Sejarah
Para Bapa Gereja Pra-Nicea menegaskan keilahian Kristus dan berbicara mengenai "Bapa, Putra, dan Roh Kudus", meskipun bahasa mereka tidak sama dengan yang digunakan doktrin tradisional ini sebagaimana diformalkan pada abad ke-4. Kalangan yang menganut paham Trinitas memandang hal itu sebagai elemen-elemen dari doktrin terkodifikasi.
Ignatius dari Antiokhia memberikan dukungan awal bagi paham Trinitas sekitar tahun 110, mendesak umat untuk taat kepada "Kristus, dan kepada Bapa, dan kepada Roh".
Yustinus Martir (100 – kr. 165) juga menulis, "dalam nama Allah, Bapa dan Tuhan alam semesta, dan Juruselamat kita Yesus Kristus, dan Roh Kudus". Bapa Gereja pertama yang tercatat menggunakan kata "Trinitas" adalah Teofilus dari Antiokhia yang menulis pada akhir abad ke-2. Ia mendefinisikan Trinitas sebagai Allah, Firman-Nya (Logos), dan Kebijaksanaan-Nya (Sofia) dalam konteks diskusi mengenai tiga hari pertama penciptaan. Pembelaan pertama atas paham Trinitas terjadi pada awal abad ke-3 oleh salah seorang Bapa Gereja awal yang bernama Tertulianus. Ia secara eksplisit mendefinisikan Trinitas sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus serta membela teologi Trinitaris dalam upayanya melawan paham "Praxean". St. Yustinus dan Klemens dari Aleksandria menggunakan Trinitas dalam berbagai doksologi mereka, dan juga St. Basilius dalam penerangan cahaya sore hari.
Formulasi awal lainnya, dan sudah lebih filosofis, mengenai Trinitas (tanpa menggunakan istilah tersebut) dikaitkan dengan seorang pengajar Gnostik bernama Valentinius (hidup kr. 100 – kr. 160) yang, menurut teolog abad ke-4 bernama Marcellus dari Ancyra, adalah "orang pertama yang merenungkan gagasan tentang tiga entitas subsisten (hipostasis), dalam sebuah karya yang ia beri judul Tentang Ketiga Kodrat". Eksegesis mazhab Valentinian yang sangat alegoris cenderung menafsirkan bagian-bagian kitab suci yang relevan sebagai penegasan suatu Keilahian yang, dengan cara tertentu, adalah rangkap tiga. Injil Filipus Valentinian, yang bertarikh sekitar masa Tertulianus, mendukung rumusan Trinitaris. Bagaimanapun, terlepas dari kemungkinan pengaruhnya pada doktrin yang kemudian terbentuk sepenuhnya, mazhab Valentinus ditolak dan dipandang sesat oleh kalangan Kristen ortodoks.
Kendati terdapat banyak perdebatan mengenai apakah keyakinan dari Para Rasul sekadar diartikulasikan dan dijelaskan dalam Pengakuan Iman Trinitaris, atau terkorup dan digantikan dengan keyakinan baru, para akademisi mengakui bahwa Pengakuan Iman itu sendiri dibuat sebagai tanggapan atas perbedaan pendapat mengenai kodrat Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Butuh waktu beberapa abad untuk menyelesaikan kontroversi tersebut.
Perkembangan paling signifikan diartikulasikan selama empat abad pertama oleh para Bapa Gereja sebagai tanggapan terhadap Adopsionisme, Sabellianisme, dan Arianisme. Adopsionisme merupakan keyakinan bahwa Yesus adalah seorang manusia biasa, terlahir dari Yusuf dan Maria, yang menjadi Kristus dan Putra Allah saat Yesus dibaptis. Pada tahun 269, Sinode Antiokhia mengutuk Paulus dari Samosata karena teologi Adopsionis yang ia kemukakan, dan juga mengutuk istilah homoousios (ὁμοούσιος, "dari hakikat yang sama") karena ia menggunakannya.
Sabellianisme mengajarkan bahwa Bapa, Putra, dan Roh Kudus pada esensinya adalah satu dan sama, hanya perbedaan verbal, mendeskripsikan aspek-aspek atau peran-peran berbeda dari suatu hakikat tunggal. Akibat pandangannya ini, Sabellius diekskomunikasi di Roma sekitar tahun 220 karena bidah.
Pada abad ke-4, Arius, sebagaimana dipahami sesuai tradisi, mengajarkan bahwa Bapa telah ada sebelum Putra yang, menurut kodrat, bukan Allah tetapi lebih kepada seorang makhluk yang dapat berubah yang dianugerahi martabat menjadi "Putra Allah".
Pada tahun 325, Konsili Nicea mengadopsi Kredo Nicea yang mendeskripsikan Kristus sebagai "Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar, diperanakkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa". Kredo (syahadat atau pengakuan iman) tersebut menggunakan istilah homoousios (dari satu substansi) untuk mendefinisikan hubungan antara Bapa dan Putra. Setelah perdebatan selama lebih dari lima puluh tahun, homoousios diakui sebagai ciri khas ortodoksi, dan dikembangkan lebih lanjut menjadi formula "tiga pribadi, satu hakikat".
Athanasius (293–373), yang hadir di konsili tersebut sebagai salah seorang asisten dari Uskup Aleksandria, menyatakan bahwa para uskup terpaksa menggunakan terminologi ini, yang tidak terdapat dalam Kitab Suci, karena frasa biblika yang menjadi preferensi mereka untuk digunakan diklaim oleh kaum Arian untuk dapat ditafsirkan dalam arti yang dipandang sesat oleh para uskup. Selain itu, makna dari "ousia" dan "hipostasis" saling tumpang tindih sehingga "hipostasis" bagi beberapa kalangan berarti "esensi" dan bagi kalangan lainnya berarti "pribadi".
Pengakuan Iman dari Konsili Nicea hanya menyinggung sedikit tentang Roh Kudus. Doktrin keilahian dan kepribadian Roh Kudus dikembangkan oleh Athanasius dalam beberapa dekade terakhir hidupnya. Ia membela dan memperbaiki formula Nicea. Pada akhir abad ke-4, di bawah kepemimpinan Basilius dari Kaisarea, Gregorius dari Nyssa, dan Gregorius dari Nazianzus (Bapa-bapa Kapadokia), doktrin ini telah secara substansial mendapatkan bentuknya sebagaimana adanya saat ini.
Mengenai Trinitas, Gregorius dari Nazianzus mengatakan, "Sejenak saya membayangkan Yang Esa, saya diterangi kesemarakan Yang Tiga; sejenak saya memperlainkan Ketiganya, saya dihantar kembali ke dalam Yang Esa. Ketika saya berpikir tentang salah satu dari Yang Tiga, saya berpikir tentang Dia sebagai Yang Segala, dan kedua mata saya berlinang-linang, dan bagian terbesar dari apa yang saya pikirkan luput dari ingatan. Saya tidak mampu memahami keagungan Yang Esa itu sedemikian demi menyandangkan keagungan yang lebih besar pada yang lainnya. Ketika saya mengkontemplasikan Yang Tiga bersama-sama, saya melihat hanya satu suluh, dan tidak mampu membagi ataupun menakar terang yang tak terbagi."
Devosi kepada Trinitas berpusat di biara-biara Prancis di Tours dan Aniane tempat Santo Benediktus mendedikasikan gereja biara tersebut kepada Trinitas pada tahun 872. Hari-hari perayaan baru dilembagakan pada tahun 1091 di Biara Cluny dan pada tahun 1162 di Canterbury; resistensi kepausan berlanjut hingga tahun 1331. (Bersambung)
[Sumber: Wikipedia]
Post a Comment