BAGIAN - VIII
BEBERAPA PENYIMPANGAN
YANG DILAKUKAN OLEH PENULIS ARTIKEL
Pada bagian ini, saya akan mengungkapkan sebagian substansi yang ditulis oleh penulis artikel itu yang diterbitkan oleh majalah "ad-Doha".
Dalam artikel itu, ia menolak banyak hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam. hingga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sekalipun. Misalnya, ia menolak hadits, "Jauhilah perkara perkara bid'ah karena seluruh perbuatan bid'ah adalah sesat." Juga hadits, "Kalian akan mengikuti perilaku umat-umat sebelum kalian satu jengkal demi satu jengkal dan satu hasta demi satu hasta, hingga sekiranya mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kalian akan memasuki lubang yangsama itu, atau kalian mengikuti tindakan mereka itu."
Ia (penulis artikel itu) mengklaim bahwa hadits-hadits tadi bertentangan dengan Al-Qur'an. Mengapa ia berkata demikian? Dan, bagaimana mungkin hadits-hadits seperti itu bertentangan dengan Al-Qur an?
Ibnu Taimiyah telah mengarang kitab tentang masalah ini yang ia beri judul Iqtidha Shiraath al-Mitstaqiim Mukhalafatu Ahlil-Jahiim 'Meniti Jalan Lurus Adalah Meninggalkan Praktek Orang-Orang Penghuni Neraka'. Jalan lurus itu adalah shiraathal-mustaqiim yang kita selalu pinta kepada Allah SUBHANAHU WA TA’ALA agar kita ditunjukkan kepada jalan itu, minimal sebanyak tujuh belas kali sehari, Yaitu dengan membaca surah al-Faatihah, "Tunjukilah kami jalan yang lurus," (al-Faatihah: 6)
Ini mengharuskan kita untuk menentang dan meninggalkan praktek orang-orang penghuni neraka yang disebut dalam firman Allah SUBHANAHU WA TA’ALA, "(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." (al-Faatihah: 7)
Para penghuni neraka adalah orang-orang yang dimurkai Allah SUBHANAHU WA TA’ALA dan orang-orang yang sesat. Kita mempunyai jalan tersendiri dan mereka mempunyai jalan-jalan lain. Dalam salah satu hadits disinyalir, "Kalangan yang dimurkai Allah itu adalah umat Yahudi dan kalangan yang sesat itu adalah umat Nasrani."
Jalan kita berbeda dengan jalan-jalan mereka. Al-Qur'an telah menetapkan bagi kita jalan yang berbeda dengan jalan-jalan mereka itu. Al-Qur'an telah melarang kita dalam banyak ayatnya, menjadi seperti mereka atau melakukan pola hidup dan perilaku seperti mereka. Allah SUBHANAHU WA TA’ALA berfirman, "Dan, janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.... "(Ali Imran: 105)
Masih banyak lagi ayat lain, demikian juga hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam. yang berbicara tentang hal itu, yang keseluruhannya memberikan pernyataan dengan yakin bahwa umat ini mempunyai karakteristik yang istimewa dan khas dan ia tidak boleh mengekor kepada umat-umat lain. Dari kenyataan itu, dalam banyak hadits disabdakan pernyataan khalifuuhum 'bersikap dan berlakulah yang berbeda dengan mereka'. Dan, sabda itu diulang berkali-kali dalam banyak kesempatan.
Independensi kepribadian dan keistimewaan umat Islam tumbuh dari ini, baik dalam penampilan (mazhhar) maupun dalam ilmu pengetahuan (makhbar). Oleh karena itu, kita tidak dibenarkan mengikuti pola kehidupan dan pola perilaku mereka yang menyebabkan kita sama seperti mereka.
Dalam artikel itu, ia menolak banyak hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam. hingga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sekalipun. Misalnya, ia menolak hadits, "Jauhilah perkara perkara bid'ah karena seluruh perbuatan bid'ah adalah sesat." Juga hadits, "Kalian akan mengikuti perilaku umat-umat sebelum kalian satu jengkal demi satu jengkal dan satu hasta demi satu hasta, hingga sekiranya mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kalian akan memasuki lubang yangsama itu, atau kalian mengikuti tindakan mereka itu."
Ia (penulis artikel itu) mengklaim bahwa hadits-hadits tadi bertentangan dengan Al-Qur'an. Mengapa ia berkata demikian? Dan, bagaimana mungkin hadits-hadits seperti itu bertentangan dengan Al-Qur an?
Ibnu Taimiyah telah mengarang kitab tentang masalah ini yang ia beri judul Iqtidha Shiraath al-Mitstaqiim Mukhalafatu Ahlil-Jahiim 'Meniti Jalan Lurus Adalah Meninggalkan Praktek Orang-Orang Penghuni Neraka'. Jalan lurus itu adalah shiraathal-mustaqiim yang kita selalu pinta kepada Allah SUBHANAHU WA TA’ALA agar kita ditunjukkan kepada jalan itu, minimal sebanyak tujuh belas kali sehari, Yaitu dengan membaca surah al-Faatihah, "Tunjukilah kami jalan yang lurus," (al-Faatihah: 6)
Ini mengharuskan kita untuk menentang dan meninggalkan praktek orang-orang penghuni neraka yang disebut dalam firman Allah SUBHANAHU WA TA’ALA, "(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." (al-Faatihah: 7)
Para penghuni neraka adalah orang-orang yang dimurkai Allah SUBHANAHU WA TA’ALA dan orang-orang yang sesat. Kita mempunyai jalan tersendiri dan mereka mempunyai jalan-jalan lain. Dalam salah satu hadits disinyalir, "Kalangan yang dimurkai Allah itu adalah umat Yahudi dan kalangan yang sesat itu adalah umat Nasrani."
Jalan kita berbeda dengan jalan-jalan mereka. Al-Qur'an telah menetapkan bagi kita jalan yang berbeda dengan jalan-jalan mereka itu. Al-Qur'an telah melarang kita dalam banyak ayatnya, menjadi seperti mereka atau melakukan pola hidup dan perilaku seperti mereka. Allah SUBHANAHU WA TA’ALA berfirman, "Dan, janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.... "(Ali Imran: 105)
Masih banyak lagi ayat lain, demikian juga hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam. yang berbicara tentang hal itu, yang keseluruhannya memberikan pernyataan dengan yakin bahwa umat ini mempunyai karakteristik yang istimewa dan khas dan ia tidak boleh mengekor kepada umat-umat lain. Dari kenyataan itu, dalam banyak hadits disabdakan pernyataan khalifuuhum 'bersikap dan berlakulah yang berbeda dengan mereka'. Dan, sabda itu diulang berkali-kali dalam banyak kesempatan.
Independensi kepribadian dan keistimewaan umat Islam tumbuh dari ini, baik dalam penampilan (mazhhar) maupun dalam ilmu pengetahuan (makhbar). Oleh karena itu, kita tidak dibenarkan mengikuti pola kehidupan dan pola perilaku mereka yang menyebabkan kita sama seperti mereka.
Kita harus memiliki kepribadian sendiri karena umat Islam adaiah umat wasath 'pertengahan' yang menjadi saksi bagi seluruh umat manusia. Kita menempati kedudukan sebagai "profesor agung" bagi seluruh umat manusia. Kita adalah umat terbaik yang pernah ada di muka bumi. Lantas, mengapa kita harus mengikuti umat lain?
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. ingin menanamkan kesadaran akan kemuliaan, keistimewaan, dan independensi kepribadian ini dalam diri kita, dan beliau tidak menginginkan kita menjadi pengekor dan pengikut umat lain. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. menyabdakan hadits berikut ini yang meskipun disampaikan dalam bentuk berita, namun ia secara implisit mengandung makna peringatan, "Kalian akan mengikuti perilaku umat-umat sebelum kalian satu jengkal demi satu jengkal dan satu hasta demi satu hasta, hingga sekiranya mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kalian akan memasuki lubang yang sama itu."
Yang dimaksud dengan lubang biawak dalam hadits itu adalah yang kita kenal sekarang ini dengan nama "trend dan mode". Atau, bisa kita namakan dengan "mode lubang biawak". Jika mereka (non muslim, terutama Barat) memanjangkan kuncir mereka, para pemuda kita pun memanjangkan kuncir mereka. Jika mereka menjadi 'yuppies' dan 'hippies', pemuda kita pun turut menjadi yuppies dan hippies. Ke mana larinya kepribadian istimewa kita yang independen itu? Apakah ada orang yang rela meninggalkan agama dan kepribadian Islamnya untuk kemudian mengikuti kesesatan umat lain?
Kemudian, mengapa ada orang yang mensinyalir bahwa hadits ini bertentangan dengan Al-Qur'an?
Saat Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. ditanya, "siapakah yang dimaksud dengan 'mereka' itu? Apakah orang Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab, "Siapa lagi kalau bukan mereka?"
Bukankah amat disayangkan jika saat ini "guru" kita adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani? Kita dengan sukarela menjalankan poin-poin yang ditulis dalam "Protokol-Protokol Pemimpin Zionis", baik protokol-protokol itu benar milik mereka maupun bukan. Apa yang mereka kehendaki, secara sadar atau tidak, kita telah jalankan dengan tekun sehingga kita menjadi permainan mereka.
Penulis artikel itu mencela dan mengingkari kaum muslimin yang ingin kembali mengikuti jalan Nabi Shallallahu alaihi wassalam., para sahabat, dan cara kehidupan mereka. Aneh sekali sikap sang penulis artikel itu. Apakah keinginan untuk mengikuti Nabi Shallallahu alaihi wassalam. dan para sahabat beliau dalam pola kehidupan mereka patut dicela dan diingkari? Kita mengikuti manhaj Nabi Shallallahu alaihi wassalam. dan para sahabat beliau dalam memahami dan menjalankan agama dengan baik; menjaga pokok-pokok agama itu, memperhatikan substansinya, dan memperhatikan masalah-masalah kehidupan serta melakukan pengembangan dalam kehidupan. Inilah yang kita maksud dengan mengikuti Nabi Shallallahu alaihi wassalam. dan para sahabat beliau itu.
Kemudian, penulis artikel itu berkata, "Aku menemukan di antara sekian hadits, ada hadits yang mensinyalir bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Aku memahami dari hadits itu bahwa orang yang mewarisi peninggalan mempunyai kewajiban moral yang mengharuskan dirinya untuk memelihara warisan itu dan mengembangkannya. Oleh karena itu, para pewaris nabi-nabi mempunyai kewajiban untuk memelihara warisan ruhani yang ditinggalkan oleh para nabi dan mereka juga berkewajiban untuk mengembangkan warisan yang mereka terima itu. Seperti halnya seseorang yang mewarisi toko, ia berhak bahkan berkewajiban untuk mengembangkan toko itu dan menambahkan barang-barang dagangannya, mengganti barang dagangannya yang sudah kadaluwarsa atau yang sudah tidak laku lagi, sesuai dengan tuntutan kebutuhan konsumen. Demikian juga halnya yang harus dilakukan oleh para pewaris nabi terhadap warisan yang mereka terima itu."
Artinya, menurut penulis artikel itu, para ulama harus menambahkan ajaran agama, mengembangkan, meluaskan, dan menyisipkan hal-hal baru.
Bukankah amat disayangkan jika saat ini "guru" kita adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani? Kita dengan sukarela menjalankan poin-poin yang ditulis dalam "Protokol-Protokol Pemimpin Zionis", baik protokol-protokol itu benar milik mereka maupun bukan. Apa yang mereka kehendaki, secara sadar atau tidak, kita telah jalankan dengan tekun sehingga kita menjadi permainan mereka.
Penulis artikel itu mencela dan mengingkari kaum muslimin yang ingin kembali mengikuti jalan Nabi Shallallahu alaihi wassalam., para sahabat, dan cara kehidupan mereka. Aneh sekali sikap sang penulis artikel itu. Apakah keinginan untuk mengikuti Nabi Shallallahu alaihi wassalam. dan para sahabat beliau dalam pola kehidupan mereka patut dicela dan diingkari? Kita mengikuti manhaj Nabi Shallallahu alaihi wassalam. dan para sahabat beliau dalam memahami dan menjalankan agama dengan baik; menjaga pokok-pokok agama itu, memperhatikan substansinya, dan memperhatikan masalah-masalah kehidupan serta melakukan pengembangan dalam kehidupan. Inilah yang kita maksud dengan mengikuti Nabi Shallallahu alaihi wassalam. dan para sahabat beliau itu.
Kemudian, penulis artikel itu berkata, "Aku menemukan di antara sekian hadits, ada hadits yang mensinyalir bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Aku memahami dari hadits itu bahwa orang yang mewarisi peninggalan mempunyai kewajiban moral yang mengharuskan dirinya untuk memelihara warisan itu dan mengembangkannya. Oleh karena itu, para pewaris nabi-nabi mempunyai kewajiban untuk memelihara warisan ruhani yang ditinggalkan oleh para nabi dan mereka juga berkewajiban untuk mengembangkan warisan yang mereka terima itu. Seperti halnya seseorang yang mewarisi toko, ia berhak bahkan berkewajiban untuk mengembangkan toko itu dan menambahkan barang-barang dagangannya, mengganti barang dagangannya yang sudah kadaluwarsa atau yang sudah tidak laku lagi, sesuai dengan tuntutan kebutuhan konsumen. Demikian juga halnya yang harus dilakukan oleh para pewaris nabi terhadap warisan yang mereka terima itu."
Artinya, menurut penulis artikel itu, para ulama harus menambahkan ajaran agama, mengembangkan, meluaskan, dan menyisipkan hal-hal baru.
Demi Allah, apakah hal ini dapat diterima akal? Apakah ucapan tadi logis dan dapat diterima? Yaitu, menganalogikan ajaran-ajaran agama dengan barang-barang dagangan yang diperjualbelikan di toko!!!
Selanjutnya ia berkata, "Meskipun mayoritas ulama tidak menyetujui pengembangan dan penambahan hal baru ke dalam agama, mereka hanya menjalankan taklid buta dan sikap 'stagnan' yang batil. Dan, mereka menjustifikasikan ditutupnya pintu ijtihad dengan kemuliaan dan kejayaan Islam pada era pertamanya."
Selanjutnya ia berkata, "Meskipun mayoritas ulama tidak menyetujui pengembangan dan penambahan hal baru ke dalam agama, mereka hanya menjalankan taklid buta dan sikap 'stagnan' yang batil. Dan, mereka menjustifikasikan ditutupnya pintu ijtihad dengan kemuliaan dan kejayaan Islam pada era pertamanya."
Subhanallah! Penutupan pintu ijtihad itu sendiri adalah bid'ah karena hal itu adalah suatu sikap dan perbuatan baru dalam agama yang tidak diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dan tidak dilakukan oleh para sahabat, namun hal itu baru terjadi pada masa-masa kemudian. Tidak ada seorang pun yang memiliki otoritas untuk menutup pintu ijtihad yang telah dibuka oleh Allah Subhanahu wa ta'ala dan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
Perkara-perkara dunia dapat ditambah dan dikembangkan, sedangkan perkara-perkara agama tidak boleh ditambah atau dikurangi. Karena hal itu, seperti telah kami katakan, adalah suatu tindakan mengkritik Allah Subhanahu wa ta'ala dan menuduh agama ini tidak lengkap, dan sebagainya.
Dengan demikian, apakah makna peluasan agama itu? Karena, sesuatu yang sudah sempurna sesungguhnya tidak lagi dapat ditambah.
Perkara-perkara dunia dapat ditambah dan dikembangkan, sedangkan perkara-perkara agama tidak boleh ditambah atau dikurangi. Karena hal itu, seperti telah kami katakan, adalah suatu tindakan mengkritik Allah Subhanahu wa ta'ala dan menuduh agama ini tidak lengkap, dan sebagainya.
Dengan demikian, apakah makna peluasan agama itu? Karena, sesuatu yang sudah sempurna sesungguhnya tidak lagi dapat ditambah.
Firman Allah Subhanahu wa ta'ala,
ۚ الْÙŠَÙˆْÙ…َ Ø£َÙƒْÙ…َÙ„ْتُ Ù„َÙƒُÙ…ْ دِينَÙƒُÙ…ْ ÙˆَØ£َتْÙ…َÙ…ْتُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ Ù†ِعْÙ…َتِÙŠ Ùˆَرَضِيتُ Ù„َÙƒُÙ…ُ الْØ¥ِسْÙ„َامَ دِينًا"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS al-Maa'idah [5] : 3)
SELESAI
Post a Comment