Menu

Gus Mendem Gus Mendem Author
Title: Makna Kehidupan
Author: Gus Mendem
Rating 5 of 5 Des:
Banyak manusia yang tidak memahami arti kehidupan di dunia. Mungkin kita sendiri termasuk dalam golongan mereka yang hanya berlomba-lomba un...

Banyak manusia yang tidak memahami arti kehidupan di dunia. Mungkin kita sendiri termasuk dalam golongan mereka yang hanya berlomba-lomba untuk mendapatkan kesenangan hidup duniawi. Orang-orang yang lebih banyak mencari pemuasan hawa nafsu (semu), daripada berikhtiar memenuhi fitrahnya sebagai hamba yang taat, patuh, dan berserah diri kepada Rabb, Sang Pencipta.

YANG PENTING PUAS
Prinsip dan misi mereka adalah bagaimana dapat menikmati kehidupan seakan-akan mereka tumbuh dari biji-bijian yang pada saatnya menguning lalu mati tanpa ada kebangkitan, perhitungan, dan hisab. Milik siapakah mereka? Apakah mereka tercipta dengan begitu saja? Ataukah mereka yang menciptakan diri sendiri?


أَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْئٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُوْنَ؟
"Sesungguhnya Allah menciptakan dan memberikan kehidupan kepada kita untuk suatu tujuan. Bukan sia-sia.

Menurut Imam Syafi’i, makna sia-sia adalah kehidupan tanpa adanya perintah ataupun larangan. (Tafsirul Qur`anil ‘Azhim Ibnu Katsir jilid-4 cetakan Maktabah Darus Salam 1413 H hal. 478) . Jadi, manusia hidup tidak sia-sia. Mereka memiliki aturan, hukum-hukum syariat, perintah dan larangan. Tidak bebas begitu saja melakukan apa yang mereka suka atau sebaliknya.


HIDUP DAN MATI ADALAH UJIAN
Setiap yang hidup pasti akan merasakan kematian. Allah jalla jalaaluh menjadikan kehidupan dan kematian sebagai ujian. Siapa di antara manusia yang terbaik amalannya?


الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلَُوَكُمْ أَيُّكُمْ
"Yang menjadikan mati dan hidup agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (Lihat QS. Hud:7)

Fudhail bin Iyadh berkata: Amalan yang paling baik adalah yang paling ikhlas dan yang paling sesuai dgn sunnah. (Iqadhul Himam al-muntaqa min Jami’il Ulum wal Hikam Syaikh Salim ‘Ied al-Hilali hal. 35)

Kita hidup di dunia adalah untuk diuji siapa yang paling ikhlas ibadahnya, siapa yang amalnya murni hanya untuk Allah semata, dan siapa yang menjalani kehidupannya paling sesuai dengan ajaran dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, adalah sangat penting bagi kita untuk memperhatikan dan mempelajari apa sesungguhnya makna kehidupan dan apa pula maknanya bagi kematian.

Ssesungguhnya Allah menciptakan kita adalah untuk satu tugas yang mulia, yakni beribadah hanya kepada-Nya. Allah menurunkan kitab-kitabNya, Allah juga mengutus rasul-rasulNya demi tugas ini.


وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ
"Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali utk beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Dari firman di atas sudah cukup jelas rasanya bahwa penciptaan dan hidup kita tidaklah sia-sia. Lebih jauh lagi, kita juga dapat mengerti bahwa kehidupan ini sesungguhnya bersifat sementara namun jangan lupa; sarat akan makna. Kehidupan yang kelak, tentu saja, akan ditanya dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, Sang Pencipta.

KEHIDUPAN DI DUNIA HANYA SEMENTARA
Ingatlah kehidupan ini hanya sebentar. Pada saatnya nanti, siapa pun kita, pasti akan memasuki alam kubur hingga datangnya hari kebangkitan. Lalu kita akan dikumpulkan di padang mahsyar, selanjutnya kita akan dihadapkan pada hari perhitungan. Setiap kita akan menerima keputusan dari Allah SWT apakah akan bahagia di dalam surga atau akan sangat sengsara dalam neraka. Ingatlah selalu bahwa kehidupan setelah mati ini merupakan kehidupan panjang yang tidak terhingga. Kehidupan abadi yang jauh-jauh hari sudah disebutkan di dalam Al Qur'an dengan istilah
خالدين فيها atau dengan أبدا (selama- lamanya) atau لا ينقطع.

Sehari dalam kehidupan akhirat adalah setara dengan lima puluh ribu tahun kehidupan di dunia. Dengan demikian kita dapat memahami betapa pendek sesungguhnya kehidupan manusia di dunia ini. Tidak ada sepersekian puluh ribu dari hari kehidupan akhirat!

Berapa tahun umur manusia yang terpanjang, dan berapa tahun sudah umur yang kita jalani? Itu pun kalau kita anggap kita akan mencapai umur manusia terpanjang. Sedangkan ajal, kita tidak pernah tahu kapan akan datang menjemput. Mungkin esok atau lusa, atau bahkan mungkin beberapa detik setelah ini. Oleh karena itu seorang yang berakal sehat akan lebih mementingkan kehidupannya yang panjang daripada yang singkat di sunia ini. Seorang yang cerdas akan menjadikan kehidupan dunia sebagai kesempatan emas untuk meraih kebahagiaan hidupnya di akhirat yang abadi
. Allah Subhana Wata'ala sendiri telah mengingatkan:


وَابْتَغِ فِيْمَآ ءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
"Dan carilah dengan apa yg telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari duniawi." (Lihat QS Al-Qashash:77)

Namun kebanyakan manusia lalai dari peringatan Allah di atas. Kita lebih mementingkan kenikatan dunia yang hanya sesaat, dan lupa terhadap kehidupan akhirat yang kekal.


بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَاْلأَخرَاةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
"Tetapi kalian memilih kehidupan duniawi padahal kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal." (QS. Al-A'laa: 16)

Allah hanya meminta kita - dalam kehidupan yang singkat ini - untuk beribadah kepada-Nya semata dengan cara yang diajarkan oleh Rasul-Nya. Hanya itu! Kemudian Allah akan memberikan kepada kita kebaikan yang besar di kehidupan yang abadi, yaitu kehidupan akhirat.

KEMATIAN ADALAH SESUATU YANG PASTI
Alangkah bodohnya manusia yang lebih mementingkan kesenangan sesaat lalu melupakan kehidupan abadi di akhirat nanti. Alangkah bodohnya manusia yang menyia-nyiakan setiap kesempatan dalam kehidupannya di dunia ini hingga kematian datang menjemputnya. Padahal Allah selalu memperingatkan dalam berbagai firman-Nya bahwa kematian pasti akan datang, dan tak seorang pun dari kita yang mengetahui kapan waktunya. Jika saat itu tiba, tidak akan ada yang dapat memajukan atau memundurkannya. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
 
لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُوْنَ
"Tiap-tiap umat memiliki ajal; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak akan dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya." (QS. al-A’raaf: 34)

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ
"Tiap-tiap yg mempunyai jiwa akan merasakan kematian. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung."

Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. Untuk itu Allah dan rasul-Nya memberikan wasiat kepada kita agar jangan sampai mati kecuali dalam keadaan muslim
.


يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
"Hai orang-orang yg beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dgn sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kalian mati melainkan kalian mati dalam keadaan Islam." (QS. Ali Imran: 102)

Ini menyiratkan bahwa sudah selayaknyalah kita selalu berusaha meningkatkan ketaqwaan dan keimanan kepada Allah Sang Pencipta, hingga bila kematian tiba, diri kita lahir dan bathin benar-benar dalam keadaan Islam. Ibnu Katsir berkata: Beribadah kepada Allah adalah dengan taat menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Inilah agama Islam. Sebab makna Islam adalah tunduk, patuh, dan berserah diri kepada Allah, yang tentunya mengandung setinggi-tingginya makna keterikatan perendahan diri dan ketundukan kita kepada Allah SWT. Diri kita dan seluruh anggota tubuh kita adalah milik Allah. Maka sudah semestinya kita berserah diri kepada-Nya.

Ya Allah, kami hamba-Mu, milik-Mu. Engkau yang menciptakan kami dan memberikan segala kebutuhan kami. Kami menyerahkan diri kepada-Mu. Kami patuh dan berserah diri untuk diatur, dihukum, diperintah dan dilarang oleh-Mu. Kami taat, tunduk, dan patuh karena kami adalah milik-Mu. Inilah makna Islam sebagaimana terkandung secara makna dalam sayyidul istighfar:


أََللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَىعَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا سْتَطَعْتُ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
"Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku. Tidak ada ilah kecuali Engkau. Engkau yang menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku di atas janjiku kepada-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa yang aku perbuat. Aku mengakui kenikmatan dari-Mu atasku. Dan aku mengakui dosa-dosaku kepada-Mu. Maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau." (HR. Bukhari, Juz 7/150)

Tidaklah seseorang meminta ampun kepada Allah dengan doa ini kecuali akan diampuni. Dengan ikrar dan pernyataan kita tersebut kita sadar bahwa semua anggota tubuh kita adalah milik Allah. Untuk itu harus digunakan sesuai dengan kehendak pemiliknya. Kita harus menggunakan tangan kita sesuai dengan kehendak Allah. Kita harus menggunakan kaki kita untuk berjalan di jalan yang diridhai Allah. Mata, lisan, dan telinga kita harus digunakan untuk apa yang dibolehkan oleh Allah. Karena pada hakekatnya semua itu milik Allah.

Siapakah yang lebih jahat dari orang yg menggunakan sesuatu milik Allah untuk menentang Allah? Sungguh semua itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan akan ditanyakan langsung pada anggota tubuh tersebut. Mereka akan menjawab dengan jujur di hadapan Allah untuk apa saja selama hidup di dunia ini mereka kita pergunakan.


وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yg kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya."

KEMATIAN SEBAGAI PERINGATAN
Ayat-ayat dalam Al Qur'an yang menceritakan tentang kematian sangat banyak. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengingkari akan terjadinya kematian ini. Namun mengapa kebanyakan kita tidak menjadikan kematian sebagai peringatan agar bersiap-siap menuju kehidupan abadi dengan mencari kebahagiaan hidup yang hakiki di surga? Sesungguhnya manusia paling bodoh adalah yang tidak dapat menjadikan kematian sebagai peringatan. Dikatakan dalam sebuah nasehat:


مَنْ أَرَادَ وَلِيًّا فاللهُ يَكْفِيْهِوَمَنْ أَرَادَ قُدْوَةً فَالرَّسُوْلُ يَكْفِيْهِوَمَنْ أَرَادَ هُدًى فَالْقُرْآنُ يَكْفِيْهِوَمَنْ أَرَادَ مَوْعِظَةً فَالْمَوْتُ يَكْفِيْهِوَمَنْ لاَ يَكْفِيْهِ ذَلِكَ فَالنَّارُ يَكْفِيْهِ
"Barangsiapa yang menginginkan pelindung maka Allah cukup baginya. Barangsiapa yang menginginkan teladan maka Rasulullah cukup baginya. Barangsiapa yang menginginkan pedoman hidup maka Al-Qur'an cukup baginya. Barangsiapa yang menginginkan peringatan maka kematian cukup baginya. Dan barangsiapa tidak cukup dengan semua itu, maka neraka cukup baginya!"

Sampai detik ini, Allah masih memberi kita peluang dan kesempatan. Maka hendaknya sekarang ini juga kita memanfaatkan peluang itu dengan sebaik-baiknya guna membuktikan ketaatan kita kepada Sang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, namun Yang Siksanya Sungguh Teramat Sangat Pedih.

Waktu yang diberikan kepada kita ini bagaikan pedang. Jika kita tidak mengisinya maka ia akan menikam kita, sebagaimana dikatakan oleh para salaf.


اَلْوَقْتُ كَالسَّيْفِ إِنْ لَمْ تُقَطِّعْهُ قَطَّعْكَ
"Waktu itu bagaikan pedang jika engkau tidak memutusnya maka dia yg akan memutusmu. Jika ia tidak cepat dimanfaatkan dia akan membunuh kesempatan kita. "

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌُ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: اَلصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.
"Dua kenikmatan yg kebanyakan manusia lalai daripadanya: ni’kat kesehatan dan ni’kat kesempatan."

Kesempatan adalah suatu kenikmatan besar yg Allah berikan kepada manusia. Namun sayangnya kebanyakan manusia lalai daripadanya dan tidak menggunakan kenikmatan tersebut untuk taat kepada Allah hingga tiba waktunya ia hilang bersamaan dengan datangnya kematian.

[Disadur bebas dari buletin Manhaj Salaf, Edisi: 55/Th. II gl 21 Shafar 1426 H, Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed]

[sumber: file chm Darus Salaf 2]

Dari Author

Post a Comment

 
Top