tak ada yang diwajibkan oleh Allah mengenai cara atau bentuk penulisan mushaf.karena itu para penulis Al-Qur’an dan mushaf tidak diharuskan menggunakan rasm tetentu yang diwajibkan kepada mereka sehingga tidak boleh cara lain, hal ini mengingat kewajiban semacam ini hanya dapat diketahui melalui pendengaran (dalil sam’iy) dan tauqifi.
Rasm Usmani adalah rasm (bentuk ragam tulis) yang telah diakui dan diwarisi oleh umat islam sejak masa Usman. Dan pemeliharaan rasm Usmani merupakan jaminan kuat bagi penjagaan Al-Qur’an dari perubahan dan penggantian huruf-hurufnya. Seandainya diperbolehkan menuliskannya menurut istilah imla’ di setiap masa, maka hal ini akan mengakibatkan perubahan mushaf dari masa ke masa. Bahkan kaidah-kaidah imla’ itu sendiri berbeda-beda kecenderungannya pada masa yang sama, dan bervariasi pula dalam beberapa kata di antara satu negeri dengan negeri lain. Dan ini, tentu saja, akan merusak 'keaslian' Al-Qur'an itu sendiri.
Standarisasi
Ketika terjadi perang Yamama pada tahun 633, sejumlah muslim penghafal Al-Qur'an (Hafiz) gugur sehingga dikuatirkan bahwa sebagian Al-Qur'an akan hilang bersamaan dengan meninggalnya para syuhada tersebut. Maka Abu Bakar meminta Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur'an dan menulis ulang semuanya. Mushaf ini kemudian disimpan oleh khalifah Umar dan kemudian oleh Hafsah.
Sekitar tahun 653 M, terjadi ekspedisi ke Armenia dan Azerbaijan. Diantara pasukan Muslim terjadilah pertikaian bacaan Al-Qur'an. Hal ini dilaporkan oleh Hudzaifah bin Yaman kepada Usman yang kemudian memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk menuliskan lagi mushaf dengan mendasarkan dari mushaf yang disusun sendiri oleh Zaid bin Tsabit dan sekarang disimpan oleh Hafsah.
Setelah selesai dibuat, mushaf asli disimpan di Medinah, 4 copy dikirim ke Mekah, Syria, Basrah dan Kufah.
Usman kemudian mengambil langkah drastis dengan memusnahkan seluruh salinan Al-Qur'an yang lainnya dalam bentuk apapun. Sementara mushaf milik Hafsah sendiri akhirnya dimusnahkan oleh Marwan bin al Hakam segera setelah Hafsah meninggal di tahun 54 H (664 M).
Jadi di sekitar tahun 653 M itulah Al-Qur'an yang resmi dinyatakan sebagai sebuah kitab.
Teks mushaf yang dihasilkan oleh Usman adalah teks konsonan dasar yang tidak dilengkapi dengan vokal dan titik diakritis yang membedakan konsonan bersimbol sama. (15 huruf konsonan dapat dibaca dengan 28 cara berbeda).
Dari teks dasar ini kemudian tulisan Al-Qur'an berkembang di wilayah-wilayah ysng mulai menambahkan vokal dan titik diakritisnya masing-masing. Dalam penambahan vokal dan titik diakritis ini ternyata berjalan tidak seragam.
Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322 H (944 M), Khalifah Abbasiyah melalui dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban.
Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni:
- Nafi (Madinah)
- Ibn Kathir (Mekah)
- Ibn Amir (Syam)
- Abu Amr (Bashrah)
- Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah).
Tindakannya ini berdasarkan hadits Nabi yang mengatakan bahwa "Al-Qur'an diturunkan dalam tujuh huruf." Selain kiraah 7 di atas, kemudian dikenal juga kiraah 10 dan kiraah 14. Tambahan versi kiraah adalah:
• Kufa
Selain 3 versi kiraah diatas, ternyata masih ada lagi yaitu kiraah Khalaf ibn Hisyam al Bazzar.
• Madinah,
Selain kiraah Nafi ada lagi kiraah versi Abu Jafar al Makhzumi al Madani.
• Mekkah
Selain kiraah Ibn Kathir, ada lagi kiraah Muhammad ibn Abd al Rahman al Makki.
• Basrah
Selain kiraah Abu Amr, ada lagi kiraah Yaqub al Hadlrami, kiraah Abu Muhammad Yahya ibn al Mubarak dan kiraah Abu Said al Hasan ibn Yasar.
Dengan berjalannya waktu, maka dari 14 kiraah tersebut, hanya 2 yang tetap mampu menjaga popularitasnya yaitu kiraah an Ashim dan an Nafi.
Kecenderungan standarisasi semakin mengkristal sejak ditemukannya mesin cetak pada abad ke 15. Dari kiraah tujuh, hanya 2 yang yang dicetak dan digunakan secara luas, yaitu versi an Ashim dan versi an Nafi.
Pencetakan Al-Qur'an versi standard Mesir tahun 1923 mendasarkan pada versi an Ashim telah menjadikannya semacam supremasi kanon Al-Qur'an. Versi inilah yang sekarang dugunakan secara sangat luas di tengah-tengah masyarakat Islam.
Jadi, dalam sejarah Al-Qur'an tercatat 2 kali standarisasi yakni:
Pertama: Standarisasi dari berbagai mushaf sahabat. Dari sekian banyak mushaf distandarkan menjadi satu mushaf yaitu mushaf Usman.
Kedua: Standarisasi dari variasi bacaan mushaf Usman akibat perbedaan penambahan huruf hidup dan pembeda konsonan. Digunakan adalah qiraah an Ashim, namun penulisannya di Mesir tahun 1923/1924 tidak mendasarkan dari mushaf kuno manapun melainkan diklaim sebagai murni hasil hafalan.
AL-QUR'AN YANG SEKARANG
Al-Qur'an yang sekarang digunakan adalah berdasarkan versi standard Mesir tahun 1923 yang merujuk pada versi an Ashim.
Satu catatan yang unik adalah mushaf ini tidak disusun dari naskah kuno manapun, melainkan murni berdadarkan "HAFALAN".[4]
“It was not until the year 1918 when the Muslim scholars, gathered in Cairo, Egypt, and decided to write a standardized edition of the Quran that avoids all the obvious scribes' errors in different editions of the Quran floating in the world and to standardize the numbering f the suras and verses of the Quran. In 1924, they produced the edition of the Quran that later became the standard edition around the world. They depended mainly on the oral transmission of the Quran to correct all the contradiction seen in the different Rasm (Orthography) and numbering of different Qurans”
Hingga ditahun 1918 ketika pakar-pakar muslim, berkumpul di Kairo, Mesir dan memutuskan untuk menuliskan edisi standard al-qur'an untuk menghindarkan semua kesalahan tulisan dalam edisi al-qur'an yang saat itu beredar diseluruh dunia dan untuk menstandarkan penomoran surah dan ayat-ayat Al-Qur'an. Di tahun 1924 mereka menerbitkan edisi Al-Qur'an yang kemudian menjadi standar edisi diseluruh dunia. Mereka sepenuhnya mendasarkan pada tradisi lisan al-qur'an untuk mengoreksi semua perbedaan tulisan dan penomoran dari al-qur'an yang berbeda-beda. Al-Qur'an edisi Mesir 1923/24 inilah yang kemudian disebarluaskan dengan bantuan dari pemerintah Arab Saudi. Tujuannya adalah untuk secara perlahan mengeliminir Al-Qur'an yang berbeda yang saat itu masih digunakan oleh umat muslim [5].
Tapi pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiar yang luar biasa, karena upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan pembakuan Alquran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Al-Qur'an edisi mesir itu merupakan versi Al-Qur'an yang paling banyak beredar dan digunakan oleh kaum muslim.
Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia mencetak ratusan ribu kopi Al-Qur'an sejak tahun 1970-an hingga kini [6] merupakan bagian dari proyek amal yang sekaligus juga merupakan upaya pelestarian standarisasi Al-Qur'an. Tindakan penguasa Saudi membanjiri pasar Al-Qur'an hanya dengan satu edisi, menutupi dan perlahan-lahan menyisihkan edisi lain yang masih beredar khususnya di wilayah Maroko dan sekitarnya.
Kesimpulan
- Secara harfiah, al-qur’an adalah bentuk masdar dengan makna qira’ah (bacaan atau kumpulan), yang dalam pengertian selanjutnya diungkapkan sebagai kumpulan kalam Allah SWT, yang dibaca dengan lisan makhluk. Sedangkan secara terminology, Al-qur’an adalah kalam Allah yang berbahasa Arab sebagai mukjizat yang diturunkan pada Rasul-Nya, Muhammad SAW melalui perantara malaikat jibril yang tertulis di lembaran-lembaran yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir serta membacanya mengandung nilai ibadah.
- Mushaf adalah nama sesuatu yang di dalamnya terdapat dari kalam Allah SWT, di antara dua sisi dari lembaran-lembaran al-qur’an.
- Al-Qur'an yang sekarang digunakan adalah mendasarkan dari versi standard Mesir tahun 1923 mendasarkan pada versi an Ashim.
[Sumber: Wawasan Tentang Al-Quran dan Mushaf - Moch. Agus, M. Syafi'i, Abu Sari, Abd. Latif]
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Shobuni, Ali, At-Tibyan fi ulumil qur’an,
2. Hasyiah Qulyubi wa ‘umairah,
3. Khalil, Manna’ al-Qattan, studi ulumul qur’an, perpustakaan Nasional, 2007, 219
CATATAN KAKI
[1] Ali Al-Shobuni, At-Tibyan fi ulumil qur’an,
[2] Hasyiah Qulyubi wa ‘umairah, I,155.
[3] Khalil, Manna’ al-Qattan, studi ulumul qur’an, perpustakaan Nasional, 2007, 219
[4] The writing of the Quran and the timing of the mathematical miracle
[5] Article No. 447
Post a Comment