Menu

Gus Mendem Gus Mendem Author
Title: 17. Keadilan Muhammad
Author: Gus Mendem
Rating 5 of 5 Des:
Sabda Rasulullah SAW: “FA-MAN YA’DIL, IN-LAM ‘A’-DIL?” [Siapa lagi yang (berlaku) Adil, jika aku tidak (berbuat) Adil?] KEADILAN M...
Sabda Rasulullah SAW:

“FA-MAN YA’DIL, IN-LAM ‘A’-DIL?”
[Siapa lagi yang (berlaku) Adil, jika aku tidak (berbuat) Adil?]


KEADILAN MERUPAKAN CIRI KEHIDUPAN MUHAMMAD

Pada suatu hari datang seorang Badui menghampiri MUHAMMAD. Dengan suara tinggi dan nada kasar dia berujar pada MUHAMMAD, meminta tambahan bagiannya:

“Hai, MUHAMMAD. Berlaku adillah!”

Rasa aman tenteram yang mendorong orang Badui bertindak melampaui batas kesopanan itu, sudah merupakan suatu bukti nyata dari wujud keadilan MUHAMMAD. Tidak mungkin rasanya, akan ada seorang dusun yang berani mengucapkan kata-kata sedemikian kasar, kalau sekiranya MUHAMMAD telah membuat pagar pemisah yang angkuh antara dirinya yang agung dengan manusia-manusia lainnya, serta menanamkan rasa takut dan gentar dalam jiwa mereka!

MUHAMMAD telah menghancurkan tirai pemisah antara dirinya dengan manusia lainnya.

Pada suatu hari lainnya,dengan penuh ketakutan dan gelisah datanglah seorang lelaki asing menghadap beliau. Lalu beliau mendekati orang itu, menepuk-nepuk pundaknya dengan penuh rasa kasih. Seraya membesarkan hati orang itu, dengan ucapannya yang terkenal beliau bersabda:


“Tenangkan dirimu, Ibuku di Mekkah makan dendeng.”

Ya, dari sinilah dimulai pemahaman yang benar tentang keadilan MUHAMMAD, yang bertolak dari penghapusan segala bentuk sekat pemisahan serta perbedaan antara dirinya dengan ummatnya.
Allah SWT telah mengutus dan memilih Rasulullah yang telah dipersiapkan keunggulannya di bidang akhlak, akal fikiran dan rohani, untuk ditugaskan jadi guru dan pelopor ummatnya. Allah SWT telah mempersiapkan dan menetapkan MUHAMMAD menjadi seorang imam yang diagungkan dan dipatuhi ummatnya.
Namun MUHAMMAD yang punya semua keistimewaan itu, menolak dan menyingkirkan perbedaan antara dirinya dengan orang lain, sambil mengulang-ulang firman Allah Swt. Berikut ini, dihadapan para pengikutnya:
  • “Aku ini sebenarnya seorang manusia seperti kalian.”
Beliau tahu pasti bahwa perbedaan itu merupakan suatu bentuk kezaliman yang paling kotor. Orang yang mengakui dirinya punya kedudukan lebih dari manusia lainnya, samalah dengan orang yang telah membuat sekte yang tidak sah. Orang itu diperbudak hawa nafsu egonya yang angkuh, lupa diri dan palsu. Dan pribadi orang itu berada ditempat yang kalah, dia digiring hawa nafsunya ke sana ke mari untuk melakukan segala perbuatan dosa dan kesombongan. Dan ini merupakan konsekwensi logis dari limpahan rasa dosa, sikap yang menciptakan perbedaan, rasa tinggi dan rasa berkuasa.
MUHAMMAD yang manusia itu menyadari akan hal ini. Secara alami beliau sangat mencintai keadilan. Bagi beliau, "keadilan" merupakan suatu keutamaan yang merupakan keharusan mutlak. Karena keimanannya itulah, beliau berusaha keras membersihkan pribadinya dari rasa tinggi diri. Dengan rela hati dan penuh rasa hormat, beliau turun melepaskan keistimewaan dan keunggulan yang ada pada dirinya.

Dalam perangai sebagai Rasul dan seorang Pemimpin ummat, beliau mencampakkan dan menolak perbedaan itu.

Sekali waktu, sesaat sebelum perang Uhud, beliau didatangi para sahabatnya. Mereka berkata: “Musuh dalam perjalanan menuju ke sini. Mereka hendak melenyapkan kita”. Beliau berkata pada para sahabatnya itu:

“Saya pikir kita tidak perlu keluar menemui mereka.”

Tapi para sahabatnya itu menjawab:

“Kami berpendapat sebaiknya kami keluar menghadang mereka”.

~ Lantas beliau saw pergi sebentar. Kemudian kembali dengan pakaian perang lengkap, sebagai wujud penghormatan atas pendapat serta hak para sahabatnya itu.

Sekali waktu ada seorang Badui, dengan nada kasar kaku berkata pada beliau:
  • “Hai, MUHAMMAD! Apakah harta ini milik Allah atau milik ayahmu?”
Dengan cepat Umar menggenggam keras gagang pedangnya, bersiap ingin memberikan pelajaran pada orang itu. Namun Rasulullah saw.mencegahnya, seraya bersabda:
  • “Biarkanlah, ya Umar. Tiap orang punya hak untuk menyatakan pendapatnya!”
Dalam tingkahlakunya sehari-hari sebagai sahabat, beliau senantiasa menghapuskan sikap yang menunjukkan pembedaan terhadap dirinya sendiri itu. Di suatu perjalanan, beliau membantu sahabat-sahabatnya yang bertugas menyiapkan makanan, dengan membagi-bagi tugas.

Sabda beliau: “Biarkanlah aku yang mengumpulkan kayu bakar.” Mereka berkata; “Ya, Rasulullah! Tidak usah, kamilah yang mewakili baginda.” Beliau menjawab: “Aku tahu, kalian akan membebaskan aku. Akan tetapi aku tidak suka memisahkan diri dari kalian.”
Beliau telah menjadikan dirinya bagian dari para sahabatnya. Artinya beliau telah menetapkan undang-undang yang berlaku untuk setiap orang juga berlaku untuk beliau. Tugas kewajiban yang di tuntut agar dilakukan orang lain,juga merupakan tugas kewajiban yang harus dipenuhi pula oleh beliau. Malah lebih banyak tugas kewajiban yang harus dipenuhi oleh beliau, mengingat kedudukan beliau sebagai seorang pelopor dan orang yang memberikan tauladan. Beliau tidak bisa bersikap manja dan bertindak ‘aji mumpung.’
Kini, mari kita kembali pada pokok pembicaraan, tentang seorang Badui yang berkata pada beliau:

“Hai, MUHAMMAD, Berlaku adillah!”

Beliau menyambut teguran itu dengan senyum cerah, seraya singkat berucap:

“FA-MAN YA’DIL, IN-LAM ‘A’-DIL?”
[Siapa lagi yang (berlaku) Adil, jika aku tidak (berbuat) Adil?]

Ketika mengeluarkan ucapan itu, MUHAMMAD tidak mengatakannya dengan rasa angkuh atau sombong. Tapi beliau mengingatkan mereka bahwa adalah hak mereka untuk menuntut keadilan dari beliau semaksimal mungkin, dan menegur beliau jika beliau mengabaikannya. Apabila MUHAMMAD tidak mempraktekkan keadilan secara sempurna, siapa pula orang lain yang akan melakukannya? Adalah tugas kewajiban MUHAMMAD untuk melakukannya. Dan sebelum jadi kewajibannya, bersikap adil itu telah merupakan ciri kehidupan dari junjungan kita MUHAMMAD Saw, di mana gelombang keutamaan besar mengalir deras dari pribadinya, seperti mengalirnya darah dari urat nadi. Kalau MUHAMMAD Saw tidak berlaku adil dalam arti sebenarnya, maka ia telah menodai kewajibannya. Kalau ia tidak berlaku adil dengan sepenuh artinya, maka ia telah menyimpang dari watak keperibadiannya sendiri. Dan MUHAMMAD bukan orang yang suka melampaui tanggungjawabnya. Dan MUHAMMAD juga bukan orang yang suka melawan fitrahnya dan tidak suka menyeleweng dari watak pribadinya.

Itulah arti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasalam:

“Fa-man ya’dil, in-lam ‘a’-dil?”
(Siapa yang Adil, jika aku tidak Adil?)

Ketika MUHAMMAD menghapuskan diskriminasi, itu dilakukannya bukan untuk memuaskan dorongan keutamaan dari kerendahan hatinya. Andaikan MUHAMMAD menghapuskan diskriminasi karena dorongan tersebut, itupun merupakan perbuatan terpuji dan agung. Akan tetapi MUHAMMAD sebagai manusia telah digerakkan oleh suatu kekuatan yang tiada tara keagungan dan kemuliaannya. Beliau menolak diskriminasi untuk mewujudkan keadilan. Dan beliau karena perangainya yang adil itu memang telah terpancarkan dari pribadi dan fitrahnya. Karena pribadi dan fitrahnya itu, MUHAMMAD tidak merasa terpaksa atau merasa berat dalam membina dan menuntut persamaan hak itu.

Makanya MUHAMMAD –karena kerendahan hatinya-, tidak merasa dirinya lain dari yang lain. Karena -secara hakiki- MUHAMMAD merupakan bagian dari yang lain. Apa yang berlaku pada orang lain, berlaku pula pada dirinya. Kalau Allah menghukum orang karena mereka melakukan kezaliman. Maka MUHAMMAD akan diberikan hukuman pula karena karena melakukan kezaliman.

Camkanlah riwayat yang indah ini:

Pada suatu hari beliau menyuruh seorang khaddamnya pergi untuk suatu keperluan singkat. Ternyata khaddamnya itu menghilang hampir setengah hari lamanya. Seperti halnya orang lain, Rasulullah marah sekali akan ulah Khaddamnya itu. Dan orang pun pada menyangka, Khaddamnya itu akan mendapat hukuman keras dan berat. Ketika Khaddamnya kembali, Rasulullah mengangkat siwaknya di hadapan sang Khaddam, seraya bersabda:

“Kalaulah saya tidak takut terkena hukum Qishash dari Allah, tentu saya sakiti kamu dengan siwak ini”.

Renungkanlah! 
Siwak adalah sepotong kayu kecil seukuran sikat gigi, yang (pada masa itu) digunakan untuk menyikat gigi. Kalau pun sekiranya dipukulkan pada anak kecil sebanyak seratus kali pukulan, tidaklah akan menyakiti benar. Apalagi terhadap orang dewasa. Namun demikian, Rasulullah menahan amarahnya. Beliau menahan diri agar tidak sampai memukul Khaddamnya, walaupun hanya dengan sepotong siwak. Kenapa? Karena takut pada hukum Qishash dari Allah.

Subhanallah!

Semoga shalawat dan salam selalu di limpahkan-Nya bagi junjungan kita Rasulullah SAW beserta ahlul baitnya, para sahabatnya, para tabi’in, tabi’ut tabi’in serta seluruh umat Islam yang taat pada risalahnya hingga di akhir zaman.
Amin.

[Dari buku NABI MUHAMMAD JUGA MANUSIA karya: Khalid Muhammad Khalid]

CATATAN
Tulisan ini adalah bagian ketujuhbelas dari duapuluhsatu tulisan lain berdasarkan pokok bahasannya masing-masing. Untuk memudahkan anda, artikel selanjutnya dapat diikuti melalui nomor urut di bawah ini, atau melalui lampiran DAFTAR ISI di sini.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Dari Author

Post a Comment

 
Top